Belajar Sejarah lewat Pameran Lukisan
JAKARTA, KOMPAS — Pameran lukisan koleksi Istana Kepresidenan bertajuk ”Senandung Ibu Pertiwi” di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, bisa menjadi sarana belajar bagi pengunjung untuk mengetahui sejarah budaya Indonesia. Sejarah seni lukis di Indonesia berkembang seiring dengan pengaruh dari gaya pelukis dalam mengekspresikan dirinya.
”Banyak kisah sejarah di Indonesia yang dipengaruhi oleh sebuah lukisan. Entah itu cerita di balik lukisan tersebut staupun sumber inspirasi yang terdapat pada lukisan itu,” tutur Asikin Hasan, kurator kepala pameran lukisan Senandung Ibu Pertiwi.
Lukisan yang dipamerkan antara lain berjudul ”Perkawinan Adat Rusia” karya Egorovick Makovsky merupakan hadiah rakyat Rusia melalui pemimpin Uni Republik-republik Sosialis Soviet, Nikita Khruschcev, kepada Presiden pertama Indonesia, Soekarno. Saat ini, lukisan tersebut berada di Istana Bogor. Karena bentuk fisik yang besar dan sudah berusia lebih dari 125 tahun, lukisan itu hanya dipamerkan menggunakan layar LED.
Selain itu, lukisan karya Raden Saleh yang berjudul ”Harimau Minum”. Lukisan itu dibuat pada 1863 dengan media cat minyak pada kanvas. Lukisan ini merupakan bentuk ciri khas pelukis Indonesia yang menekankan pada keindahan. Hal ini dipengaruhi oleh sejarah seni rupa peninggalan kolonial.
Pada masa kolonial, seniman mencatat dan menggambarkan segala keindahan alam beserta manusia untuk arsip. Selanjutnya banyak pelukis profesional dari luar negeri yang masuk ke Indonesia, secara khusus ke Bali. Sebagian di antaranya ada yang memutuskan untuk menetap di Indonesia.
”Seorang pelukis profesional melukis karyanya dengan emosi sehingga muncul gaya Mooi Indie yang berarti Indonesia molek. Gaya yang menekankan keindahan alam Indonesia ini dikritik oleh S Soedjojono sebagai selera turis yang kagum dengan pemandangan alam. Soedjojono melihat problem sosial dan kenyataan sehari-hari harus diangkat dalam sebuah karya seni. Soedjojono menekankan sebuah seni lukis sebagai jiwa ketok atau jiwa yang tampak. Gaya ini sangat berkembang di Jogja,” tutur Hasan.
Seiring perjalanan waktu dan perkembangan budaya pop, pada tahun 1975 muncul Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia yang menekankan keragaman. Lukisan dengan berbagai konsep dan pemikiran, serta desain grafis mulai berkembang menjadi bagian kehidupan sehari-hari.
Pada tahun 1980 muncul surealisme Jogja yang memasukkan unsur mitologi dalam sebuah karya seni. Dunia surealistik atau kerohanian pada kehidupan sehari-hari menjadi bagian dalam sebuah karya.
Salah satu karya yang menekankan unsur kerohanian terdapat pada karya Abdul Djalil Pirous yang berjudul ”Subuh/Doa VIII”. Lukisan yang dibuat pada 1980 itu menceritakan impresi saat subuh hari. Dunia masih senyap dan sepi sehingga suasana syahdu dapat dirasakan. Sebagai seorang Muslim, suasana subuh adalah sesuatu yang magis bagi Pirous.
Pada tahun ini, pameran dibuka oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, Selasa (1/8), dengan acara simbolis penandatanganan poster pameran. Ia mengatakan, pameran ini bertujuan agar masyarakat dapat melihat harta yang tak ternilai di istana.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menjelaskan, Senandung Ibu Pertiwi dimaknai sebagai Tanah Air tempat kita dilahirkan dan berkarya bersama-sama.
”Tujuan pameran agar masyarakat dapat ikut menikmati karya seniman kita pada masa lalu yang berkualitas tinggi, menunjukkan karya unggulan seniman kita kepada komunitas internasional, dan wujud komitmen Kementerian Sekretariat Negara atas pemeliharaan karya seni unggulan masa lalu dan menjadi koleksi di istana-istana kepemimpinan negara kita ini,” kata Muhadjir saat membacakan pidato pembukaan Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Selasa.
Sarana belajar
Pameran lukisan itu diselenggarakan mulai tanggal 2 Agustus hingga 30 Agustus 2017. Pameran terbagi menjadi empat tema besar, yaitu keragaman alam, dinamika keseharian, tradisi dan identitas, serta khidmat dalam kepercayaan dan iman.
Mikke Susanto, salah satu kurator pameran, menjelaskan, pertimbangan pemilihan lukisan yang dipamerkan didasari atas tiga pertimbangan. Pertama, sebagian besar koleksi yang ada di istana berupa lukisan pemandangan alam karena disukai oleh presiden. Kedua, mengupayakan kaitan dengan kontekstual saat ini. Ketiga, disesuaikan dengan kebutuhan ruang.
”Tema besar yang diusung berkat masukan dari Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Pertiwi merupakan sikap sayang pada alam dan sesama. Ibu Pertiwi merupakan gabungan dari tanah, langit, dan manusia. Kata senandung merupakan tambahan dari Pratikno,” tutur Mikke.
Pameran semacam itu dipandang oleh Mikke sebagai salah satu kebutuhan edukasi. Masyarakat harus tahu bahwa bangsa Indonesia memiliki karya yang luar biasa.
Hal itu dirasakan oleh empat siwa SMK yang datang mengunjungi pameran. Ika (16), Luthfi (16), Alfina (16), dan Shinta (16) menceritakan, mereka dapat belajar bagaimana perjalanan seni rupa di Indonesia sejak Soekarno hingga Joko Widodo. Mereka pun teringat dengan lukisan-lukisan yang ada di buku pelajaran sekolah.
”Pameran lukisan dapat membantu seorang pelajar dalam belajar menggambar. Dengan melihat gambar yang bagus, seorang pelajar dapat belajar menggambar dengan mencontoh dan mencobanya,” tutur Luthfi.
Ramadhan Bouqie (60), pengunjung pameran dan pelukis, mengatakan, pameran ini menarik karena lukisan yang dipamerkan memiliki catatan sejarah. Sayangnya, fasilitas tempat yang digunakan tidak besar dan hanya diadakan satu tahun sekali.
”Saya berharap setiap hari masyarakat dapat melihat lukisan-lukisan tersebut. Masyarakat dapat melihat catatan sejarah bangsa Indonesia dari masa ke masa,” tutur Bouqie.
Setelah dibuka pada Selasa hingga Rabu (2/8) tercatat 913 pengunjung umum, sedangkan pengunjung tamu undangan berjumlah 500 orang.