Resep Indonesia Menangani Kasus-kasus Terorisme
Berkaca dari serangan serangan terorisme di Filipina dan Malaysia, bagaimana kesiapsiagaan Indonesia? Tidak bisa dihindari bahwa maraknya penangkapan teroris akhir-akhir ini membuat masyarakat terhenyak dan terkaget-kaget betapa teroris senantiasa berada di tengah tengah kita. Masyarakat hampir dipastikan tidak bisa mengenali dan tidak mengetahui aktivitas keseharian mereka terkait jaringan terorisme. Mereka berbaur dit engah komunitas sosial sebagaimana yang dilakukan masyarakat pada umumnya.
Biasanya kita baru terheran-heran saat teroris -tetangga kita tersebut ditangkap aparat. Seperti halnya penjemputan seorang deportan diduga anggota NIIS dari Turki yaitu seorang anggota DPRD Pasuruan bernama Muhamad Nadir Umar di Terminal 2 Bandara Internasional Juanda yang tiba jam 15.21 WIB, setelah turun dari pesawat Air Asia nomor penerbangan XT 327 route Kuala Lumpur-Surabaya dari Turki.
Kasus menarik lainnya pada Jumat 7 April 2017 lalu, misalnya, tiba-tiba masyarakat dihebohkan saat tiga teroris dari kelompok Jamaah Asharut Daulah (JAD) pimpinan Aman Abdurrahman ditangkap Densus 88 di Kecamatan Paciran, Lamongan, Jawa Timur. Tiga teroris itu adalah Zainal Anshori (ZA), Adi Bramadinata (AB), dan Zainal Hasan (ZH). Zainal Anshori selama ini diketahui dan teridentifikasi sebagai pimpinàn kelompok ini. Dia pernah mengikuti latihan militer di Filipina dan pernah membeli melakukan membeli senjata api di Filipina. Bahkan dua dari lima senjata api miliknya dipakai saat peristiwa bom Thamrin 2016 tahun lalu.
Tiga lainnya masih dalam status DPO (Daftar Pencarian Orang). Mereka adalah bagian dari kelompok Suryadi Mas’ud (alias Abu Ridho) yang sudah lebih dahulu ditangkap. Sementara peran Adi Bramadinata (AB) adalah yang membuat perencanaan penyerangan Polsek Brondong di Lamongan. Sedangkan Zainal Hasan bersama Zainal Anshori keterlibatannya adalah melakukan aksi pidana terorisme melakukan transaksi senjata api di Sangir Talaud Sulawesi utara.
Belum lebih dari sehari setelah kasus Lamongan, pada hari Sabtu 8 April 2017, enam teroris JAD sisa kelompok Paciran Lamongan menembak Pos Polisi Pereng, Jati Peteng, Kecamatan Jenu Kabupaten Tuban. Mengendarai mobil rental APV warnah putih Nopol H 9037 BZ, mereka menepikan kendaraan di depan Pos Polisi. Pelaku yang duduk di bangku tengah mengeluarkan pistol dan menembak ke arah Pos Pol tiga kali.
Aiptu Yudi yang melihat seorang mengeluarkan pistol dari dalam mobil, kemudian mendorong temannya Aiptu Tata untuk berlindung dari tembakan. Melalui alat komunikasi, Aiptu melaporkan kepada Kasat Lantas. Empat anggota Polsek Jenu yang memonitor segera melakukan penyekatan jalan. Tahu jalan mereka disekat, mobil pelaku masuk ke dalam SPBU dan memutar balik. Polisi mengejar mobil teroris, bahkan polisi sempat sengaja menabrakkan mobil polisi ke mobil teroris untuk menghentikan laju teroris.
Sambil menodongkan pistol, pelaku tetap tidak mau berhenti dan bahkan tancap gas. Sampai di kebun jagung, mereka berhenti dan berlari. Kontak tembak terjadi selama lima jam sampai akhirnya ke enam pelaku ditembak. Lima orang tidak membawa identitas, satu pelaku memiliki paspor bernama Satria Aditama berusia 19 tahun beralamat di Semarang. Dari tangan pelaku, ditemukan enam pucuk senjata rakitan, dan dua senjata api pistol Baretta 9mm yang diduga digunakan untuk menyerang Pos Polisi. Semua pelaku dipastikan sebagai kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Di samping penangkapan aktual tersebut, sebetulnya masih banyak penngkapan yang kurang terekspos oleh media seperti penangkapan di Bekasi, Majalengka, Purwakarta (Jawa Barat), Tangerang Selatan (Banten), Batam (Kepulauan Riau), Ngawi (Jawa Timur), Solo dan Purworejo (Jawa Tengah), Payakumbuh (Sumatera Barat), Deli Serdang (Sumatera Utara), dan di berbagai tempat lainnya.
Dalam tahun 2000 sampai September 2015, polisi menangkap 1.143 orang terkait kasus terorisme. Yang sudah selesai menjalani hukuman 501 orang dan yang masih menjalani hukuman 328 orang.
Kasus-kasus terorisme yang terjadi sepanjang 2016 dan 2017 , yang menjadi perhatian masyarakat adalah kasus bom Thamrin, bom Mapolreta Solo, kasus penyerangan polisi Tangerang, kasus Medan dan kasus Samarinda. Meskipun keenam kasus terorisme tersebut dibuat dengan kualitas bom yang rendah, tapi tetap saja menakutkan masyarakat. Dan itulah tujuan terorisme: menebar ketakutan di tengah masyarakat.
Namun demikian, banyak pengamat dunia yang mencatat bahwa hanya otoritas Indonesia yang mampu menggagalkan semua perencanaan teror NIIS.
"Resep" Indonesia
Apa keunggulan dan "resep" Indonesia menanggulangi terorisme di mata negara-negara sahabat?
Pertama, Indonesia adalah negara di kawasan Asia Tenggara yang paling menderita akibat serangan terorisme. Gerakan NII, DI/TII basis ideologinya sama untuk mendirikan negara teologis.
Kedua, Indonesia dalam menanggulangi terorisme telah menggunakan berbagai pendekatan, mulai pendekatan militer pada Orde Lama, pendekatan intelijen pada Orde Baru, dan sekarang pendekatan hukum. Ribuan tersangka sudah tertangkap namun terorisme pada zaman Orde Lama dan Orde Baru baru terungkap dalam delapan tahun terakhir.
Ketiga, regulasi dalam rangka penegakan hukum dan pembinaan senantiasa mengalami ketertinggalan. Orde Lama menuntut lahirnya Undang-undang Nomor 11 PNPS tahun 1963 tentang tindak pidana subversif. Orde Baru menggunakan UU nomor 11 PNPS tahu 1963 namun akar masalah tidak pernah terungkap tuntas.
Keempat, tuntutan reformasi menghendaki pemisahan alat pertahanan dan penegakan hukum. Akibatnya ABRI dipisah menjadi TNI dan Polri (sesuai TAP MPR No 6 dan No 7 Tahun 2000). Akibatnya penanganan teror Bom Bali, bom Marriott, dan bom Kedubes Australia babak belur. Lahirlah UU No 1 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme yang ternyata tidak mampu menjangkau aktivitas dan perencanaan NIIS. Ada desakan membuat regulasi baru.
Kelima, keunggulan Indonesia dimata dunia adalah pertama, indikator kualitatif menunjukan bahwa sejak merdeka, Indonesia mengalami kemajuan pesat dalam menangani kejahatan terorisme.
Tak ada bom ‘high explosive”
Selama tahun 2016-April 2017 di Indonesia tidak ada satupun bom menggunakan bahan high explosive. Pelaku menunjukkan keraguan untuk bunuh diri. Ini sangat berbeda dengan yang dilakukan Heri Golun, Asmar Latin Sani, dan Salik Firdaus JI dulu. Saat Orde Baru, terjadi pembajakan Woyla. Di era Orde Baru juga terjadi pelemparan presiden dengan granat dan bom oleh anggota JI, DI/TII dibuat dengan bahan high explosive. JI pada Bom Bali misalnya melakukan aksi terorisme dengan bahan peledak amunium nitrat 1.200 kg, sedangkan pada kasus bom 2016 dan 2017, teroris menggunakan bahan sederhana black powder. Pada era Orde Lama, terjadi penyerangan masif terhadap empat kedutaan besar dalam satu rangkaian teror dengan menembak Istana dengan pesawat Mig 17.
Indikator kuantitatif bahwa jumlah kasus pengeboman tahun 2016 dan 2017 hanya enam, sangat kecil bila dibandingkan pasca terungkapnya jaringan JI pasca Reformasi, Orde Lama dan Orde Baru dengan ribuan kasus.
Indikator kemampuan negara bahwa hanya sebagian kecil teroris yang telah menjalani hukuman kembali masuk pada jaringan. Yang masuk jaringan kembali rata-rata akibat kecewa karena ditolak dan menerima stigma negatif dari masyarakat.
Program hard approach berupa penangkapan dilakukan secara masif berjalan paralel dengan program soft approach, rehabilitasi, reedukasi, preventive justice dilakukan dengan apik dan rapi.
Pendekatan ideologis, kultur-sosiologis dilakukan dengan menikahkan teroris di dalam sel, mengunjungi secara rutin mantan napi teroris dalam bingkai kunjungan keluarga, membangun mesjid dan pesantren bagi tokoh prominent yang dijadikan guru dengan merekrut anak-anak mantan teroris,mungkin hanya dilakukan di Indonesia. Dan hanya di Indonesia, tokoh-tokoh inti dalam berbagai generasi teroris bisa berdialog dan dekat dengan aparat yang dulu dianggapnya thogut.
Pada penghujung 2016 sampai 2017, penulis berkali-kali diundang dan menghadiri berbagai seminar dan group discussion bertema counter terrorism di lima negara. Perwakilan sejumlah negara dalam dialog dan diskusi menyatakan keinginan untuk belajar menangani terorisme dari Indonesia dengan model pendekatan sendiri, yang disesuaikan dengan kultur, budaya, dan basis sosial masing-masing negara.
Yang menarik bagi mereka umumnya adalah bagaimana Indonesia bisa mengombinasikan, mensinkronisasikan penanganan penegakan hukum yang simultan dan sangat keras dengan pendekatan lunak", serta "bagaimana Indonesia mampu mencegah hampir setiap rencana serangan teroris".
Para perwakilan negara sahabat menyebutnya sebagai "hard approach, preventive justice versus soft aproach", sebuah resep penanganan dan pencegahan terorisme yang hanya ada di Indonesia. ***
Brigjen Polisi Hamidin adalah Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).