JAKARTA, KOMPAS — Kesadaran perajin mebel di sejumlah daerah untuk mengantongi dokumen sistem verifikasi legalitas kayu atau SVLK masih sangat beragam. Di Jawa Timur, pemerintah provinsi membantu memfasilitasi pengurusan SVLK bagi industri kecil dan menengah mebel serta kerajinan ukir. Adapun di Jawa Tengah, sosialisasi pengurusan SVLK di kalangan industri kecil dan menengah dinilai masih minim.
”Sejauh ini, sosialisasi mengenai seluk-beluk SVLK ke industri kecil dan menengah mebel serta ukir sangat terbatas. Masih banyak perajin, terutama di daerah-daerah kecil, tidak tahu bagaimana proses pengurusan dan biayanya. Ini harus dibenahi,” ujar Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Jawa Tengah Anggoro Ratmadiputro.
Padahal, SVLK sangat penting untuk memastikan produk kayu yang digunakan atau diperdagangkan berstatus legal dan sumbernya jelas. Konsumen di luar negeri pun tidak meragukan legalitas kayu yang digunakan sehingga menguntungkan pengusaha dan perajin.
Menurut Anggoro, dari sekitar 1.500 industri mebel dan ukir di Jateng, tidak lebih dari 20 persen yang sudah punya dokumen SVLK. Saat ini ada program pendampingan pengurusan SVLK sehingga biayanya lebih murah. ”Saat awal saya mengurus dokumen ini, habis Rp 50 juta-an,” ujar Anggoro.
Dia menyarankan dokumen SVLK disatukan saat pembelian bahan baku kayu legal dari Perhutani, Inhutani, atau instansi pemerintah lain. ”Jadi, setiap pengusaha mebel yang memperoleh kayu legal otomatis sudah tersertifikasi SVLK,” ujarnya.
Sementara itu, di Jawa Timur, Pemerintah Provinsi Jatim dan Kementerian Perindustrian memfasilitasi pengurusan SVLK bagi industri kecil dan menengah. Tujuannya agar industri skala kecil bisa mengekspor mebel yang diproduksi.
Menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur Ardi Prasetiawan, sejak tahun 2014, ada 39 industri kecil dan menengah (IKM) di Jatim yang difasilitasi untuk pengurusan SVLK.
”Prioritas pendampingan dilakukan kepada IKM karena
merupakan industri yang rentan sehingga harus dibantu agar bisa mengembangkan produk. Hal ini berbeda dengan industri besar yang omzetnya besar sehingga mampu membiayai pengurusan SVLK sendiri,” katanya.
Di Jawa Timur, ada 815 usaha IKM yang menyerap tenaga kerja 19.960 orang dengan nilai produksi Rp 1,3 miliar per tahun. Adapun industri besar ada 143 unit dengan 19.753 pekerja dan nilai produksinya Rp 1,8 miliar. Untuk sentra industri pengolahan kayu, di Jatim ada 4.118 unit yang melibatkan 17.830 pekerja.
Menekan biaya
Terkait dengan mahalnya biaya pengurusan SVLK yang dikeluhkan perajin, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ida Bagus Putera Parthama mengatakan, pemerintah sesungguhnya telah menekan biaya SVLK bagi pelaku usaha, terutama industri kayu skala rumah tangga. Komitmen itu tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 1 Tahun 2016. Dalam peraturan itu ditetapkan standar biaya verifikasi legalitas kayu atas industri rumah tangga/perajin Rp 7.787.500 per unit usaha. Sertifikasi berlaku enam tahun.
”Biaya itu belum termasuk biaya pemeriksaan lapangan yang meliputi akomodasi dan transportasi. Untuk menekan biaya ini, pemilik usaha disarankan menggunakan lembaga sertifikasi terdekat,” kata Ida Bagus Putera Parthama, Rabu (29/3).
Selain itu, jika industri rumah tangga ini berkelompok yang terdiri dari tiga hingga lima orang, biayanya akan lebih murah. Karena itu, biaya Rp 80 juta bagi industri kerajinan kelas menengah, seperti yang terjadi di lapangan, jauh lebih tinggi dari standar yang ditetapkan pemerintah.
”Angka itu diduga karena pelaku industri menggunakan jasa konsultan atau calo untuk memenuhi penilaian verifikasi. Sebab, sistem yang dibangun sejak 2003 itu mengharuskan pelaku usaha mengantongi berbagai perizinan, seperti izin gangguan, pengelolaan lingkungan, izin mendirikan bangunan, dan berbagai izin mendasar lain,” ucapnya.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan KLHK Rufi’ie menambahkan, perizinan bagi pelaku usaha skala rumahan juga dipermudah. Izin gangguan, misalnya, hanya perlu mengantongi surat pernyataan ketidakberatan dan kartu tanda penduduk (KTP) dari tetangga.
Terkait kalahnya Indonesia dari Vietnam, Rufi’ie mengatakan, Vietnam kini pun telah membangun semacam SVLK dan tinggal menunggu tanda tangan/ ratifikasi setelah November 2016 menyelesaikan perundingan dengan Uni Eropa. Sementara Indonesia, sejak 15 November 2016, produk kayu pemegang sertifikat legalitas kayu Indonesia ke Eropa memegang dokumen V-legal yang dinamai FLEGT-Licence.
Vietnam tiga kali mengirim utusannya untuk belajar dari Indonesia terkait SVLK. ”Vietnam justru ingin memberikan pembelaan dari industri furnitur. Ikut (FLEGT) VPA untuk menyelamatkan,” ujarnya.
Stok kayu menurun
Terkait stok kayu, berdasarkan data Perum Perhutani Jateng, jumlah tebangan jati menurun dari 157.885 pohon pada 2015 menjadi 108.959 pohon pada 2016. Kayu rimba juga menurun dari 93.551 pohon pada 2015 menjadi 66.514 pohon pada 2016. Kayu rimba terdiri dari pinus, mahoni, sonokeling, sengon, damar, dan jabon.
Sementara itu, terkait kesulitan bahan baku rotan di Cirebon, sedangkan di daerah penghasil rotan, seperti Kalimantan dan Sulawesi, rotan justru melimpah, harus segera dicarikan solusi.
”Pemerintah pusat, daerah, dan pelaku industri di hulu dan hilir harus segera bertemu,” ujar Dewan Penasihat Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia Julius Hoesan. (ICH/SYA/WHO/KRN/IKI)