Saat Kecil Getol Dilatih Membaca, Setelah Bisa Dibiarkan

JAKARTA,KOMPAS — Minat membaca masyarakat Indonesia masih tergolong memprihatinkan. Berdasarkan studi Most Littered Nation In the World yang dilakukan Central Connecticut State University pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-62 dari 65 negara dalam hal minat baca.

Sementara itu, menurut catatan UNESCO 2015, minat baca masyarakat Indonesia baru 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 warga Indonesia, hanya 1 orang yang suka membaca.

Kondisi ini diakui oleh Duta Baca Najwa Shihab. ”Ada hasil survei yang cukup menggembirakan bahwa anak-anak di usia dini antara kelas I dan II sekolah dasar sangat gemar membaca. Tapi, ketika disurvei beberapa tahun kemudian, kemampuan baca mereka turun drastis. Situasi ini menunjukkan bagaimana sekolah belum bisa memicu siswa untuk belajar banyak,” ucapnya di sela acara Bincang Inspiratif #AkuBaca dengan tema ”Meningkatkan Minat Baca Masyarakat Indonesia”, yang digelar Kompas Gramedia di Bentara Budaya Jakarta.

Hadir pula pembicara lain, yaitu Rektor Universitas Multimedia Nusantara Ninok Leksono dan pendiri Pustaka Bergerak Nirwan Ahmad Arsuka.

”Ada hasil survei yang cukup menggembirakan bahwa anak-anak di usia dini antara kelas I dan II sekolah dasar sangat gemar membaca. Tapi, ketika disurvei beberapa tahun kemudian, kemampuan baca mereka turun drastis. Situasi ini menunjukkan bagaimana sekolah belum bisa memicu siswa untuk belajar banyak,” tutur Najwa Shihab.

Menurut Najwa, ketika anak belum bisa membaca, orangtua sangat getol mengeluarkan biaya agar anak bisa membaca. Namun, ketika anak sudah bisa membaca, orangtua tidak mengajak anak untuk terus-menerus suka membaca, berhenti di situ saja. ”Anak juga tidak diajak ke toko buku, justru diajak jajan ke mal,” ucapnya.

Oleh karena itu, menurut Najwa, kebiasaan membaca mesti secara tegas dikondisikan oleh negara. Di luar negeri, seperti Thailand, siswa wajib membaca 5-6 karya sastra dalam setahun, bahkan di negara Barat lebih banyak. Sebaliknya, di Indonesia, anak-anak tidak pernah ”dipaksa” untuk membaca buku-buku sastra.