PIDIE, KOMPAS — Universitas Syiah Kuala mengembangkan Goa Laweueng di Desa Cot, Kecamatan Muara Tiga, Pidie, Aceh, sebagai kawasan geowisata. Goa tersebut terbentuk dari batu gamping yang berumur muda dan memiliki ornamen lengkap sehingga sangat layak dijadikan obyek wisata berbasis geologi.
Dosen Geologi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Ibnu Rusdi, Sabtu (17/6), mengatakan, bagi dunia pendidikan, keberadaan goa itu dapat menjadi obyek penelitian. Terlebih karena proses pembentukan goa dan terbentuknya ornamen secara alami.
Awalnya, lanjutnya, batu gamping terbentuk dari endapan cangkang kerang dan tulang binatang di laut sekitar 5 juta tahun lalu. Akibat perubahan iklim dengan menyusutnya air laut dan aktivitas tektonik berupa pengangkatan, batu gamping tersebut tampak di atas permukaan Bumi.
”Batu gamping Goa Laweueng terdiri atas mineral kalsium karbonat yang sangat mudah larut dengan air sehingga apabila ada rekahan kecil di batu gamping, rekahan tersebut perlahan-lahan larut oleh air hujan sehingga membentuk rongga besar di dalam batu. Rongga yang besar inilah kita namakan goa,” ujar Ibnu.
Dengan dikembangkannya Goa Laweueng sebagai obyek geowisata, ujar Ibnu, upaya perlindungan akan semakin serius. Selain itu, warga sekitar juga akan mendapatkan manfaat ekonomi.
Mahasiswa Teknik Geologi Unsyiah, di bawah bimbingan Ibnu Rusdi, telah melakukan observasi awal terhadap goa tersebut. Papan informasi mengenai sejarah goa ditempel di pintu masuk. Warga dilibatkan untuk membersihkan goa itu.
”Geowisata Goa Laweueng merupakan kawasan geowisata pertama di Provinsi Aceh,” ujar Ibnu.
Teknik Geologi Unsyiah bersama mahasiswa juga akan mengembangkan beberapa potensi geowisata di tempat lain di Aceh. Pihaknya juga menggagas seluruh kawasan geowisata yang ada di Aceh akan dijadikan geosite untuk menggagas Aceh menjadi taman wisata geologi dunia.