Dikeluhkan, Kemacetan di Ruas Sidoarjo hingga Waru
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Pembangunan jalan paralel dengan jalan utama atau frontage road di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, berlangsung sangat lambat. Jalan sepanjang 9,2 kilometer yang dibangun sejak tahun 2012 itu tak kunjung terwujud. Hal itu dikeluhkan oleh masyarakat dan kalangan pelaku usaha sebab kemacetan yang terjadi di jalan utama semakin parah.
Amirudin (60), warga Kecamatan Sidoarjo, mengatakan, kondisi jalan utama, mulai dari Kecamatan Waru hingga Sidoarjo, saat ini selalu dipadati kendaraan. Kondisi itu berlangsung pada pagi, siang, hingga malam hari. Kepadatan jalan itu mengakibatkan kemacetan terus bertambah parah setiap harinya.
”Dulu perjalanan dengan sepeda motor dari Sidoarjo ke Waru hanya butuh waktu 15 menit karena jaraknya hanya 15 kilometer. Namun, sekarang, perjalanannya butuh waktu lebih dari 30 menit,” ujar Amirudin, Senin (17/7).
Handoko, warga Desa Sruni, Kecamatan Gedangan, menambahkan, selain semakin padat, kondisi jalan utama di Kabupaten Sidoarjo rusak parah. Banyak jalan berlubang dan dibiarkan tidak diperbaiki. Kondisi itu mengakibatkan waktu tempuh semakin lama sebab kendaraan tak bisa melaju secara maksimal.
Keluhan tentang kondisi jalan utama di Sidoarjo juga disampaikan oleh pelaku usaha. Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sidoarjo Samsul Arifin mengatakan, kondisi infrastruktur yang tidak baik menyulitkan pelaku usaha sebab mereka memerlukan kelancaran pengangkutan bahan baku ataupun barang hasil produksi.
”Transportasi yang tidak lancar mengakibatkan biaya pengangkutan tinggi karena menambah belanja bahan bakar. Biaya transportasi yang tinggi memengaruhi biaya produksi barang yang dihasilkan,” kata Samsul.
Dihambat pembebasan lahan
Bupati Sidoarjo Saiful Ilah mengatakan, lambannya pembangunan jalan paralel di wilayahnya disebabkan oleh minimnya ketersediaan lahan. Hingga saat ini masih banyak lahan yang belum dibebaskan oleh pemerintah. Kendalanya pada harga lahan yang sangat tinggi sehingga melampaui harga kewajaran yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.
”Pemerintah daerah tidak bisa membeli dengan harga tinggi karena terbentur pada peraturan perundang-undangan. Apabila pemda memaksa membeli dengan harga tinggi atau di atas harga wajar, bisa kena masalah hukum,” ujar Saiful.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Sidoarjo Sigit mengatakan, dari panjang jalan 9,2 kilometer, 50 persen lahannya dimiliki oleh perusahaan, sedangkan 35 persen dimiliki masyarakat dan 15 persen lainnya dimiliki instansi pemerintah. Total ada 31 perusahaan pemilik lahan.
”Dari 31 perusahaan itu, hingga saat ini baru 11 perusahaan yang bersedia menghibahkan lahannya. Perusahaan lainnya belum bersedia menghibahkan lahan mereka untuk pembangunan jalan,” kata Sigit.
Sementara itu, lahan milik masyarakat juga belum dibebaskan semuanya. Dari delapan desa yang dilalui pembangunan jalan paralel itu, baru dua desa yang warganya sudah diajak bicara soal pembebasan lahan. Keterbatasan anggaran pemda juga menjadi persoalan tersendiri dalam pembebasan lahan.