SURABAYA, KOMPAS — Hujan pada Kamis (27/7) telah mengganggu kristalisasi garam sehingga petambak di Surabaya dan Gresik, Jawa Timur, kembali gagal panen. Petambak menghadapi ancaman kerugian karena terus menghabiskan biaya untuk operasional, tetapi belum mendapat pemasukan.
Berdasarkan pantauan di Surabaya dan Gresik, tak terlihat aktivitas petambak. Hujan lebih dari dua jam pada Kamis pagi menyebabkan tambak garam kembali terisi air tawar. Belum ada garam yang bisa dipanen. Petambak memilih membabat alang-alang di sekitar tambak.
Mat Rai (63), petambak di Benowo, Surabaya, mengatakan sudah tujuh minggu mencoba berproduksi garam. Namun, 10 hektar tambak miliknya belum bisa panen akibat terus digempur hujan. Saat cuaca normal, setelah lima minggu sejak tambak dialiri air laut, garam sudah bisa dipanen. ”Jika tidak segera panen, akan rugi,” ujarnya.
Menurut Rai, biaya operasional tambak mencapai Rp 400.000 per minggu. Sudah hampir Rp 3 juta uang dia kuras dari dompet dan tabungan. Selain itu, setiap hari, Rai dihubungi tengkulak dan pembeli garam yang menanyakan ketersediaan komoditas tersebut dan berani membayar mahal.
Harga komoditas asin itu kini tembus Rp 3.000 per kilogram dari biasanya hanya Rp 500-Rp 700 per kilogram. Namun, Rai belum bisa menjual garam akibat cuaca tak menentu yang menggagalkan panen. ”Padahal, saya ditawari dengan harga amat tinggi,” lanjutnya.
Kondisi serupa dialami PT Garam (Persero). Cuaca tak menentu mengakibatkan dalam tujuh bulan terakhir perusahaan hanya mampu memproduksi 1.200 ton garam di Pulau Madura, Jawa Timur, dan 300 ton garam di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Padahal, PT Garam memiliki arel tambak seluas 5.000 hektar di Madura dan Flores.
Bahkan, Kamis kemarin, lebih dari 100 ton garam gagal dipanen di Sumenep, Madura. ”Yang sempat dipanen tadi sebelum hujan turun segera kami simpan di gudang, tetapi sangat sedikit, tidak sampai 10 ton,” ujar Direktur Produksi Garam Budi Sasongko.
Turunnya hujan memang menjengkelkan dan mengganggu produksi garam. Hujan yang masih turun pada bulan ini di luar prediksi dan harapan. Namun, lanjut Budi, anomali cuaca harus bisa diatasi pada masa depan sehingga tak lagi mengganggu produksi garam.
Untuk itu, PT Garam sedang menguji coba sistem produksi dalam rumah prisma. Uji coba produksi berlangsung pada 1 hektar tambak di Sumenep. ”Biarpun musim hujan, produksi terus bisa jalan dan hasilnya memuaskan,” katanya.
Sistem ini sebenarnya bukan cara yang benar-benar baru. Cara produksi ini sudah diterapkan bahkan lima tahun terakhir, tetapi cuma di beberapa tambak di Jatim. Ini karena pembangunan rumah prisma mahal, mencapai Rp 100 juta per 1 hektar tambak meski berhasil guna.
Dengan rumah prisma, tambak dinaungi bangunan berangka bambu atau yang kuat, berdinding, beralas, dan beratap geomembrane untuk penguapan air laut demi menghasilkan kristal garam. Plastik itu tak mudah dirusak radiasi matahari dan larutan kimia, kedap air, luwes, dan tahan lama. Dengan cara ini, produktivitas diyakini bisa dua kali lipat dibandingkan dengan sistem tradisional, yakni penguapan terbuka.
Kualitasnya lebih baik karena garam lebih bersih. Dengan dialasi geomembrane, kristal garam tidak bercampur dengan tanah yang membuat kotor. Garam yang putih bersih bisa dijual lebih mahal untuk industri, bahkan bersaing di pasar ekspor. ”Kami sedang meneliti sejauh mana rumah prisma dapat membawa dampak positif bagi produksi garam perusahaan ini,” ujar Budi.
Langka
Terganggunya produksi garam di Jatim membuat komoditas tersebut langka di pasar. Kelangkaan memicu harga garam melambung. Di Pasar Keputran, Surabaya, garam dijual seharga Rp 12.000 per kilogram. Padahal, seminggu lalu harganya Rp 10.000 per kilogram. Garam yang tersedia juga lebih sedikit karena penjual sulit mendapatkan pasokan baru.
Terkait dengan kelangkaan garam, Kepala Kepolisian Resor Mojokerto Ajun Komisaris Besar Leonardus Simarmata mengatakan memulai penyelidikan dengan pengecekan gudang-gudang di Kabupaten Mojokerto. ”Pemeriksaan untuk mencari jawaban atas keresahan masyarakat perihal laporan kelangkaan garam,” ujarnya.
”Pemeriksaan untuk mencari jawaban atas keresahan masyarakat perihal laporan kelangkaan garam,” ujar Leonardus Simarmata.
Dalam pengecekan gudang garam milik UD Putri Sentani di Pekukuhan, Mojosari, Satuan Tugas Pangan menyelidiki lalu lintas aliran garam dari dan ke penampungan tersebut serta stoknya. Di sini, tim mendapati timbunan garam bahan baku (garam krosok).
Menurut Sentot (40), pemilik gudang, bahan baku itu merupakan limbah produksi garam dari pabrik lain. Garam krosok akan dibuat sebagai bahan pupuk berupa briket kotak atau balok.
Temuan di Pekukuhan itu masih akan diuji oleh Satgas Pangan untuk kemudian dicari kesimpulan, apakah terjadi tindak pidana atau tidak. ”Masih diselidiki, adakah unsur pidana di sana,” ucap Leonardus. (AGNES SWETTA/DODY WISNU PRIBADI)