Perjuangan Menembus Jalan Rusak
Jalan sepanjang tiga kilometer itu sewaktu kondisi normal dapat ditempuh tak sampai 10 menit. Namun, enam bulan terakhir, Ipung (38) butuh berjam-jam menembusnya. Jika tak awas, ratusan lubang dalam dan berlumpur siap menjebak ban-ban mobilnya.
Bersama tiga rekannya, Ipung bersiap menjemput buah sawit di kebun Edi. Empat hari tak turun hujan, ia berharap perjalanan hari Sabtu (8/7) itu akan lancar. Dua hari sebelumnya, ia sempat menguruk sebagian lubang yang paling parah dengan puing aspal bersama pengemudi mobil lain.
Kondisi jalan menuju kebun Edi hancur dan membahayakan. Meski telah memodifikasi dan mengganti ban dengan ukuran besar, beberapa kali Ipung kepayahan melintasi jalanan becek hampir sepanjang jalan desa di Jambi Tulo, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, yang berjarak hanya 20 kilometer dari pusat Kota Jambi.
Saat akhirnya sampai di kebun Edi, mereka bergegas memasukkan tandan buah segar ke dalam bak mobil. Kalau biasanya 2 ton tandan buah segar dapat dimuat dalam bak mobilnya, kali ini hanya sepertiga yang bisa terisi. Dengan kondisi jalan buruk seperti sekarang, menurut Ipung, muatan tidak dapat maksimal agar beban mobil tidak terlalu berat.
Di perjalanan menuju lokasi pengumpulan sawit, mobil Ipung beberapa kali terpuruk. Muatan sawit semakin membebani. Tiba-tiba ban mobil terjerembap lagi. Kali ini lebih dalam. Mesin sudah dipaksa hingga meraung keras, tetapi ban tak mampu terangkat. Edi bersama dua petani lain pun turun dari atas bak. Mobil didorong beramai-ramai, sampai berhasil keluar lubang. Bau kampas kopling terasa menyengat.
Tak jauh dari situ tampak dua petani mengangkut sawit dengan motor juga terpuruk. Rantai salah satu motor bahkan putus karena dipaksa melaju dalam kubangan lumpur. Dedy, si pemilik motor, meminta tolong agar dapat menumpang mobil hingga keluar dari jalan desa. Motor dievakuasi ke bak mobil.
Jalan desa akhirnya dilalui dalam waktu dua jam. Menurut Ipung, perjalanan ini tergolong cepat karena sudah empat hari tidak turun hujan. Lagi pula setengah jalan telah diuruk puing aspal. "Biasanya kami berangkat pagi, sore baru bisa keluar," ujarnya.
Biaya besar
Menurut Ipung, jalan desa kian memburuk sejak banjir berkepanjangan melanda wilayah itu Februari lalu.
Petani kesulitan memanen buah sawit. Sasmita, petani setempat, bahkan sudah dua bulan tak bisa memanen sawit karena genangan air makin dalam menutup jalan ke kebunnya.
Petani yang tidak punya alat angkut harus membayar jasa pemilik kendaraan untuk melansir sawit hingga ke pabrik.
Petani lain, Bujang, mengeluhkan ongkos angkut sawit yang harus dibayar petani naik dua kali lipat, dari Rp 200 per kilogram menjadi Rp 400 per kg. "Penghasilan petani makin berkurang," katanya.
Ongkos yang membengkak itu kian mencekik seiring melemahnya harga jual sawit. Dua pekan lalu, buah sawit masih dibeli pabrik Rp 1.600 per kg. Kini, harganya Rp 1.400 per kg. Setelah dipotong biaya angkut menuju pabrik, pendapatan petani tinggal Rp 1.000 per kg.
Beban makin bertambah ketika curah hujan tinggi. Jalan tak bisa dilewati. Pengepul enggan menjemput sawit petani. Sering kali buah sawit yang telah dipanen terbengkalai.
Pengepul atau pemilik jasa angkutan panen ikut nombok. Ipung mengeluarkan biaya lebih dari Rp 5 juta untuk memodifikasi kendaraannya agar mampu menembus medan. Itu belum termasuk per daun yang dua kali patah dalam sebulan.
Kampas kopling pun cepat aus dan harus diganti setiap pekan dengan biaya Rp 900.000. Kaca depan mobilnya pecah tertimpa buah sawit yang terlempar saat mobil terjerembab ke dalam lubang. Bagian luar kaca hanya diplester karena ia belum punya uang untuk mengganti.
Kondisi sama ditanggung pelaku jasa pelansir motor. Upah melansir Rp 20.000 untuk sekali angkut berkapasitas 100 kg. Namun, dalam kondisi jalan buruk, pengangkutan sawit tak maksimal. "Sehari paling banyak tiga trip sawit bisa diangkut. Kalau kondisi jalan normal bisa sampai 10 trip," kata Dedy.
Putus total
Tertekannya penghasilan juga dialami masyarakat desa lain di wilayah Jambi. Di Kecamatan Sungai Bahar, Muaro Jambi, misalnya, jalan yang menghubungkan kebun sawit rakyat dan pabrik putus total akibat dalamnya lubang dan genangan lumpur. Untuk bisa mengangkut hasil panen, petani harus mengambil jalan memutar yang jaraknya 35 kilometer lebih jauh. Jarak tempuh menuju pabrik terdekat lebih dari 100 kilometer dari semestinya 70 km.
"Lagi-lagi petani yang harus menanggung kerugian," ujar Desnad, petani setempat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi, kesejahteraan petani menurun dibandingkan bulan sebelumnya. Kesejahteraan itu tecermin lewat nilai tukar petani (NTP) pada Juni 2017 sebesar 98,75, turun 0,63 persen dari bulan sebelumnya. Kepala BPS Provinsi Jambi Dadang Hardiwan mengatakan, terjadi kenaikan pada biaya yang dikeluarkan petani untuk memproduksi hasil pertanian, yakni 0,19 persen.
Kondisi NTP di bawah indeks 100 telah berlangsung lebih dari 5 tahun. NTP di bawah 100 menandakan rendahnya kesejahteraan akibat ongkos produksi lebih tinggi daripada hasil yang diterima.