JAKARTA, KOMPAS — Pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 sudah hampir satu setengah bulan berlalu. Kalah dengan isu-isu yang lebih baru, keriuhan pilkada pun sudah sangat jarang masuk pemberitaan. Namun, kasus hukum yang tersisa dari pilkada tidak akan ditinggalkan.
Saat pelaksanaan Pilkada DKI putaran kedua pada 19 April lalu, tindak pidana pemilu berupa penggunaan pemberitahuan memilih (formulir C6) milik orang lain terjadi di empat tempat pemungutan suara (TPS), yaitu di TPS 01 Kelurahan Gambir (Jakarta Pusat), TPS 19 Pondok Kelapa dan TPS 53 Pulogadung (Jakarta Timur), serta TPS 54 Tugu Selatan (Jakarta Utara). Kasus di TPS 01 Gambir dan TPS 19 Pondok Kelapa mengakibatkan pemungutan suara ulang pada 22 April.
Setiap orang yang sengaja mengaku dirinya sebagai orang lain saat pemungutan suara untuk menggunakan hak pilih dipidana penjara 24-72 bulan dan denda Rp 24 juta-Rp 72 juta. Itu diatur dalam Pasal 178 A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU.
Setiap orang yang sengaja mengaku dirinya sebagai orang lain saat pemungutan suara untuk menggunakan hak pilih dipidana penjara 24-72 bulan dan denda Rp 24 juta-Rp 72 juta.
Langkah lanjutan paling maju tercapai di Jakarta Utara, dengan diadakannya sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Senin (29/5/2017) terhadap terdakwa berinisial S, yang menggunakan formulir C6 milik HB di TPS 54 Tugu Selatan. ”Kami ingin menunjukkan kepada publik bahwa penyelenggara pemilihan bekerja maksimal,” ucap Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Kota Jakarta Utara Ahmad Halim, Kamis (1/6/2017).
Halim mengatakan, jaksa memperkirakan putusan majelis hakim bakal keluar setelah delapan kali sidang. Sementara itu, tugas panwas di DKI berakhir 30 Juni. Namun, ia memastikan Panwas Jakarta Utara berkomitmen mengawal kasus hingga putusan meski nanti masa tugas sudah selesai.
Agenda dalam sidang kemarin mentok pada pembacaan dakwaan karena terdakwa berinisial S saat itu sama sekali tidak didampingi pengacara. ”Sidang dilanjutkan minggu depan,” ucap komisioner Panwas Jakarta Utara, Benny Sabdo. Ia memastikan proses tidak akan berhenti jika pengacara terdakwa tetap tidak hadir. Terdakwa bisa menggunakan pengacara pos bantuan hukum (posbakum) yang disediakan pengadilan.
Penanganan kasus di Jakarta Timur dan Jakarta Pusat sayangnya tersendat, tidak semulus proses di Jakarta Utara. Ketua Panwas Jakarta Timur Sakhroji mengatakan, dua pemilih ilegal di TPS 19 Pondok Kelapa sudah memenuhi panggilan polisi, kemudian polisi sudah melimpahkan perkara ke kejaksaan. Namun, kejaksaan mengembalikan berkas perkara ke kepolisian untuk disempurnakan, lalu polisi sudah menyerahkan lagi berkas ke kejaksaan. Kini, pihaknya menanti hasil di kejaksaan.
Untuk kasus di TPS 53 Pulogadung, Sentra Penegakan Hukum Terpadu Jakarta Timur (berisi anggota panwas, polisi, dan jaksa) masih mendiskusikan kelanjutan kasus. Itu lantaran pelaku sudah kabur dan tidak ditemukan lagi di tempat tinggalnya di Jakarta. Pelaku merupakan mahasiswa di Jakarta dengan identitas penduduk Rokan Hilir, Riau.
Tidak ditemukannya keberadaan pelaku sudah berdampak pada penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) oleh kepolisian terhadap kasus di TPS 01 Gambir. Ketua Panwas Jakarta Pusat M Halman Muhdar menuturkan, pencarian sudah diupayakan hingga ke kampung halaman pelaku di Madura, Jawa Timur, tetapi yang bersangkutan tetap tidak ditemukan.