Tokoh pendiri Konferensi Sangha Agung Indonesia, Bhante Pannavaro Mahathera, mengatakan, dengan berdasar pada cinta kasih itu pula setiap perbedaan yang ada tidak sekadar perlu dihargai, tetapi juga harus benar-benar diterima apa adanya.
”Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Kita harus menerima semua perbedaan yang ada karena di dunia ini tidak ada satu pun yang 100 persen sama,” ujar Bhante Pannavaro di sela-sela perayaan Trisuci Waisak di Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (10/5).
Sikap menerima perbedaan ini, menurut dia, harus dilakukan setiap orang, termasuk pemimpin negara. Dengan ketulusan hati menerima semua hal yang berbeda itu pula, kita dapat melihat setiap persoalan dengan lebih mendalam, mampu menghindarkan dari perbuatan buruk, dan sebaliknya mendorong kita untuk lebih banyak melakukan perbuatan baik.
Selain mengembangkan cinta kasih, Bhante Pannavaro yang juga Kepala Wihara Mendut pun mengingatkan, setiap umat juga harus bisa mengendalikan sikap mental dan pikiran masing-masing. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga agar semua hal buruk yang terkadang ada pada mental dan pikiran tak berdampak pada munculnya masalah atau gejolak sosial pada lingkungan di sekitarnya.
Hal senada dikatakan Kepala Wihara Sakyamuni Buddha Bhante Thanavaro Thera di Wihara Sakyamuni, Medan, Sumatera Utara, Kamis (11/5), yang mengajak seluruh bangsa mengendalikan keselarasan pikiran, tutur kata, dan perbuatan.
Agama harus jadi bunga yang indah agar dapat menjadi perekat antar-anak bangsa. ”Hanya dengan mengendalikan diri, kita bisa menjadi manusia, sekaligus bangsa yang mulia,” ujarnya.
Bhante Thanavaro mengatakan, bangsa Indonesia sangat majemuk. Indonesia terdiri dari banyak suku, agama, ras, dan golongan. Kemajemukan ini harus dipandang sebagai kekayaan bangsa, bukan ancaman. Jika seluruh putra-putri bangsa dapat menjaga persatuan, perbedaan ini akan jadi kekuatan bangsa.
Tidak ada satu pun bangsa di dunia yang mempunyai kekayaan keberagaman seperti bangsa Indonesia. Keberagaman bangsa ini harus dijaga betul. ”Kita semua harus wawas diri untuk menjaga NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Kita harus saling menghargai serta memahami perbedaan agar kita bisa hidup damai dan tenteram,” katanya.
Harus terkontrol
Direktur Urusan dan Pendidikan Agama Buddha Kementerian Agama Supriyadi mengatakan, setiap ucapan, pikiran, dan perbuatan yang dilakukan umat Buddha harus senantiasa terkontrol dan selalu didasari dengan kebijaksanaan. Dengan melakukan inilah, kehidupan yang rukun, damai, dan harmonis antar-sesama umat bisa tercipta.
Supriyadi juga mengajak setiap umat Buddha untuk berlaku bijaksana dengan melihat setiap persoalan secara mendalam, dengan mencari tahu awal mula, sebab, pemicu suatu masalah, dan tak serta-merta terbawa pada euforia yang muncul.
”Tidak perlu terburu-buru terpancing memberikan indikasi sikap membela atau melawan. Setiap umat Buddha tidak perlu cepat bereaksi, cepat memberi respons untuk menyikapi sesuatu, tanpa mengetahui penyebab persoalan itu muncul,” ujarnya.
Tema perayaan Waisak 2561/2017 kali ini adalah ”Meningkatkan Kesadaran Menjadi Kebijaksanaan”. Dengan tema ini, setiap umat Buddha diingatkan memiliki kesadaran dan kebijaksanaan untuk berkarya.
Ketua Umum Perwakilan Umat Buddha Indonesia Siti Hartati Murdaya mengingatkan, setiap umat harus mampu membangkitkan benih-benih diri yang sejati menjadi kebijaksanaan, memperkuat welas asih kepada keluarga, masyarakat, dan negara.
Umat Buddha juga diharapkan dapat terus meningkatkan kepedulian pada masyarakat yang membutuhkan, mengurangi kesenjangan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
”Kepedulian terhadap sesama merupakan bagian dari upaya kita untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa,” ujarnya. (EGI/NSA/SYA)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.