Arsip ”Kompas”: Malapetaka di Dieng Tinggal Tunggu Waktu?
Hari Minggu (2/7), Kawah Sileri tiba-tiba meletus. Ternyata, hidup di kawasan ”cincin api” sungguh menantang. Meski demikian, bagi warga Dieng, bencana tidak hanya akan dihadirkan oleh aktivitas vulkanik, tetapi oleh degradasi lingkungan setempat. Melalui artikel di harian Kompas, Kamis, 7 Februari 2002 di halaman 8, harian Kompas sudah mengingatkan hal tersebut. (RYO)
MALAPETAKA DI DIENG TINGGAL MENUNGGU WAKTU?
DIENG, sebuah dataran yang berada 2.088 meter di atas permukaan laut, merupakan dataran tertinggi kedua di dunia setelah Nepal, kini tinggal menyisakan sedikit keindahannya.
Hampir sulit ditemui lagi bukit-bukit hijau dan berhutan lebat. Di sepanjang perjalanan dari Wonosobo menuju kawasan itu, kini banyak dijumpai lereng-lereng bukit dari yang landai hingga yang terjal ”tercabik-cabik”—dibuka sebagai lahan perkebunan palawija dan sayur-mayur.
Sampai di situs Candi Pandawa Lima Dieng, misalnya, keadaannya tidak jauh berbeda. Di lokasi itu, penduduk setempat dibiarkan membuka lahan perkebunan sayur, seperti kol, kentang, dan cabe. Sementara itu, bukit-bukit di sekeliling situs itu hampir tidak lagi tersisa hutan. Di beberapa bukit bahkan penggarapan lahan sampai ke bagian puncaknya.
Candi Pandawa Lima juga dibiarkan telantar. Bangunan yang dikeramatkan pada masa purba itu kini kian kehilangan nilai historisnya. Di kelima bangunan candi tidak tampak lagi hiasan kudu berupa arca kepala dewa yang seolah melongok dari jendela candi, karena telah dijarah beberapa tahun lalu. Nasib yang sama juga dialami situs-situs candi lainnya di kawasan ini.
Penebangan liar dan penjarahan lahan memang menjadi masalah yang belum terpecahkan hingga kini di Dieng. Dalam kunjungan wartawan yang diprakarsai Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi ke daerah Wonosobo, Januari lalu, banyak dijumpai tumpukan kayu gelondongan dengan berbagai ukuran diameter di rumah-rumah penduduk.
Ketika hal itu ditanyakan kepada Bambang Djumadiono, Ajun Administrasi Perhutani daerah Kedu Utara, penjarahan hutan di Wonosobo diakui sulit diatasi. Karena penjarahan hutan yang terjadi belakangan ini merupakan aksi yang telah terorganisasi dengan rapi dan dibiayai.
Wonosobo adalah salah satu bagian dari Kesatuan Pemangkuan Hutan Kedu Utara, yang luas kawasan hutannya mencapai 9.961 hektar, terdiri dari 3.355 hektar hutan produksi dan 6.572 hektar hutan lindung.
Penjarahan kayu di hutan produksi yang dikelola Perhutani seluas 20.000 hektar lebih mengakibatkan kerugian yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1999, aksi kriminal itu mengakibatkan kerugian Rp 27 juta. Namun, pada tahun 2000 melonjak menjadi Rp 5,7 miliar lebih. Dan tahun lalu sampai bulan Oktober sebesar Rp 1,9 miliar. Sementara itu, hutan lindung di kawasan itu, menurut keterangan pemda setempat, nyaris tak tersisa.
Menurut keterangan Bambang, upaya-upaya represif, seperti penangkapan kendaraan yang membawa kayu jarahan, penangkapan pelaku penjarahan, dan penangkapan kayu temuan, telah dilakukan untuk melawan aksi penjarahan kayu di kawasan hutan milik Perhutani. Namun, hal itu sering kali kandas di tengah jalan karena para penjarah itu justru melawannya lewat aksi anarkistis dengan mengerahkan massa. ”Ini yang menyebabkan para karyawan kami di daerah mengalami trauma karena keselamatan jiwa mereka terancam,” ujarnya.
DESAKAN kebutuhan hidup tidak hanya mendorong penduduk setempat melakukan aksi penjarahan kayu, namun juga ke lahan-lahan di kawasan hutan. Penjarahan tanah di Wonosobo sampai September 2001 sudah mencapai 962,70 hektar yang terdiri dari 424,90 hektar di Dieng, 233,25 hektar di Sigedang, dan 304,55 hektar di Anggrunggondok.
Dari luasan lahan yang rata-rata mempunyai kemiringan cukup tajam, pohon-pohon di dalam hutan negara yang luasnya sekitar 20.000 hektar, ternyata telah porak poranda. Data di lapangan menunjukkan 50-60 persennya telah hancur.
Penjarahan tanah di Wonosobo, menurut pengamatan Bambang, lebih disebabkan oleh minimnya kepemilikan lahan oleh petani. Karena lahan yang dimiliki petani umumnya diwariskan ke anak cucu sehingga lambat laun lahan garapan tiap keluarga semakin sempit. Ketika lahan garapan sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup, mereka kemudian lari ke hutan untuk membuka lahan dan menanaminya dengan tanaman palawija.
Penggarapan lahan bahkan tidak hanya dilakukan di kawasan hutan produksi, tetapi juga ke kawasan hutan lindung dan daerah perbukitan dengan kelerengan yang terjal.
Hal ini memang tidak mudah diselesaikan hanya dengan mengeluarkan larangan dan penegakan hukum saja, tetapi perlu dicarikan jalan keluar agar mereka bisa hidup layak tanpa merusak hutan. Karena penjarahan hutan dan lahan merupakan gejala dari berbagai masalah yang menumpuk selama ini di ”bawah permukaan”.
Pembukaan daerah lereng dan hutan dengan tanaman pertanian itu sendiri bukan hanya menimbulkan kerugian material dari kayu yang dijarah, melainkan juga kerusakan yang lebih luas lagi dan tidak ternilai.
Dampaknya berupa erosi, longsor, dan banjir sudah beberapa kali dilaporkan dalam beberapa tahun terakhir ini. Dan, itu akan berdampak pada terjadinya banjir di daerah muara di bawahnya.
Sementara itu, sedimentasi dilaporkan semakin meluas di Waduk Wadaslintang, Telaga Warna, dan Telaga Pengilon akibat erosi di perbukitan di sekeliling waduk yang telah gundul dan berubah fungsi menjadi lahan pertanian. Hilangnya ribuan hektar kawasan hutan akan menyebabkan berkurangnya keragaman hayati dan punahnya satwa lokal seperti elang jawa yang belakangan ini sulit dijumpai di daerah itu.
Kerusakan lahan akibat erosi akan berdampak pada penurunan kesuburan di Dataran Dieng karena hara tanah yang terkandung di lapisan teratas tanah hanyut terseret arus air. Miskinnya hara tanah otomatis akan berakibat pada penurunan produktivitas lahan pertanian.
Pengelolaan hutan yang bersifat sentralistik selama ini dituding sebagai salah satu penyebab kerusakan lingkungan di Wonosobo. Hal ini yang mengakibatkan penanganan masalah yang muncul di daerah terkesan lamban. Sebab, aparat pemerintah daerah merasa tak berwenang memutuskan sesuatu sebelum mendapat petunjuk dari pusat.
Sementara itu, dalam mengelola hutan, aparat Perhutani sering kali bertindak sangat represif terhadap masyarakat. Berbagai larangan dikeluarkan, seperti larangan mencari kayu bakar, mengambil daun, menggembala ternak, dan larangan-larangan yang lain. Hal ini yang kemudian menimbulkan dendam masyarakat sekitar untuk melakukan aksi balas dendam berupa penjarahan belakangan ini.
Masyarakat sekitar pun menyatakan kekesalannya karena tudingan bahwa mereka sebagai pelaku penjarahan. Mereka sebaliknya menilai Perhutani telah gagal menjalankan fungsinya dalam pengelolaan hutan dan pelestarian lingkungan. Karena itu mereka menuntut dibubarkannya Perhutani.
Penentangan petani pada Perhutani ditunjukkan mereka dengan lantas diikuti penolakan petani di Resor Ngadisono untuk menanam pohon pinus di bekas lahan jarahan. Mereka mengusulkan menanam pohon jati karena pinus dinilai menyebabkan air di tempat itu berkurang.
MELIHAT kenyataan di lapangan dan dampak kerusakan lingkungan yang terjadi, menurut Ketua Komisi B DPRD Wonosobo C Krustanto, diperlukan agenda besar untuk membangkitkan peran serta masyarakat untuk memanfaatkan hutan negara. Tujuannya, demi kelestarian sumber daya hutan, berkeadilan, serta pemberdayaan masyarakat setempat.
”Adalah salah dan keliru apabila hutan negara itu diklaim hanya dimiliki pemerintah saja sementara masyarakat/rakyat tidak dilibatkan secara langsung. Maka, sudah selayaknya dan pantas apabila Perhutani sebagai pengguna tunggal kehutanan di Jawa dilikuidasi, dibubarkan, sebab sudah tidak mampu untuk mengelola sumber daya hutan,” katanya.
Alternatif yang terbaik dan perlu dicoba, ujarnya, adalah memberi kepercayaan kepada masyarakat melalui kelompok-kelompok atau lembaga desa untuk mengelola sumber daya hutan sekitar lokasi mereka. Alternatif yang mendekati adalah hutan kemasyarakatan sumber daya hutan yang dikelola oleh masyarakat sendiri, dengan fasilitator pemda atau Dinas Kehutanan.
Langkah yang terbaik dan bijak, menurut Krustanto, adalah membuat peraturan daerah serta mengajukan hak penguasaan tanah hutan negara oleh pemerintah daerah. Hal ini bertujuan melindungi masyarakat dari dampak ekologi, ekosistem, sosial ekonomi akibat monopoli pengelolaan Perhutani tersebut.
Selain itu, DPRD Wonosobo akan mendorong dan memfasilitasi terbentuknya Forum Koordinasi Pencegahan Perusakan Hutan (FKPPH) Kabupaten Wonosobo dengan melibatkan semua komponen masyarakat, pemda, kepolisian, kodim, kejaksaan, Perhutani, pengadilan negeri, NGO, pers, dan kelompok tani.
Forum Koordinasi Penanganan Penjarahan dan Penataan Hutan Kabupaten Wonosobo merupakan langkah yang koordinatif dan terpadu dalam penanganan penjarahan hutan. Forum ini akan melakukan penyuluhan-penyuluhan ke desa-desa sekitar hutan tentang pentingnya ”jeda lingkungan”. Selama masa jeda itu, semua kegiatan penebangan, penggarapan lahan hutan negara berhenti selama jangka waktu tertentu (6 bulan), baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun Perhutani sendiri.
Selain itu, dengan adanya forum akan dilakukan dialog-dialog dan musyawarah untuk menyelesaikan konflik/sengketa terlebih dahulu, dengan duduk bersama dari semua pihak, petani penggarap, Perhutani, penebang kayu, pembeli kayu, bandar-bandar kayu, pedagang dan lain-lain, selama jeda lingkungan. Agenda ini sedang dipersiapkan pelaksanaannya.
Sementara itu, DPRD juga melakukan dialog intensif dengan LSM FHJ (Forum Hutan Jawa) dan Faswil Jateng FKKM untuk merumuskan strategi yang ideal dalam pengelolaan SDH di Wonosobo. Konsep riil dalam bentuk raperda, yaitu Raperda Hutan Kemasyarakatan.
DENGAN kebijakan pendekatan desentralisasi masalah tersebut diharapkan akan terpecahkan. Karena pengawasan oleh publik, terhadap pemegang kekuasaan dalam menjalankan amanahnya menjadi lebih dekat dan lebih cepat. Dengan sistem desentralisasi, kelemahan pengelolaan sentralistis, yaitu peminggiran masyarakat sekitar hutan akan terhindarkan. Masyarakat tak lagi jadi penonton drama pembangunan, tapi juga pemain utama sekaligus sutradaranya, demikian papar
Irfan Bakhtiar dalam tulisannya, Hutan Jawa Menjemput Ajal. Akankah Otonomi Menjadi Solusi dalam semiloka temu inisiatif DPRD se-Jawa-Madura di Wonosobo, Maret 2001.
Pengelolaan sumber daya alam oleh rakyat tengah diperjuangkan melalui pengajuan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 22 Tahun 2001 kepada pemerintah pusat, yang akan mengakomodasikan keinginan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alamnya. Perda memang sudah disahkan pada 20 Oktober 2001, dan rencananya April ini akan berlaku efektif.
Perda ini muncul, jelas Krustanto, karena bertele-telenya penanganan masalah sumber daya hutan dan lahan yang terjadi selama ini di Wonosobo. Hutan negara yang luasnya sekitar 20.000 ha, di daerah dengan ketinggian antara 1.500-2.000 mdpl (meter di atas permukaan laut) ini, 50-60 persennya sudah hancur. (YUNI IKAWATI)