Teguh Budi Yanto (41) dan Ruli Indra (42) pernah menemukan dan menamai pulau-pulau baru di sekitar Nias, Sumatera Utara. Mereka juga pernah melihat karang-karang indah yang hampir tidak pernah dilihat orang lain. Kehilangan alat hingga terputus dari dunia luar selama berbulan-bulan adalah sebagian harga yang harus mereka bayar.
”Kami pergi ke Nias setelah gempa besar beberapa tahun lalu. Di sekitar Nias, banyak pulau dan karang yang baru terlihat setelah gempa. Sebelum gempa, warga tidak pernah melihat pulau-pulau itu. Semua seperti tiba-tiba terdorong dari bawah laut, lalu muncul di permukaan. Ada pulau baru kami sepakati dinamai Kucing karena di sana banyak kucing. Tidak tahu bagaimana caranya kucing bisa sampai sana, pulau itu berada jauh dari pulau lain,” tutur Budi di Anambas, Kepulauan Riau, beberapa waktu lalu.
Pada beberapa bulan terakhir, mereka memeriksa laut di sekitar Anambas. Sembari memeriksa ulang peralatan pemindai dasar laut, Budi bercerita pengalamannya selama belasan tahun berkeliling Indonesia.
Bekerja untuk PT Wahyudi Andy Laksito Setiarso (WALS), Budi dan Ruli adalah sebagian pekerja alih daya untuk Badan Informasi Geospasial (BIG). Lembaga yang dulu bernama Badan Koordinasi Survei dan Peta Nasional (Bakorsurtanal) itu bertugas membuat peta Indonesia di darat dan laut.
Sebagian pekerjaan pemindaian untuk dasar pembuatan peta mutakhir dialihdayakan antara lain ke Budi dan rekan-rekannya. ”Setiap beberapa tahun sekali, peta harus dimutakhirkan. Aktivitas Bumi dan manusia membuat kondisi alam berubah. Dulu pelabuhan berapa meter, sekarang berapa meter. Kalau peta tidak akurat, bisa repot,” kata Budi.
Harsono (66), ketua tim PT WALS di Anambas, menyebutkan, sekarang banyak aplikasi peta di ponsel. Aplikasi-aplikasi itu berguna untuk keperluan petunjuk arah di darat.
Namun, peta itu tidak bisa dipakai jika hendak membuat dermaga atau bangunan lain. ”Di aplikasi peta, tidak ada data kedalaman, pasang surut, dan arus laut. Bagaimana mau menentukan jenis tiang pancang yang akan dipakai jika data itu tidak ada? Di peta BIG, data itu bisa didapat,” tutur Harsono.
Ada banyak kegiatan lain yang membutuhkan informasi geospasial. Perencanaan tata ruang wilayah termasuk yang paling membutuhkan informasi geospasial mutakhir.
Kehilangan alat
Meski bekerja untuk lembaga pemerintah, proses perizinan tidak selalu mudah. Harsono dan timnya pernah kehilangan drone atau pesawat nirawak di salah satu kabupaten di Jawa.
”Izin terbangnya baru terbit Senin, padahal kami sudah berada di sana sejak Sabtu. Daripada tidak ada pekerjaan, kami menerbangkan drone,” ujarnya.
Rupanya, pesawat nirawak itu melintasi instalasi militer. Di area ini, tim Harsono kehilangan kendali atas drone. ”Mendadak sinyalnya hilang dan kami tidak bisa menemukan drone. Tahu-tahu ada yang memberi tahu, alat kami disita karena terbang tanpa izin di areal terlarang,” katanya sambil tertawa.
Mereka juga berkali-kali tidak bisa berhubungan dengan dunia luar. Sebagai petugas lapangan, Harsono dan rekan-rekannya memang harus sering ke berbagai pelosok Indonesia. ”Sampai Juni, jarang menelepon keluarga,” ujar Ruli yang meninggalkan keluarga di Jakarta.
Harsono dan timnya memang harus berada di Anambas paling sebentar tiga bulan sejak akhir Maret 2017. Di Anambas, sinyal telepon hanya menjangkau tidak sampai 10 persen dari 255 pulau di kabupaten terdepan Indonesia itu. ”Kami tidak bekerja di darat, kami ke laut,” ujarnya.
Di darat saja sinyal susah didapat, apalagi di laut. Kondisi ini membuat mereka sulit dihubungi selama proses pemetaan laut Anambas.
Alat pemantul suara
Untuk pekerjaan di Anambas, mereka harus memeriksa kedalaman dan kontur dasar laut setiap 25 meter. Pada lokasi tertentu, rentangnya diperbesar menjadi 50 meter.
Mereka juga memetakan garis pantai. Tugas 10 pekerja PT WALS di Anambas memetakan Lingkungan Laut Nasional (LLN) dan Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) wilayah itu.
Karena harus memeriksa kedalaman dan kontur dasar laut, mereka banyak naik perahu yang dipasangi alat pemantul suara selama di Anambas. Dari alat itu, suara dipantulkan ke dasar laut.
Berdasarkan waktu pantulan diterima kembali di alat itu, kedalaman dasar laut diperkirakan. ”Alat kami bisa memindai sampai 1.000 meter,” ujar Harsono
Selain pemantul suara, bekal kerja mereka adalah peta keluaran BIG beberapa tahun lalu. Dasar penyusunan peta itu antara lain peta buatan Belanda yang terbit pada 1933.
Baik di peta baru maupun lama, tertera bahwa Anambas memiliki 4,6 juta hektar laut dan 59.000 hektar darat. ”Berdasarkan peta lama, tidak ada kedalaman di sini yang melebihi 1.000 meter. Berbeda dengan Papua. Di sana, kami bisa mendapati dasar laut yang memiliki kedalaman ribuan meter,” katanya.
Selama 42 tahun bekerja, Harsono kerap menemukan hal yang hampir tidak pernah diketahui oleh orang lain. ”Kami menemukan banyak sekali keindahan Indonesia. Di Banggai Laut (Sulawesi Tengah), kami pernah melihat gugusan terumbu karang yang mungkin jauh lebih bagus dari Wakatobi dan Raja Ampat. Amat jarang orang mengetahui tempat itu karena hampir tidak pernah dikunjungi,” tuturnya.
Menyambangi daerah yang hampir atau bahkan tidak pernah didatangi orang harus dilakoni Harsono dan kawan-kawannya. Mereka harus memastikan data lokasi itu terekam. Selain koordinat, data yang lazimnya direkam adalah ketinggian, kontur lahan, atau dasar laut.
Seluruh perjalanan terekam dalam GPS yang secara otomatis mencatat koordinat secara berkala. Data tempat yang tidak pernah didatangi tidak akan tercatat. Akibatnya, peta tidak akurat jika data tidak lengkap itu dipaksa dipakai.
Karena itu, tidak ada cara merekam data suatu lokasi selain mendatangi langsung tempat tersebut. Di darat, orang-orang seperti Harsono harus berjalan kaki hingga berbulan-bulan. Di laut, harus naik perahu yang rentan digoyang ombak.
Kemajuan teknologi membuat pekerjaan Harsono dan rekannya lebih mudah. ”Setiap kali GPS dioperasikan, ada puluhan satelit siap berinteraksi. Bisa bergerak setiap hari. Dulu, kami harus menunggu jadwal satelit lewat. Bisa berjam-jam menunggunya,” katanya.
Semua tantangan itu dilakoni Harsono, Budi, dan Ruli sembari menyambangi pelosok Indonesia. Mereka memeriksa setiap lokasi untuk menggambar wajah Indonesia di peta.