“Selamat Berutang Janji, Pak”
“SELAMAT berhutang janji, Pak”. Oom Pasikom, tokoh karikatur karya GM Sudarta, mengucapkan selamat kepada pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru saja terpilih, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.
Anies digambarkan berdiri gagah dengan jas hitam. Sandi, yang berkacamata, juga tak kalah necis dengan jas abu-abu. Keduanya melirik Oom Pasikom yang kali ini berpeci hitam. Kontras dengan penampilan pasangan pemenang pilkada itu, Oom Pasikom mengenakan baju lusuh dengan tambalan di sana-sini. Ia duduk bersama anaknya yang berkepala pelontos—dan lagi mengelus ayam—di atas genting rumah reot yang tenggelam oleh banjir.
Karikatur itu terbit di harian Kompas, Sabtu, 22 April 2017, tiga hari berselang dari hari pencoblosan Pilkada DKI Jakarta putaran kedua, Rabu, 19 April. Sebagaimana kemudian diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jakarta, Anies-Sandi menang dengan memperoleh 57,9 persen suara, unggul dari Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Safiul Hidayat dengan 42 persen. Keduanya bakal dilantik pada Oktober nanti.
Kenapa Oom Pasikom mengucapkan selamat kepada Anies-Sandi sambil nangkring di atas atap rumah yang kebanjiran? Tentu saj karena banjir menjadi salah satu isu penting di ibu kota Indonesia ini. Apalagi, selama kampanye, keduanya berjanji untuk membereskan masalah klasik itu, ditambah janji-janji lain—katakanlah seperti pengadaan rumah dengan uang muka (DP) 0 persen yang masih hangat dibicarakan.
Kita ingat, dalam suasana kampanye pada awal Februari 2017 lalu, banjir juga menerjang Jakarta. Banyak rumah terendam selama sepekan lebih, terutama di kampung-kampung pinggiran sungai yang langganan banjir. Dibanding siklus lima tahun sebelumnya, bencana kali ini terhitung lebih kecil, tetapi tetap saja merugikan masyarakat.
“Mengurus Jakarta itu tak seperti janji manis Anies dalam kampanye. Banyak masalah, seperti banjir. Kita lihat saja,” kata GM Sudarta tentang karya karikatur tersebut saat dihubungi di Jakarta, Senin (8/5).
Provokasi banjir
Bukan kali ini saja GM Sudarta mengangkat soal banjir dalam karikaturnya. Seniman itu sudah melakukannya sejak bergabung dengan Kompas dari 1967 sampai sekarang atau selama 50 tahun. Banjir menjadi salah satu tema yang memprovokasinya untuk berkarya. Ada sekitar 40 karyanya yang mengulik soal ini.
Karya-karya tersebut terbit rutin di harian Kompas. Dulu kerap muncul di halaman 3 atau 4 dan belakangan di halaman 6 setiap pekan pada hari Sabtu.
Apa yang terlihat dari rentetan karikatur itu? Banjir, banjir, banjir. Ternyata hampir setiap tahun Jakarta dan kawasan sekitarnya langganan bencana alam itu. Semua itu diceritakan dengan cara unik oleh Oom Pasikom, karakter lelaki bertopi pet motif kotak-kotak, yang selalu muncul dalam karikatur GM Sudarta.
Simak saja karikatur di Kompas, 17 Januari 1970. Digambarkan, Oom Pasikom lagi berjalan menembus hujan deras. Ia menerabas banjir setinggi hampir selutut. Tiba-tiba, wuss... sosok itu hilang. Hanya tersisa pet motif kotak-kotak yang melayang di udara. Oh, rupanya dia terjatuh ke dalam got yang tak terlihat karena tertutup banjir.
Pada 23 Januari 1971, Oom Pasikom kembali menyapa pembaca. Ia tengah berjalan bersama seorang perempuan. Tiba-tiba langit gelap dan awan menggumpal di langit. Perempuan itu mengomel, “Dasar goblok! Beberapa kali kubilang, sedialah payung sebelum…”
Belum kelar perempuan itu bicara, Oom Pasikom langsung menukas sambil berlari menjauh, “Okay.... Tunggu sebentar.“ Lelaki itu datang kembali dengan memanggul perahu kayu di atas kepalanya seraya bilang, “Sedialah perahu sebelum bandjir. He he…!” Si perempuan itu pun terdiam.
Adegan lain tak kalah seru. Oom Pasikom berenang di tengah banjir besar yang merendam hingga seleher Monumen Nasional (Monas). Sambil berkecipak dalam air, dia tersenyum dan berkata, “Ini hanya seandainya saja! Seandainya di Jakarta hujan terus menerus selama 40 hari. Hehehe...." Karya ini terbit pada 10 Februari 1973.
Kali lain, pada 17 Januari 1976, Oom Pasikom berdiri sambil menyandarkan tangannya di papan kayu bertuliskan, ”Dijual murah rumah gedung lengkap dengan kolam”. Bibirnya menyungging senyum sambil menoleh pemandangan di depannya: rumah kelelep air hingga ke atap.
Merujuk berita saat itu, memang banyak kompleks perumahan di Jakarta yang terendam air, seperti di Rawamangun dan Kebayoran Lama.
Pada 24 Januari 1979, Oom Pasikom naik rakit. Sambil mendayung di atas hamparan air, dia berteriak kencang, ”Garogol, Garogol, Garogol.” Berita Kompas saat itu mencatat, sepertiga wilayah Jakarta, termasuk Grogol, kebanjiran.
Masuk tahun 1990-an, karikatur serupa masih bermunculan. Pada 21 Oktober 1995, misalnya, Oom Pasikom digambarkan tengah mendayung di tengah gedung-gedung tinggi, termasuk Monas dan patung Selamat Datang di depan Hotel Indonesia (HI), yang tenggelam oleh banjir. Di depan pemandangan itu, terpampang tulisan besar: “Jakarta Waterfront City.”
Berbisik
Hampir semua karikatur GM Sudarta diolah dalam gambar atau adegan visual yang lucu, naif, penuh permainan bahasa hiperbola yang mengagetkan. Dalam kemasan penuh humor yang sekilas mengundang tawa itu, sebenarnya terselip kritik yang getir.
“Karikatur itu seperti berteriak sambal berbisik. Ada masalah-masalah yang saya lihat dan saya buat menjadi kartun. Harapannya, masalah itu belum terlambat untuk diperbaiki,” kata GM Sudarta.
Semua karya itu menjadi lebih hidup ketika desainer digital Kompas mencoba mengolahnya menjadi animasi. Saat dibuka dengan aplikasi yang tepat, gambar-gambar tadi akan tampak bergerak. Oom Pasikom lagi berjalan, contohnya, tiba-tiba terjerumus lubang. Ia mendayung rakit atau perahu, berteriak-teriak, berenang di dekat Monas, atau menyunggi perahu dengan kepalanya.
Visual itu kian mengena karena disertai kata-kata ejeken, sindiran, permintaan tolong, atau sekadar gerutuan. Tak hanya lima karikatur yang dianimasikan tadi, pendekatan serupa juga diterapkan GM Sudarta pada hampir semua karyanya.
Banjir memang menjadi masalah Jakarta dari dulu sampai kini.
Lihat saja kartun terbitan 18 Februari 1984. Di situ, Oom Pasikom bersama seorang bocah dan perempuan lagi duduk bertiga di atap rumah yang menyembul di tengah hamparan air. Si bocah nyeletuk, ”Kita sudah SSB, kan, Pak? Swasembada Banjir.”
Oom Pasikom beberapa kali mencoba melihat banjir sebagai musibah, bahkan sempat melontarkan nasihat bijak. ”Sabar dan tawakal… karena alam semesta tidak mengenal like and dislike….” Akan tetapi, pada kesempatan berbeda, ia juga bisa putus asa, menatap langit, dan mengadu, ”Tuhan bagaimana dong….”
Menurut pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Jakarta, Yayat Supriyatna, puluhan karikatur GM Sudarta tentang banjir sungguh menggambarkan kenyataan selama ini. Banjir memang menjadi masalah Jakarta dari dulu sampai kini.
Batavia—begitu nama lama Jakarta—telah kebanjiran, bahkan tak lama setelah kota itu dibangun Belanda pada abad ke-17. Belanda sebetulnya membuat kanal-kanal untuk mempercepat aliran air dari hulu ke laut, seperti Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur. Namun, upaya itu terhambat oleh sedimentasi yang cepat terjadi di kawasan yang menjadi muara dari 13 sungai ini. Perjalanan air dari hulu ke hilir tersendat saat curah hujan tinggi.
Saat bersamaan, sebagian wilayah hulu di Bogor, Jawa Barat, dan sekitarnya semakin gundul. Rawa-rawa tampungan air di Jakarta tergerus pertambahan rumah, gedung, dan jalan yang tak terkendali. Sistem drainase belum mampu mengatasi keadaan.
Sejauh ini, pemerintah masih mengandalkan proyek-proyek struktural, semisal penataan sungai, waduk, kolam retensi, tanggul, pompa, dan polder air. Masyarakat belum diajak serta membangun kultur menghargai sungai dan air dengan membuat sumur resapan, lahan terbuka hijau, dan pengendalian sampah. Saat curah hujan tinggi dan tata kelola airnya tidak maksimal, terjadilah banjir.
Masalah itu terus terjadi. “Banjir itu cerita lama yang terus berulang,” kata Yayat saat dimintai komentar tentang banjir yang melanda Jakarta awal Februari lalu.
Pameran 50 tahun
Pada Selasa (9/5) malam bakal digelar pameran “50 Tahun Kesaksian Oom Pasikom” di Bentara Budaya Jakarta. Pergelaran yang berlangsung hingga 15 Mei itu menampilkan sekitar 100 karya GM Sudarta. Semua itu dianggap merefleksikan cara seniman karikatur mengawal, menyaksikan, dan mencatatkan perjalanan Indonesia dalam bahasa visual.
Tak hanya tentang banjir, karikatur dalam pameran itu merespons banyak soal, dari masalah sosial, ekonomi, sampai politik. Isunya bisa berangkat dari hal-hal remeh-temeh sehari-hari, tapi juga terkadang terkait masalah-masalah besar di negeri ini.
Sebagaimana isu banjir, sebagian besar karikatur dalam pameran ini menyampaikan bahasa gambar yang cenderung menyentil, menyindir, tidak langsung. Kemasannya lucu, jenaka, naif, mudah mengundang senyum. Melihat pameran ini, mungkin kita penasaran, kenapa pendekatan lembut semacam itu dipilih ketimbang mengkritik langsung?
“Banyak orang tidak suka dikritik langsung. Kalau karikatur terlalu tajam, malah tidak dilihat. Lebih baik membuat gambar yang mengundang senyum, tapi mengena. Moga-moga yang dikritik juga mau merasa,” kata GM Sudarta.
Ia berprinsip, sebaiknya karikatur itu menerbitkan tiga jenis senyum. Pertama, karya itu mesti membuat senyum orang atau lembaga yang dikritik meski mungkin senyumnya pahit. Kedua, senyum juga diharapkan muncul dari masyarakat yang merasa terwakili aspirasinya melalui karya itu. Ketiga, penting juga sang kartunis tersenyum karena kehidupannya tetap aman dan karyanya tidak menimbulkan petaka bagi dirinya.
Soal keamanan ini sangat penting bagi GM Sudarta yang pernah merasakan berkarya di masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang represif. Saat itu, pemerintah tidak menoleransi suara keras, berbeda, apalagi kritik tajam. Siapa pun yang menyerempet atau memperlihatkan tanda-tanda perlawanan bakal menerima akibatnya, minimal intimidasi.
GM Sudarta pernah merasakannya. Pada 1967, misalnya, Jakarta tidak aman, banyak perampokan. Masyarakat resah. Seniman itu lantas membuat karikatur berupa orang dengan kepala berbentuk kepalan tangan.
Saat kartun itu terbit, tiba-tiba beberapa orang dengan panser menggeruduk kantor Redaksi Harian Kompas. Rombongan itu diterima Jakob Oetama, Pemimpin Redaksi Kompas saat itu. Mereka protes atas gambar kepalan tangan yang dianggap mirip lambang kesatuan tertentu.
“Pak Jakob menerima mereka dengan tenang. Saya duduk diam di belakang. Tapi, saya dan teman-teman juga siap andai terjadi sesuatu,” kenang seniman itu.
Pengalaman hari itu membuat GM Sudarta lebih bijak dalam membuat kartun selanjutnya. Kritik tetap ada, bahkan kadang juga keras, tetapi diolah dalam bahasa visual yang bisa diterima berbagai pihak. Kemasan yang jenaka diharapkan bisa membungkus kritik itu menjadi lebih enak dirasa.
Apakah ada karikatur yang bisa mengubah keadaan? “Wah, sepertinya hampir tidak ada. Kadang saya merasa sia-sia. Sejak dulu saya mengkritik masalah korupsi, toh korupsi jalan terus. Menyoal banjir, tapi banjir terus datang.”
Meski demikian, GM Sudarta percaya, sebagaimana berita, karikatur berfungsi sebagai peringatan dini (early warning) atau anjing penjaga yang setia mengingatkan bahaya sejak awal. Dengan cara itu, diharapkan bahaya itu disadari, dianggap penting, dan ditangani lebih cepat.
Karikatur juga bisa berfungsi sebagai pembuka katup tekanan sosial. Di tengah berbagai masalah yang tak henti merundung negeri ini, karikatur GM Sudarta mengajak publik untuk tertawa, bahkan menertawakan diri sendiri. Tentu, di tengah kejenakaan, karikatur juga menyodorkan harapan agar masalah-masalah itu segera diatasi. Publik diajak tetap waras dan bisa tersenyum, bahkan dalam situasi pelik sekalipun.
Semangat semacam itu pula yang mendorong GM Sudarta menggambar karikatur Oom Pasikom yang mengucapkan selamat kepada Anies-Sandi yang terpilih sebagai gubernur-wakil gubernur Jakarta. Tak lupa, ia ingatkan akan janji-janjinya, salah satunya mengatasi banjir di Ibu Kota. Bagaimanapun, janji itu adalah utang.