Kekeliruan Data Pangan Dapat Picu Gejolak
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dinilai perlu secepatnya menyelesaikan perbaikan metode penghitungan luas panen dan produksi pangan nasional. Ketidaksinkronan data itu dinilai dapat memicu gejolak sekaligus membuka potensi kekeliruan dalam penghitungan alokasi anggaran subsidi untuk petani.
Guru Besar Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Dwidjono Hadi Darmanto saat dihubungi di Yogyakarta, Jumat (14/7), berpendapat, selain metode penghitungan produksi, perbaikan juga perlu ditempuh terkait dengan data lahan, khususnya di Pulau Jawa. Pertumbuhan penduduk dan industri mempercepat alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan nonpertanian.
Dwidjono Hadi menambahkan, meski terjadi perubahan area lahan, data luas lahan tidak segera diperbarui, bahkan di beberapa daerah cenderung tetap. "Luas lahan cenderung tetap, padahal banyak yang sudah beralih fungsi. Dampaknya ke total luas dan angka produksi yang tetap tinggi, bahkan berpotensi kelebihan estimasi," ujarnya.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Ahmad Alamsyah Saragih, mengungkapkan adanya potensi ketidaktepatan penghitungan luas panen dan produksi pangan.
Alamsyah mengutip hasil uji coba penghitungan luas panen oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dengan metode kerangka sampling area (KSA) dengan sampel Indramayu dan Garut, Jawa Barat, pada Maret-Desember 2015 (bukan 2016 seperti tertulis di Kompas, 14/7). Pada uji coba itu ditemukan perbedaan angka. Salah satunya, dengan metode KSA, panen di Indramayu mencapai luas 183.000 hektar, lebih rendah daripada penghitungan berdasarkan statistik pertanian padi (SP-Padi), yakni 201.200 hektar.
Pemanfaatan teknologi
Dwidjono menganggap perlu pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan akurasi sekaligus mengefektifkan penghitungan. Perkembangan teknologi memungkinkan penghitungan luas lahan, panen, bahkan perkembangan tanaman.
Deputi Bidang Statistik Produksi BPS Adi Lumaksono menyatakan, pengujian di Kabupaten Indramayu dan Garut pada 2015 tidak dimaksudkan untuk memperkirakan produksi. Uji coba digelar untuk memperbaiki cara menghitung selama ini dengan SP-Padi. Hasil uji coba KSA tidak bisa digunakan untuk menyimpulkan luas panen sebab masih ada kekurangan.
Penyampaian laporan oleh petugas, misalnya, idealnya dengan foto dan titik koordinat memanfaatkan global positioning system. Data foto dan koordinat dipakai untuk mengonfirmasi umur dan lokasi tanaman berdasarkan peta satelit. Namun, saat uji coba pada 2015, petugas melaporkan kondisi tanaman menggunakan layanan pesan singkat.
Uji coba digelar bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Menurut Adi, uji coba dilakukan lagi dengan sejumlah perbaikan selama April-Agustus 2017. Metode ini diharapkan bisa digunakan tahun depan.
Selama ini, angka luas panen padi (SP-Padi) diperoleh dengan metode pengamatan, antara lain menghitung input produksi, seperti pupuk, bibit, dan pengairan. Penghitungan ini menghasilkan luas panen yang kemudian dikalikan dengan angka produktivitas, yang (diperoleh dari petak sampel atau ubinan), untuk menghasilkan angka produksi.
Cara itu dianggap lemah karena tingkat ketelitian dan standar penghitungan petugas lapangan yang beragam.
Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Peternakan Indramayu Takmid mengatakan, pengumpulan data luas panen menggunakan dua cara, yakni statistik pertanian dan survei ubinan yang dilakukan petugas dinas terkait.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Gatot Irianto menambahkan, penghitungan luas panen menggunakan teknologi penginderaan jauh, bekerja sama dengan BPPT. Cara ini dinilai lebih akurat untuk menghitung luas panen dan produksi pangan.
Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bustanul Arifin menilai positif upaya pemerintah memperbaiki metode penghitungan dan akurasi data pangan.
Gejolak
Akurasi data produksi pangan sempat menuai polemik. Enam bulan terakhir, kalangan peternak unggas rakyat mengeluhkan tingginya harga jagung yang dinilai tidak sejalan dengan data produksi sebagaimana disampaikan oleh pemerintah, yakni 23,5 juta ton tahun lalu. Dengan produksi sebesar itu, jagung semestinya surplus karena kebutuhan diperkirakan hanya 19 juta ton setahun.
Pemerintah lalu menghentikan impor karena optimistis mampu memenuhi kebutuhan dengan produksi dalam negeri. Namun, harga jagung segera melambung dan membuat peternak skala kecil kalang kabut.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati menilai, lonjakan anggaran subsidi pertanian belum berdampak signifikan. Anggaran antara lain dialokasikan untuk subsidi pupuk dan benih serta peningkatan produksi dan produktivitas pangan.
Namun, menurut Ana Astrid, Kepala Subbagian Data Sosial Ekonomi Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian, kenaikan anggaran antara lain digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang hasilnya akan terlihat dalam beberapa tahun ke depan. (IKI/MKN)