Adig Suwandi, praktisi agrobisnis dan alumnus Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, menulis artikel Opini berjudul ”Menanti Transformasi Industri Gula” di harian Kompas, 23 Mei 2016. Adig mengungkapkan, gula menjadi bagian penting pertumbuhan masyarakat dan sejalan dengan keberadaan gula sebagai pemanis berkalori, sekaligus bahan baku industri pangan.
Namun sayangnya, tulis Adig, pertumbuhan permintaan yang pesat belum diimbangi dengan eskalasi produksi domestik, khususnya dari pabrik gula (PG) berbasis tebu. Menurut Adig, ”PG pengolah tebu hanya mampu menutup kebutuhan konsumen langsung berjumlah 2,7 juta ton. Adapun bahan baku industri gula rafinasi yang menghasilkan gula segmen industri pangan dengan total kebutuhan 2,8 juta ton masih harus diimpor dalam bentuk gula kristal mentah. Kondisi tersebut berlawanan dengan komitmen kita menjaga gawang ketahanan pangan.”
Persoalan klasik berupa tidak mudahnya mendapatkan lahan bagi industri gula rafinasi yang berkeinginan membangun kebun tebu pun mencuat ke permukaan. Secara kasatmata, perkembangan industri gula di Jawa kian mencemaskan. Memang sebagian pabrik gula berhasil melampaui masa kritis menyusul keberhasilan revitalisasi. Namun, kita tak bisa menutup mata atas fakta obyektif adanya sejumlah pabrik gula yang terus terengah-engah mempertahankan hak hidup.
Pabrik gula dalam kondisi kritis umumnya selalu defisit tebu pada tingkatan serius. Tebu harus didatangkan dari tempat jauh dengan biaya tidak murah akibat rendahnya daya saing di kawasan sekitar, setidaknya dibandingkan dengan komoditas agrobisnis lain.
Dalam artikelnya, Adig menawarkan solusi. Langkah awal yang mutlak dilakukan adalah pemetaan potensi dan arah transformasi pabrik gula, diikuti tahapan pemilihan strategi dan eksekusi. Tendensi makin mahalnya nilai sewa lahan di Jawa, yang membuat biaya pokok produksi semakin mahal di saat harga gula sudah diserahkan pada mekanisme pasar, harus menjadi pertimbangan utama.
Adig menilai perlunya kesadaran kolektif bahwa daya saing satu-satunya pilar penahan jebolnya ketahanan ekonomi.
Pabrik gula harus ditata ulang. Hanya pabrik gula berdaya saing kuat dan punya prospek ketersediaan bahan baku memadai yang dapat dipertahankan, diikuti transformasinya untuk menghasilkan produk derivat dari pengolahan tebu secara paripurna dalam skema industri hilir. Pabrik gula lain dialihfungsikan menjadi kegiatan ekonomi produktif bernilai tambah tinggi sesuai potensi setempat.
”Tanpa perubahan dan inovasi terstruktur, industri gula hanya akan terus meminta proteksi tanpa batasan waktu jelas. Pemerintah harus tegas memiliki peta jalan berikut komitmen mengupayakan pembangunan pabrik gula baru secara terintegrasi dengan menghilangkan hambatan melekat,” tulis Adig.
Dalam artikel Opini lainnya berjudul ”Kalkulasi Ekonomi Industri Gula” (harian Kompas, 21 Oktober 2016), Adig menulis, ”Untuk menutup kebutuhan gula rafinasi, setidaknya diperlukan tambahan pabrik gula baru sebanyak 16 unit dengan asumsi masing-masing berkapasitas minimal 8.000 ton tebu sehari, diikuti kemampuan produksi masing-masing 150.000-200.000 ton setahun. Kebutuhan lahan 600.000-800.000 hektar.”
Namun, menurut Adig, upaya pembangunan pabrik gula baru terasa jauh panggang dari api akibat tidak mudahnya investor mendapatkan lahan bebas permasalahan. ”Kehadiran negara diperlukan di sini guna memastikan bahwa swasembada telah menjadi pilihan politik yang diimplementasikan melalui peningkatan produksi, baik dari aspek revitalisasi pabrik gula existing berikut penataan format bisnis dan pembangunan pabrik gula baru secara terintegrasi,” tulisnya. (KSP)