Memetik Pelajaran Berharga dari Sebuah Bencana
Rahman (57) berteduh di sebuah pohon gelam yang tumbuh di kantor Kecamatan Manggar, Belitung Timur, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Kamis (20/7). Tatapannya kosong, kengerian bencana banjir yang hampir merenggut nyawanya masih terlihat jelas di wajahnya.
Bencana yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya itu telah menghanyutkan hampir seluruh harta yang sudah dikumpulkannya selama ini.
Pakaian Rahman tampak lusuh, celana panjang coklatnya pun terlihat kusut dan agak kotor. Dia berjalan pincang, jari kelingking di kaki kirinya tampak diperban. Luka itu menjadi saksi keganasan banjir yang merendam sebagian besar Kota Manggar, Belitung Timur.
Rahman berkisah, sejak Sabtu (15/7) malam, hujan deras terus mengguyur tempat tinggalnya di Desa Padang, Kecamatan Manggar. Saat itu, tidak ada firasat apa pun di benak Rahman bahwa akan terjadi banjir besar. ”Hujan seperti itu sudah biasa terjadi. Kalaupun banjir, tingginya tidak lebih dari 50 sentimeter,” kata Rahman, seorang transmigran yang datang dari Kota Medan pada 1992.
Namun, kepanikan mulai datang saat hujan deras itu tak kunjung berhenti. Air yang mulanya hanya menggenang semakin meninggi dan menutup sejumlah jalan akses menuju ke kota Manggar, ibu kota Belitung Timur. Beberapa orang mulai mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Alih-alih menyelamatkan diri, Rahman teringat pada dua sapi peliharaannya. Tidak berpikir panjang, dia pun berlari ke arah kandang sapi yang berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya.
Alangkah terkejutnya Rahman ketika kandang sapi yang dibangunnya sejak lima tahun lalu sudah hampir tenggelam. Sebagian badan sapi miliknya itu pun juga terendam. Dia pun bergegas memindahkan sapi ke tempat yang lebih tinggi. Namun, air terus meluap dengan arus air yang semakin deras. Tubuhnya yang sudah renta tidak mampu melawan ganasnya arus air yang deras mengalir ke saluran bekas galian tambang timah yang di belakang kandang sapi miliknya itu.
Rahman tidak menyadari dirinya sudah terjebak di tengah banjir, kakinya tak lagi menyentuh tanah. Dia terus berteriak mencari pertolongan, tetapi warga tidak mendengar. Berenang adalah satu-satunya cara menyelamatkan diri. Sebuah pohon setinggi hampir 7 meter menjadi tujuannya. Dengan susah payah, ia melawan arus deras itu sehingga mampu meraih pohon tersebut.
Untuk menyelamatkan diri, Rahman pun memanjat pohon. Tubuhnya menggigil karena hujan dan angin kencang terus mengguyur dan menerpa dirinya.
Pemandangan mengerikan terjadi di ujung pohon itu. Salah satu sapinya tampak meronta berusaha untuk melepaskan tali yang membelit kakinya. Air semakin meninggi, sapi itu pun akhirnya tenggelam dan mati. Satu sapi lainnya terbawa arus dan keberadaannya tidak terdengar hingga kini. Rahman selamat setelah warga menariknya dari atas pohon dengan tambang.
Pada hari sebelumnya, seseorang sudah menawarkan sapi itu dengan harga Rp 20 juta. Semula, Rahman menolak tawaran tersebut karena ingin mencari harga yang lebih tinggi. Namun, akhirnya dua sapi miliknya itu habis tersapu banjir.
Sehari-hari Rahman bekerja sebagi buruh lepas dengan penghasilan Rp 500.000 sampai Rp 1 juta per bulan. Penghasilan itu dia kelola untuk membiayai hidupnya dan istri. ”Sapi yang sudah saya rawat mati dan hilang. Bencana banjir ini membuat saya harus memulai hidup dari awal lagi,” kata Rahman.
Luka lebih dalam dialami oleh Sumadi (47), warga Desa Lalang, Kecamatan Manggar, saat anak sulungnya, Firman (15), harus meregang nyawa karena terseret banjir. Air mata Sumadi terus mengalir, tatapan tajam mengarah ke pusara Firman. Lantunan doa dari tetangga dan keluarga dekatnya seakan tidak berhenti. Tak banyak kata yang diucapkan, hanya ucapan terima kasih yang dia lontarkan terhadap pengunjung yang datang.
Tetangga Koban Suharli (47) yang mau bercerita saat Sumadi harus kehilangan Firman. Saat itu, mereka hendak mencari ikan di daerah Manggar. Namun, banjir langsung meluap dan menerjang keduanya. Mereka berdua terseret arus deras. Sumadi sempat berusaha untuk menolong, tetapi pegangannya terlepas dan anaknya pun ikut hanyut.
Satu hari setelah hilang jenazah Firman pun ditemukan sekitar 40 meter dari tempat kejadian. ”Ini sudah terjadi. Walau sedih, ini adalah bencana yang harus kami terima,” ujar Sumadi saat menerima bantuan dari Kementerian Sosial, Kamis (20/7). Firman adalah satu-satunya korban jiwa dalam bencana banjir di pulau Belitung.
Tidak hanya Sumadi dan Rahman yang harus kehilangan hal yang paling berharga di kehidupannya. Ratusan atau mungkin ribuan orang juga harus kehilangan harta bendanya akibat banjir yang merendam Belitung dalam rentang waktu hampir empat hari. Bedasarkan data hasil rapat koordinasi pada Senin (17/7) lalu, setidaknya 4.500 jiwa warga Belitung dan Belitung Timur menjadi korban banjir.
Berdasarkan pantauan Kompas, beberapa rumah rusak bahkan tidak bisa ditinggali lagi. Jalan-jalan akses putus. Data dari Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mencatat setidaknya ada 4.828 rumah yang terendam banjir di Kabupaten Belitung dan Belitung Timur dengan 66 rumah di antaranya mengalami rusak berat. Adapun untuk jalan akses setidaknya ada empat jalan akses yang rusak dan harus menjalani perbaikan.
Bupati Belitung Timur Yuslih Ihza Mahendra menerangkan, untuk data keseluruhan, pihaknya masih mendata. Setidaknya hingga 28 Juli mendatang, saat masa tanggap darurat selesai, semua data tersebut sudah bisa diberikan kepada instansi terkait, terutama Bandan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Kerusakan alam penyebab banjir
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Ratno Budi mengatakan, banjir besar yang menimpa Belitung tidak lepas dari kondisi kerusakan bentang alam yang terjadi akibat aktivitas tambang dan tambang ilegal yang masih marak terjadi.
Berdasarkan catatan Walhi, kerusakan lahan di Bangka Belitung sudah tergolong sangat parah. Untuk di Pulau Bangka dari 810.059 hektar lahan yang ada, 269.413 hektar lahan sudah kritis. Adapun untuk di Belitung dari total 243.193 hektar luas lahan yang ada, 51.347 hektar lahan di antaranya sudah kritis.
Mengacu data tersebut, kata Ratno, sudah saatnya pemerintah untuk membuat sejumlah kebijakan agar kerusakan lahan tidak lagi terjadi. Ratno mendesak agar pemerintah memoratorium izin tambang dan melakukan pemantauan kembali terhadap izin tambang tesebut untuk mengindentifikasi adanya kemungkinan pelanggaran. Selain itu, diperlukan adanya proses audit lingkungan yang akan menjadi evaluasi dampak kerusakan yang terjadi akibat tambang.
Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Erzaldi Rosman Djohan menerangkan, banjir terjadi oleh sejumlah faktor, yakni tingginya curah hujan dan dampak kerusakan lingkungan.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat intensitas curah hujan pada Sabtu (15/7) di seluruh kawasan Belitung Timur sangat lebat, yakni dengan intensitas di atas 100 milimeter.
Bahkan, di kota Manggar intensitas hujan mencapai 653 milimeter. Melihat hal ini, pihaknya akan segera membuat kebijakan agar setiap pembangunan harus diintegrasikan dengan kondisi lingkungan yang ada. Ke depan, perbaikan bentang alam akan dilakukan, seperti membangun kawasan wisata yang berwawasan lingkungan.