Kelompok separatis sempalan di Filipina Selatan, mulai dari Abu Sayyaf Group (ASG atau Abus), diikuti beberapa kelompok lain, bermunculan karena tidak setuju pada Final Peace Agreement (FPA) tahun 1996. Perjanjian yang terwujud berkat mediasi oleh Indonesia ini terwujud antara Pemerintah Filipina dan kelompok separatis Front Pembebasan Nasional Mindanao (MNLF) di Mindanao serta Basuta (Basilan, Sulu, dan Tawi-Tawi) .
Wakil Direktur Pascasarjana Universitas Bhayangkara Suhardi, yang juga mantan Dosen Mindanao State University di Marawi, Mindanao, yang dihubungi Kamis (22/6) lalu, mengatakan, selanjutnya muncul kelompok Bangsa Moro Islamic Freedom Fighter (BIFF) dan Maute yang merupakan sempalan Front Pembebasan Islam Moro (MILF). Mereka menolak proses damai MILF dengan Manila yang berlandaskan pada Bangsamoro Basic Law (BBL).
Di lapangan, terjadi aliansi strategis antara ASG, BIFF, dan Maute untuk mendirikan ”Negara Agama” di Mindanao, Sulu, dan Tawi-Tawi. Pada Rabu (21/6) dini hari, misalnya, terjadi serangan di titik 56 kilometer di selatan Marawi oleh milisi BIFF. Serangan ini diyakini untuk mengurangi tekanan militer Filipina terhadap kelompok Maute yang menguasai 4 Barangay, dusun di kota Marawi.
Upaya memilih jalan di luar proses perdamaian, menurut Suhardi, dilakukan karena generasi muda yang menjadi motor ASG, BIFF, dan Maute memiliki penafsiran berbeda terhadap Final Peace Agreement dan Bangsamoro Basic Law dibandingkan dengan tokoh senior MILF ataupun MNLF. Manila dipandang tidak memiliki cukup dana untuk membangun wilayah selatan sesuai kesepakatan damai tersebut. Alokasi dana pembangunan selama ini lebih besar untuk wilayah Luzon di utara dan Visayas di tengah.
Pekatnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam penerimaan pegawai negeri, polisi Filipina (PNP), dan militer Filipina (AFP), kesenjangan kultural antara masyarakat utara, tengah, dan selatan memberikan kontribusi besar bagi terciptanya ketidakpuasan. Selain itu, ada problem rendahnya kualitas ataupun kuantitas infrastruktur serta sarana pendidikan di Mindanao. Belum lagi, ditengarai terjadi eksploitasi sumber daya alam di wilayah selatan oleh pemodal dari Luzon dan Visayas sehingga menambah tajam kesenjangan antara wilayah selatan dan Manila.
Saat ini, operasi AFP dan PNP terhadap kelompok sempalan sudah berjalan lebih dari setahun, menyusul penculikan WNI yang dilakukan seorang pemimpin ASG, Al Habsyi Misaya, di Pulau Sulu. Setelah Al Habsyi tewas di Pulau Sulu, April 2017, dan beberapa anak buahnya meninggal saat melakukan teror di wilayah Visayas, fokus operasi diarahkan kepada Isnilon Hapilon, pemimpin kelompok Abu Sayyaf di Pulau Basilan. Hapilon juga menjadi pemimpin kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Semula, kelompok Maute mencoba melancarkan serangan dan pemberontakan di Kabupaten Butig, Provinsi Lanao del Sur, Februari 2016, tetapi dipatahkan oleh militer ataupun polisi Filipina. Mereka juga mengebom Pasar Malam di Davao, 4 Oktober 2016. Salah satu pemimpin Maute, Omarkhayam Maute, pernah mengajar di Bekasi, Jawa Barat, tahun 2010-2011 dan menikahi Minhati Madrais. Selepas tahun 2011, mereka kembali ke Marawi, Mindanao.
Kelompok ini memiliki jejaring yang kuat di Indonesia. Pengamat keamanan, Sydney Jones, mengakui ada alur pengiriman WNI untuk berperang atau ”magang” di Mindanao bersama kelompok militan ASG, BIFF, dan Maute.
Adapun Komandan Korem 132 Tadulako, Sulawesi Tengah, Kolonel (Inf) Soleh Mustafa mengakui ada sel tidur dalam jumlah di atas 1.000 orang yang bersimpati kepada NIIS di kawasan Poso Pesisir. Mereka juga berjejaring dengan kelompok teror di Mindanao ataupun di Bima, Nusa Tenggara Barat. ”Hal ini harus diantisipasi sejak dini,” kata Soleh.
Selain teror, juga ada bentuk ancaman lain, yakni maraknya kegiatan perdagangan narkoba jenis sabu di Filipina selatan. Jejaring bisnis sabu dari wilayah ini membentang hingga Sabah, Pulau Kalimantan, Malaysia. Beberapa personel intelijen TNI di Satgas Tinombala, Poso, membenarkan maraknya peredaran sabu di Palu ataupun Poso.
Dalam perkembangan terakhir, Suhardi memperkirakan, operasi militer AFP di Marawi meski mendapat dukungan militer Amerika Serikat dan kehadiran kontraktor sipil Amerika di sana akan berlangsung berkepanjangan. Medan hutan rimba, pegunungan, sungai, dan keterbatasan operasi AFP karena perjanjian damai dengan MILF menciptakan batasan-batasan dalam perang melawan Maute. Wilayah Marawi dan sekitarnya merupakan bagian dari perjanjian damai MILF dengan Manila sehingga ada aturan-aturan tertentu bagi militer Filipina untuk beroperasi di wilayah ini.