“Dibao” adalah istilah program jejaring sosial di Tiongkok. Di balik polusi sebagai efek negatif kinerja ekonomi yang luar biasa, Tiongkok juga memiliki “Dibao”.
Tiongkok memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi dan ditengarai diikuti juga dengan terjadi kesenjangan pendapatan yang meningkat. Akan tetapi “Dibao” juga berhasil membebaskan 730 juta warga dari kemiskinan. Ini diberitakan berbagai media di Tiongkok dan juga diakui oleh Bank Dunia.
Direktur Bank Dunia untuk negara Tiongkok, Bert Hofman memuji Tiongkok atas prestasi soal pembebasan warga dari kemiskinan ini seperti diberitakan di harian China Daily, edisi 17 Oktober 2016.
Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim bahkan menyebutkan langsung prestasi Negara ini dalam sebuah pertemuan di Washington, Selasa (18/4).
Dari satu miliar warga dunia yang lepas dari kemiskinan sejak 1990 hingga 2016, sebanyak 730 juta terjadi di Tiongkok.
Mengapa dan bagaimana Tiongkok melakukan itu? Di balik reformasi ekonomi, di Tiongkok muncul beberapa istilah yang tidak lazim terdengar di telinga dunia terkait program ini.
National Public Radio (NPR) lewat situsnya pada 17 Januari 2017 lalu menangkap serangkaian berita-berita di Tiongkok tentang program pengentasan kemiskinan. Beberapa istilah dalam program pemerintah itu antara lain "fupin kaifa" yang artinya bantu kaum papa dan bangun.
Ada lagi istilah "tuopin" yang berarti kikis kemiskinan, "jianpin" (kurangi kemiskinan), "xiaochu pinkun" (hapus kehidupan tak layak), hingga "zhaiqu pinkunmao" (lepaskan belenggu kemiskinan).
Mensahihkan hal ini Bert Hofman berbicara soal keberhasilan Tiongkoki. “Ini adalah efek positif pertumbuhan tinggi, dan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kelompok termiskin,” kata Hofman.
Menurut data resmi Tiongkok masih ada 55 juta warga yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, ukurannya adalah memiliki pengeluaran kurang dari 1,9 dollar AS per hari. Data ini boleh saja diragukan tetapi Hofman mengatakan pemerintah Tiongkok tidak berhenti soal program ini.
Hofman menambahkan, pertumbuhan ekonomi semata tidak akan memadai untuk tugas-tugas ini. Harus ada jaminan agar hasil pertumbuhan ekonomi benar-benar menetes juga untuk kaum papa.
Maka dari itu penting menjamin akses bagi kaum papa untuk pekerjaan yang lebih baik dan lebih layak, akses pada layanan berkualitas, peletakan fondasi bagi generasi penerus agar terhindar dari belenggu kemiskinan. Pernyataan Hofman ini juga berlaku untuk seluruh dunia yang ingin menjalankan program pengentasan kemiskinan dan Tiongkok dia katakan relatif berhasil soal ini.
Untuk Tiongkok sendiri telah disusun lagi program ambisius untuk mengurangi kemiskinan ekstrem lewat Rencana Pembangunan Lima Tahun ke-13 (2016-20). Namun sebelum Repelita ke-13 ini pemerintah Tiongkok juga telah melakukan langkah-langkah terkait.
Di sejumlah daerah seperti telah diidentifikasi oleh Bank Dunia, pemerintah Tiongkok memiliki langkah-langkah mendasar. Di antaranya ada program pemenuhan gizi bagi anak-anak balita dari keluarga papa, akses pada pelayanan jasa kesehatan menyeluruh, pengadaan sarana pendidikan berkualitas, transfer uang langsung pada kaum papa, pengembangan infrastruktur pedesaan terutama jalan-jalan dan aliran listrik. Hal ini juga dilakukan lewat pajak progresif, dimana warga lebih kaya dikenakan tarif pajak lebih tinggi.
Langkah selanjutnya adalah reformasi demi perbaikan akses akan pekerjaan lebih baik. Dilakukan pula pendataan tentang peta dan angka kemiskinan sehingga memudahkan pelaksanaan program lebih kena sasaran.
Juga dikejar kelompok kaum papa yang masih sulit untuk lepas dari jerat kemiskinan seperti warga berusia tua dan etnis minoritas. Pendalamam program jejaring sosial dilanjutkan. “Tak diragukan Tiongkok akan terus melanjutkan sukses pengurangan kemiskinan,” kata Hofman.
Kiat agar pembangunan yang inklusif terus diupayakan. Tentu hal ini juga tidak terjadi hanya untuk warga pedesaan. Perbaikan standar upah di perkotaan juga dilakukan pemerintah Tiongkok.
(Reuters/AP/AFP)