Emmanuel Macron, Presiden Baru Perancis
PARIS, MINGGU — Emmanuel Macron (39) terpilih menjadi Presiden Perancis setelah memenangi pemilu dengan perolehan suara signifikan 65,8 persen dari rivalnya, Marine Le Pen, Minggu (7/5) malam. Selain menjadi presiden termuda dalam sejarah republik Perancis, kemenangan Macron juga menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Perancis tetap menginginkan masa depan bersama Uni Eropa dan menolak ekstremisme.
Kemenangan Macron disambut dengan sukacita. Warga di kota-kota besar yang merupakan pendukung utama Macron memenuhi jalan-jalan dan kafe-kefe sambil mengibar-ngibarkan bendera Perancis.
Televisi Perancis, France 24, yang menyiarkan langsung pelaksanaan pemilu putaran kedua memperlihatkan kegembiraan dan kelegaan rakyat karena Macron berhasil mengalahkan kandidat ekstrem kanan yang mengusung kebijakan xenofobia dan anti-Uni Eropa. Tidak sedikit dari warga Perancis yang memilih Macron bukan karena sosoknya, melainkan karena mereka ingin menghadang sosok yang rasis menang.
Marjin kemenangan Macron itu belum memecahkan rekor dalam pemilihan presiden karena belum melampaui kemenangan Presiden Jacques Chirac dari partai konservatif yang meraih 82,2 persen suara atas ayah Marine Le Pen, pendiri Front Nasional sayap kanan, yaitu Jean-Marie Le Pen, dalam pemilihan presiden 2002.
Tingkat partisipasi warga dalam putaran kedua ini hanya berkisar 65-66 persen, terendah dalam sejarah pemilu. Jumlah pemilih yang abstain diperkirakan mencapai 4,2 juta orang. Para pendukung kandidat yang tumbang di putaran pertama banyak yang enggan memilih Macron, tetapi juga tak setuju dengan program Le Pen sehingga mereka memilih tidak mencoblos meskipun mungkin tetap datang ke tempat pemungutan suara.
Macron menyadari hal itu. Oleh karena itu, dalam pidato kemenangannya ia berjanji akan berjuang sekuat tenaga agar rakyat Perancis tidak lagi memiliki alasan untuk memilih ekstremisme. "Rakyat Perancis dan dunia menginginkan kita melindungi kebebasan dan pencerahan. Kita tidak akan menyerah pada ketakutan. Saya masih memerlukan suara Anda di bulan Juni. Kita harus menjadi mayoritas untuk bisa membuat perubahan," kata Macron merujuk pada pemilu legislatif di bulan Juni.
“Saya tahu perpecahan di negara kita menyebabkan orang memberikan suara kepada kelompok ekstrem. Saya menghormati mereka. Saya tahu kemarahan, kegelisahan, keraguan sebagian besar dari Anda juga diungkapkan. Ini menjadi tanggung jawab saya untuk mendengarkan mereka,” kata Macron dalam pidato singkatnya. “Kita adalah ahli waris sejarah besar dan pemberi pesan humanis yang hebat kepada dunia. Kita harus memberi kehidupan baru bagi masyarakat,” lanjut Macron seperti dikutip France24.
Macron juga berjanji untuk terus meningkatkan hubungan baik Perancis dengan Uni Eropa. ”Saya akan berusaha memperbaiki hubungan antara Eropa dan masyarakatnya.”
Para pemimpin Eropa menyambut gembira kemenangan Macron yang pro-Eropa dan pro-globalisasi. Juru bicara Kanselir Jerman Angela Merkel menyatakan, kemenangan Macron bermakna bagi masa depan Uni Eropa yang lebih kuat. Hal senada disebutkan Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker. "Perancis memilih untuk bekerja sama dengan Eropa," katanya.
Presiden AS Donald Trump yang sejak awal menunjukkan preferensi dukungan terhadap Le Pen, dalam Twitternya, mengucapkan selamat kepada Macron dan menyatakan siap bekerja sama di masa depan. Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin jelas-jelas mendukung Le Pen yang memiliki kesamaan visi populis, yaitu antiimigran, nasionalistik, dan anti-Uni Eropa.
Tak mengherankan jika mantan presiden Barack Obama beberapa hari sebelum pemilu menyampaikan dukungan terbuka terhadap Macron, yang disebutnya sebagai kandidat yang bisa memberi harapan kepada rakyat dan bukannya mengampanyekan ketakutan yang memecah belah rakyat. Mantan kandidat presiden AS Hillary Clinton juga menyampaikan kegembiraan atas terpilihnya Macron yang berhasil mengalahkan "campur tangan terhadap proses demokrasi".
Pernyataan Hillary ini bermata dua karena ia adalah korban campur tangan pihak Rusia yang melakukan peretasan dan penyebaran berita bohong untuk membantu kemenangan Trump. Kubu Macron juga mengalami hal serupa. Penyerangan dalam bentuk peretasan ribuan email dan rekening bank diunggah oleh kubu Front Nasional beberapa jam sebelum batas kampanye berakhir.
Namun, berbeda dengan di AS, Komisi Pemilihan Umum Perancis bersikap tegas dan mengancam untuk menuntut secara hukum siapa pun yang ikut menyebarkan retasan tersebut. Pemilih di Perancis pun lebih kritis dalam menyikapi hal ini, bahkan banyak yang menganggapnya sebagai angin lalu.
Marine Le Pen yang awalnya berharap bisa memperoleh suara dari pendukung kandidat yang tumbang di putaran pertama, antara lain kandidat ekstrem kiri Jean-Luc Melenchon yang memperoleh suara 19,5 persen dan tokoh konservatif Francois Fillon (20 persen), harus menelan kekecewaan. Meskipun ia menyatakan telah mengucapkan selamat kepada Macron, ia meminta pendukungnya untuk terus berjuang dan berkampanye bagi Partai Front Nasional pada pemilu legislatif. "Kita menyaksikan bahwa malam ini rakyat Perancis memilih kelanjutan (pemerintahan lama). Kita tidak akan menyerah," kata Le Pen.
Le Pen juga mennyatakan bahwa Front Nasional harus terus memperbarui diri agar bisa meraih kesempatan bersejarah dan memenuhi harapan orang-orang Perancis.
Kekalahan Le Pen menandai kemunduran baru bagi partai populis menyusul kekalahan di Belanda dan Austria belum lama ini. Namun, di sisi lain kekalahan Le Pen menandakan munculnya orde baru dalam politik Perancis bila suara Le Pen digabung dengan sekutunya, Nicolas Dupont-Aignan dan tokoh sayap kiri Jean-Luc Melenchon, mencapai angka hampir 50 persen.
Le Pen tidak pernah diharapkan untuk memenangi pemilihan presiden Perancis. Namun, jajak pendapat yang membuat dia hampir meraih suara 40 persen memicu kecemasan di sejumlah tempat.