Dalam revolusi hijau, intensifikasi pertanian didorong habis-habisan, dengan menggunakan beragam rekayasa. Mulai dari rekayasa teknologi hingga rekayasa biologi. Pendekatan yang dilakukan telah menafikan sifat alam yang terbatas dan beragam. Dalam revolusi hijau, berbagai unsur produksi pertanian diseragamkan: benih, pupuk, waktu tanam, dan sebagainya.
Sejak awal masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo bertekad untuk mewujudkan kedaulatan pangan pada empat komoditas, yaitu beras, gula, jagung, dan kedelai. Persoalan pangan adalah persoalan politik. Pemerintah berkepentingan untuk memastikan hasil panen berlimpah karena isu pangan adalah isu sensitif.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo mengklaim tidak akan mengimpor beras. Namun, kenyataan berbicara lain. Potensi turunnya panen pada musim tanam kali ini tampak nyata. Ribuan hektar sawah yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan telah terserang wereng coklat. Data estimasi terdekat belum juga jelas.
Revolusi hijau telah menghancurkan keberagaman. Vandana Shiva dalam Violence of the Green Revolution menuliskan, ”Paket Revolusi Hijau dibangun dengan menggantikan keberagaman pada dua tingkatan. Pertama, percampuran dan rotasi tanaman seperti gandum, jagung, jewawut, kacang-kacangan, dan tanaman dengan biji sebagai bahan minyak nabati (oil seeds) digantikan dengan monokultur gandum dan padi. Kedua, variasi (jenis) gandum dan padi direproduksi dalam skala besar sebagai monokultur yang berasal dari basis genetik yang sempit (pilihannya) jika dibandingkan dengan keragaman genetik yang tinggi dari populasi gandum dan padi tradisional”. Penghancuran keragaman dan penciptaan keseragaman secara bersama-sama telah menghilangkan stabilitas dan menciptakan kerentanan (pada pertanian).
Pada saat pemerintah bertekad menciptakan kedaulatan pangan, justru lahir ironi: kesejahteraan petani merosot, dan dalam jangka panjang, ketahanan pangan akan terancam (Kompas, 2/8). Guru Besar Antropologi FISIP Universitas Indonesia Yunita Triwardani Winarto, yang melakukan pendampingan kepada petani, pada wawancara beberapa waktu lalu mengungkapkan, kebijakan pertanian selalu diambil satu arah, top-down (dari atas ke bawah), petani tak pernah ditanya. ”Kebijakan hanya bertujuan mencapai target produktivitas,” katanya.
Padahal, petani sebenarnya memiliki pengetahuan tentang kondisinya sendiri. Merekalah yang memiliki pengetahuan. ”Kebijakan pemerintah memunculkan informasi macro-climate dan penyederhanaan (menjadi monokultur) dengan tujuan produktivitas tinggi. Padahal, sifat pertanian itu bergantung pada iklim mikro dan keberagaman,” tambah Yunita.
Peneliti agrometeorologi dan pendiri International Society for Agricultural Meteorology (Insam), Cornelis (Kees) Johan Stigter, menegaskan, pada masa sekarang, dengan terjadinya perubahan iklim, variasi temporal dan spasial curah hujan pada area sawah amat banyak, lebih banyak dari yang telah diketahui selama ini (Krisis Pangan dan ”Sesat Pikir”, 2016).
Pemerintah tidak siap
Yunita menegaskan, pengetahuan dari masa lalu untuk melihat ke masa depan masih terdapat celah (gap). Menurut dia, pemerintah tidak siap untuk memberikan pengetahuan tersebut kepada petani. Kebijakan dengan pendekatan monokultur dan menanam tanpa jeda dan tanpa variasi hanya memperburuk kondisi. Bukti nyata adalah serangan hama wereng coklat yang mengganas pada musim tanam sekarang. ”Kebijakan flexible farming (petani leluasa menentukan jenis padi, pestisida, mengacu pada kondisi tanah, cuaca, hama), responsive farming (petani menyesuaikan dengan kondisi alam misalnya musim hujan dan intensitas hujan) yang harus dikembangkan. Ini berkebalikan dengan kebijakan yang bersifat top-down dan monokultur.
Untuk mencapai target itu, pemerintah meminta petani terus menanam padi tanpa jeda, dengan ditunjang sarana produksi seperti pupuk. ”Ilmu atau pengetahuan tentang penelang tak lagi dilihat. Penelang itu memberi jeda. Sawah diistirahatkan dengan ditanami palawija atau jagung. Proses itu dibutuhkan untuk mengembalikan kesuburan tanah,” kata Yunita.
Last but not least, dalam diskursus pertanian, pemerintah membicarakan banyak hal: harga sarana produksi yang tetap tinggi meski katanya telah disubsidi, harga eceran tertinggi (HET), jenis padi (yang ini telah ditentukan), dan sebagainya. Namun, pemerintah luput berbicara soal petani, sang pelaku utama pertanian.
”Petani sebagai subyek telah ditinggalkan,” kata Yunita. Kedaulatan pangan mungkin hanya menjadi angan yang utopis jika pemerintah tidak menempatkan petani sebagai subyek, menempatkan petani dalam sentral diskursus pertanian.