JAKARTA, KOMPAS — Dugaan penurunan konsumsi yang hanya berdasarkan pada penurunan penjualan produk ritel harus dicermati dengan hati-hati. Itu karena dalam kategori ritel terdapat produk konsumer dan produk industrial.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta, Rabu (2/8), mengatakan, penurunan angka-angka di ritel harus diteliti lebih mendalam. ”Harus dibedakan, ada produk konsumer dan ada produk industrial. Kalau kita mengangkat hanya di pasar konsumer, hal itu baru separuh dari pasar,” kata Airlangga. Ia berharap daya beli dalam negeri bisa meningkat.
Airlangga juga menuturkan, industri pengolahan menyumbang sekitar 80 persen penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). ”Jadi, kalau target PPN bisa dicapai, itu salah satunya berbasis industri. Dengan demikian, kami melihat angka-angka penurunan ini harus diteliti lebih dalam,” katanya.
Apalagi, Airlangga menuturkan, industri berbasis konsumsi mempunyai daya tahan tinggi. Hal ini antara lain terlihat dari pertumbuhan di industri tertentu, seperti industri makanan-minuman, yang masih tumbuh sekitar 8 persen.
Airlangga mengatakan, dalam hal ini investasi pun berpengaruh terhadap industri. Sepanjang semester I-2017, Badan Koordinasi Penanaman Modal mencatat bahwa apabila semua sektor industri digabung, industri berkontribusi sebesar Rp 52,1 triliun atau 40,2 persen dari total penanaman modal dalam negeri.
Pendapatan
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Tutum Rahanta mengatakan, komponen pembentuk harga barang-barang terlalu banyak sehingga memengaruhi harga barang yang dipasarkan. Masyarakat kelas menengah ke bawah cenderung membatasi atau mengurangi pembelian barang-barang, terutama barang-barang kebutuhan rumah tangga.
Menurut Tutum, produk barang-barang kebutuhan masyarakat saat ini dijual secara tak langsung atau digital dan dijual secara langsung di pasar tradisional dan pasar modern. ”Saya mengamati hanya di pasar modern,” kata Tutum.
Di pasar modern, berupa minimarket-minimarket yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari masyarakat yang tersebar di banyak tempat, ada keluhan dari para pelaku usaha bahwa penjualan tidak terlalu banyak atau ramai.
Menurut Tutum, salah satu faktor penurunan penjualan itu adalah faktor daya beli. Faktor daya beli bisa menurun antara lain karena pendapatan lebih kecil daripada pengeluaran. Selain itu, daya beli bisa menurun juga karena masalah harga.
Dalam pembentukan harga barang, lanjut Tutum, selain modal dan margin keuntungan, ada juga biaya lain yang dapat menentukan, yakni biaya modal terkait permintaan dan penawaran. Semakin banyak permintaan dan penawaran terbatas, harga akan naik. Margin keuntungan terkait juga dengan kompetisi. Semakin kompetisi terbuka, margin keuntungan akan berkurang. ”Lihat saja perang diskon,” katanya.
Biaya-biaya lain yang cukup menentukan pembentukan harga, menurut Tutum, antara lain biaya sewa tempat usaha, seperti pusat perbelanjaan, termasuk biaya tambahan (service charge); upah; suku bunga perbankan; kurs; biaya energi, seperti bahan bakar minyak, listrik, dan gas; biaya ”birokrasi” yang terkait dengan masalah perizinan, logistik, dan infrastruktur; serta pungutan liar dan praktik premanisme.
”Dari bunga bank saja, kita sudah sulit bersaing. Bunga bank di negara tetangga satu digit,” kata Tutum.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia Adhi S Lukman menilai, daya beli masyarakat menurun dilihat dari indikator saat puasa dan Lebaran lalu. ”Pelaku usaha mengeluh banyak barang yang dikembalikan,” katanya.
Manufaktur melambat
Pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang pada triwulan II-2017 melambat, baik dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (y-o-y) maupun terhadap triwulan I-2017. Laju pertumbuhan y-o-y 2017 hanya 4,00, sedangkan tahun sebelumnya 5,01 persen.
”Kita ini sampai sekarang masih berkutat di komoditas sehingga manufaktur menjadi terabaikan. Pasca-reformasi, kita lengah membangun industri manufaktur,” kata Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Atma Jaya Jakarta YB Suhartoko.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, produksi industri manufaktur skala sedang-besar ataupun mikro-kecil pada triwulan II-2017 y-o-y hanya tumbuh 2,50 persen, jauh dibandingkan pada 2016, yakni 6,56 persen. Tingkat pertumbuhan ini terendah setidaknya dalam empat tahun terakhir.
Laju pertumbuhan triwulan II ini jauh lebih lambat dibandingkan triwulan I-2017 yang mencapai 6,63 persen. Padahal, selama empat tahun terakhir, angka pertumbuhan produksi triwulan II biasanya lebih tinggi ketimbang triwulan I. (LAS/CAS/FER)