JAKARTA, KOMPAS — Kanker serviks merupakan salah satu penyakit gangguan reproduksi yang dapat mengakibatkan penderitanya mengalami permasalahan seksualitas. Akibatnya, penderita mengalami gangguan intimasi dengan pasangannya. Hal ini terjadi karena serviks merupakan organ reproduksi yang mencirikan sifat jender dari seorang perempuan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Guru Besar Bidang Ilmu Keperawatan Yati Afiyanti pada 2009 terhadap 20 perempuan setelah terapi kanker, ditemukan beberapa perubahan situasi fisik alat reproduksinya. Mereka mengalami disfungsi seksual, seperti nyeri saat berhubungan seksual, vagina kering, dan ukurannya memendek, serta sempit.
”Dalam beberapa kasus, disfungsi seksual akibat kanker dan terapinya dapat mengakibatkan penyintas kanker sering kali mendapat perlakuan kekerasan dalam bentuk psikis, seperti tidak mengajak bicara atau ancaman akan ditinggalkan. Mereka juga mendapat ancaman terhadap harmonisasi hubungan perkawinan,” tutur Afiyanti dalam Pidato Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap, Rabu (9/8), di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.
Berdasarkan studi yang dilakukan Afiyanti, angka perceraian pada perempuan akibat kanker serviks merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan kanker lain, yaitu 40 persen. Namun, di Indonesia belum banyak studi yang melaporkan adanya dampak keluhan disfungsi seksual setelah terapi kanker serviks terhadap hubungan perkawinan.
Afiyanti mengatakan, salah satu cara yang dapat mengatasi permasalahan tersebut yaitu dengan memberikan pembelajaran pendidikan kesehatan seksual. Selain itu, ia juga memberikan pelayanan psikoseksual.
Pembelajaran pendidikan kesehatan seksual dan pelayanan psikoseksual dapat meningkatkan upaya dan kesadaran pasien dalam mengatasi disfungsi seksual. Akibatnya, pasien dapat memperbaiki kesehatan seksual dan kualitas hidup mereka. (DD08)