Seabad Tahu Bungkeng, Inspirasi Menghadapi Zaman
Tahun ini legenda tahu Bungkeng, pioner tahu khas Sumedang, Jawa Barat, genap berusia seabad. Lewat sepotong tahu, tahu bungkeng berbagi banyak keteladanan untuk negeri ini saat bahan baku kedelai tidak mudah didapat dan beragam tantangan terus datang menghadang.
Bau kedelai menyeruak saat lusinan tahu dimasukkan ke dalam wajan berdiameter setengah meter berisi minyak panas saat Kompas menyambangi toko itu beberapa bulan lalu. Dapur sekaligus etalase toko itu kembali mengundang banyak orang datang. Saat akhir pekan atau libur panjang, banyak pembeli mengantre di depan toko menunggu tahu matang.
Nana Sunandar (45), asal Buah Dua, Sumedang, yang kini merantau di Kota Bandung, mengatakan, tahu Bungkeng berbeda dengan tahu lainnya. Kering garing di kulitnya dan kenyal di daging putih yang tebal. Setiap pulang ke Sumedang, tahu Bungkeng selalu jadi pilihannya untuk jadi oleh-oleh bagi tetangganya di Bandung.
Duduk di bagian belakang toko, wangi kedelai itu kembali membuat Ong Yu Kim (78) tersenyum. Siang itu, ia tetap mendapati resep kakeknya, Ong Boen Keng, tetap abadi.
Yu Kim adalah generasi ketiga tahu Bungkeng. Sebelumnya, kakek buyutnya, Ong Kino, pertama kali memasak tahu di Sumedang pada tahun 1900. Tidak diketahui pasti kapan perantau asal China itu mulai memasaknya. Dia juga tak menetap di Sumedang hingga akhir hayat.
Usaha pembuatan tahu dilanjutkan Ong Boen Keng (1901-1996), anak Ong Kino yang datang ke Sumedang pada 1917. Dia jadi yang pertama membawa tahu masuk dunia usaha.
"Nama Bungkeng menyesuaikan pelafalan orang sini menyebut nama Boen Keng. Tahu juga sama, semula namanya Daofu," katanya.
Kini, Yu Kim tak aktif lagi. Usaha tahu Bungkeng dilanjutkan anaknya, Suriadi. Yu Kim menjamin meski beda tangan, racikan dan resepnya tetap sama. Senyuman saat dia mencium aroma tahu yang sedang digoreng jadi buktinya. "Kalau aromanya nikmat seperti ini berarti tahunya bakal nikmat,” ujarnya.
Doa
Banyak doa mengiringi perjalanan tahu Bungkeng menjadi legenda. Salah satunya dari Bupati Sumedang Pangeran Aria Soeriatmadja.
Bupati Sumedang (1883-1919) itu adalah pemimpin paling dicintai rakyat yang ilmu agamanya terkenal kuat. Keteladanan itu juga membuat masyarakat yakin, setiap perkataan sang bupati pasti terkabul. ”Saciduh metu, saucap nyata” (sekali meludah berhasil, sekali mengucap jadi kenyataan), kalimat kiasannya dalam bahasa Sunda.
"Ngeunah ieu kadaharan teh. Mun dijual pasti payu (Makanan ini enak. Kalau dijual pasti laku),” kata sang bupati saat mencicipi tahu Ong Kino, 100 tahun lalu.
Doa itu jadi berkah, bukan hanya untuk keturunan Ong Kino, melainkan juga ribuan masyarakat Sumedang. Lewat tahu, perbedaan asal-usul tak jadi soal.
Keberagaman jadi energi meraih kesejahteraan. Kini ada sekitar 300 unit usaha dengan jumlah tenaga kerja mencapai 1.500 orang. Total kapasitas produksi tahu per tahun mencapai 12,745,704 ton dengan nilai investasi sebesar Rp 1,3 miliar.
Doa Bupati Soeriatmadja jelas jadi semangat bagi tahu Bungkeng untuk berkembang. Namun, kerja keras para pelaku usaha ini yang paling berperan untuk mengabadikan kuliner legendaris itu.
Simak keberhasilan Boen Keng lolos ujian dari masa kelam penjajahan Jepang. Saat itu, ia sekuat tenaga mendapat delapan kilogram untuk tetap menjalankan usahanya. Dia juga berinovasi dengan minyak kacang tanah saat menggoreng tahu. Minyak itu membuat aroma tahu lebih wangi dibandingkan dengan menggunakan minyak kelapa.
Saat dipercaya menjalankan usaha ini, Yu Kim juga sukses menelurkan inovasi kreatif anak muda Indonesia. Saat itu, ia baru saja lulus SMA Mandarin Ciao Chung di Kota Bandung tahun 1958. Ia mengganti alat penggilingan dan penggorengan manual dengan mesin.
Usahanya membuahkan hasil. Kapasitas produksinya meningkat. Bila sebelumnya butuh waktu 90 menit membuat 500 potong tahu, mesin berbahan bakar solar bisa membuat 500 potong tahu dalam waktu 45 menit.
Akan tetapi, Yu Kim mengatakan, inovasi alat produksi bukan satu-satunya faktor sukses. Kesetiaan pada bahan baku dasar yang membuat tahu Bungkeng tetap bertahan.
Salah satunya, dengan tetap setia menggunakan air alami dari kaki Gunung Tampomas. Sama seperti kebanyakan daerah penghasil tahu di China selatan, air di Sumedang berkalsium sehingga mampu membuat tahu kenyal tanpa pengawet.
Suriadi mengatakan, air baku berasal dari lahan seluas 2.800 meter persegi milik keluarga di kaki Tampomas. Untuk menjaga pasokan air, baik saat kemarau maupun hujan, di lahan itu ditanam beragam tanaman keras. Tahu Bungkeng ternyata memberi manfaat nyata perlindungan lingkungan. Saat dijaga, alam pasti memberikan nikmat kepada manusia.
“Kualitas kedelai juga terjaga karena ditanam petani yang saya kenal. Tempatnya rahasia,” katanya.
Strategi bisnisnya juga jitu. Tawaran membuka cabang di luar Sumedang ditolak. Yu Kim khawatir kualitas air dan kacang kedelai tak terjaga. Tawaran ekspor ke Malaysia dan Singapura juga tidak diterima. Tanpa pegawet, tahu hanya bisa bertahan hingga tiga hari. Ia khawatir saat tiba di negeri orang, tahu tidak bisa dikonsumsi lagi. “Kami menekankan kualitas ketimbang mengejar keuntungan,” ujarnya.
Tata niaga
Ironisnya, ketangguhan seabad tahu Bungkeng dalam merencanakan usaha dan mempersiapkan produksinya belum menjadi contoh bagi proses produksi kedelai dalam negeri. Bila tahu Bungkeng sudah memenuhi semua kebutuhannya sendiri sebagai hasil perencanaan panjang, tak demikian dengan republik ini.
Minimnya produksi kedelai telah memicu impor. Ditambah lagi karena tata niaga yang lemah, harga kedelai melonjak. Para perajin tahu pun rugi tanpa menguntungkan petani kedelai.
Aep (64), perajin tahu asal Cibuntu, Kota Bandung, mengatakan, harga kedelai tak pernah pasti. Empat tahu lalu, ia pernah mengalami kenaikan harga kedelai hanya dalam hitungan jam. Aep mengatakan, saat itu menjadi momen kenaikan harga terburuk yang pernah ia alami selama puluhan tahun menjadi perajin tahu.
“Dalam dua jam harganya naik dari Rp 9.100 per kilogram menjadi Rp 9.300 per kilogram. Kenaikan harga beberapa ratus rupiah sama artinya mengancam hidup beberapa pekerja tahu di Cibuntu. Mengurangi pekerja jadi salah satu upaya kami bertahan agar usaha ini umur panjang,” katanya.
Cibuntu adalah sentra pembuatan tahu terbesar di Kota Bandung. Sekitar 2.000 orang bergantung pada sektor usaha yang sudah ada sejak sekitar 50 tahun lalu itu. Setiap hari, lebih dari 400.000-500.000 tahu berbagai ukuran diproduksi di Cibuntu.
Namun, lonjakan harga itu tak lantas dinikmati petani kedelai. Produksi kedelai dalam negeri tak pernah cukup. Data Kementerian Pertanian menyebutkan, dari 2,3 juta ton kebutuhan kedelai, hanya 37,29 persen yang dapat dipenuhi secara nasional. Selebihnya impor. Bahkan, pada 2016 produksi kedelai turun sekitar 10,96 persen dari sebelumnya 0,96 juta ton (Kompas, 5 Mei 2017).
Ketua Gabungan Kelompok Tani Wanajaya Raharja di Desa Wanajaya, Kecamatan Kasokandel, Kabupaten Majalengka, Adang Suhadang (56) mengatakan, selama ini para petani sudah menanam kedelai. Namun, akibat harga jual yang tidak menguntungkan, kedelai tak jadi prioritas. Kedelai hanya dibeli Rp 5.000-Rp 6.000 per kilogram oleh tengkulak atau jauh dari harga ideal sekitar Rp 8.500 per kilogram.
“Oleh karena itu, hati ini gembira saat pemerintah berjanji akan membeli kedelai Rp 8.500 per kilogram. Kami pasti semakin bergairah menanam kedelai,” kata Adang menceritakan pengalamannya hadir dalam acara perluasan areal tanam (PAT) kedelai yang dilakukan Kementerian Pertanian di Desa Sahbandar, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, 4 Mei 2017.
Mulai tahun ini, Kementerian Pertanian menargetkan PAT kedelai lebih dari 200.000 hektar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2015, total luas lahan kedelai di Indonesia mencapai 614.095 hektar dengan produksi mencapai 963.183 ton.
Andang mengatakan, dengan harga pembelian Rp 8.500 per kilogram, ia yakin punya keuntungan ideal. Dari satu hektar lahan kedelai, ia bisa panen 2 ton-2,5 ton kedelai atau setara Rp 17 juta-Rp 21,25 juta. Nilainya hampir dua kali lipat lebih besar daripada saat kedelai dijual ke tengkulak Rp 5.000 per kg.
Direktur Aneka Kacang dan Umbi di Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Arif Mulyawan berharap program PAT bisa meningkatkan produksi kedelai hingga 300.000 ton. Pihaknya juga menyiapkan penyuluh untuk petani agar produktivitas tanaman kedelai naik dari biasanya 1,5 ton per hektar menjadi 2,2 ton per hektar. Arief menjamin hasil panen itu akan dibeli pemerintah melalui Bulog dengan harga yang adil (Kompas, 5 Mei 2017).
“Ini menjadi awal baik bagi petani kedelai. Puluhan tahun kami selalu menjual kedelai ke tengkulak dengan harga rendah. Kali ini, semoga lebih baik,” kata Andang.
Tantangan
Hari bertambah tua saat tahu Bungkeng masih terendam dalam minyak panas. Harum aromanya masih membuat Yu Kim, ditemani Suriadi, masih duduk dengan tenang di dapur tuanya.
Sampai kapan akan setia menjaga warisan leluhurnya? Suriadi mengatakan, mungkin sepanjang hidupnya. Ia yakin, saat terus setia, beragam tantangan pasti akan mendapat solusinya.
Tantangan terbaru yang menghantui perajin tahu di Sumedang adalah pembangunan megaproyek Jalan Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu). Jalan tol itu diperkirakan selesai dalam dua tahun ke depan.
Jalan tol ini menjadi urat nadi penghubung warga menuju Bandara Internasional Jawa Barat di Kabupaten Majalengka. Namun, jalan tol sepanjang 61,87 kilometer itu juga rentan ”menyingkirkan” tahu khas Sumedang. Konsumen berpotensi meluncur di jalan tol nan mulus ketimbang singgah di pusat kota Sumedang, kota tahu legenda Indonesia itu.
Kepala Satuan Kerja Tol Cisumdawu Wida Nurfaida mengatakan, Gerbang Tol Sumedang akan berada di dekat Kantor Bupati Sumedang. Dia yakin, tol akan mendorong perekonomian karena akses Jakarta-Bandung ke Sumedang jadi lebih singkat.
“Kami selalu optimistis menghadapi tantangan, begitu juga kali ini. Jalan tol bisa jadi akan mendatangkan keuntungan. Syaratnya, gerbang tol dibuat dekat pusat kota Sumedang,” kata Suriadi.
Yu Kim juga melontarkan hal senada. Ia mengatakan akan terus berpegangan pada pesan leluhurnya. Saat tantangan dihadapi dengan berani, harum dan renyah tahu Bungkeng atau tahu lain dari Sumedang pasti akan terus abadi.
“Boen Keng juga selalu bilang bikin tahu harus apik. Harus bagus, bersih, dan berkualitas. Kami sedang menjalaninya, dan ingin mempertahankannya untuk terus menghidupi banyak orang,” ujar Yu Kim.