MATARAM, KOMPAS - Kementerian Luar Negeri selama tahun 2016 menangani 17.928 kasus Warga Negara Indonesia yang terbelit persoalan di luar negeri. Dari jumlah itu sebanyak 12.373 kasus (69,01 persen) berhasil diselesaikan, sisanya 5.555 kasus (31 persen) masih dalam proses penyelesaian.
“Dari angka tersebut (12.373 kasus), sebanyak 9.450 di antaranya kasus TKI yang bekerja pada perseorangan (penata laksana rumah tangga), dan sebanyak 602 adalah kasus pelaut Indonesia yang bekerja di kapal ikan berbendera asing,” kata Fahri Sulaiman, Pejabat Fungsional Diplomat Madya Kemenlu, Selasa (28/3) di Mataram, Lombok, kepada wartawan di sela-sela Pertemuan Koordinasi dan Bimbingan Teknis Penanganan WNI di Luar Negeri Bagi Pemangku Kepentingan di Daerah yang berlangsung 29 Maret-1 April.
Dari kasus yang belum selesai itu, kata Fahri, memang harus menempuh prosedur hukum yang berlaku di negara penempatan. Proses penyelesaiannya bisa berlangsung bertahun-tahun. Misalnya di Malaysia, bila ada seorang TKI meninggal, jenazahnya harus mengikuti tahapan pemeriksaan, sehingga diketahui pasti penyebab kematiannya. Hasil pemeriksaan atau visum itu kemudian dibacakan Mahkamah Peradilan, baru jenazah bisa dikeluarkan dari negara tersebut.
Kasus para TKI di 132 Perwakilan Republik Indonesia di antaranya TKI/TKW yang gajinya tidak dibayar majikan, over stay, masa kontrak sudah selesai namun TKI tidak kembali ke Tanah Air. Persoalan-persoalan TKI itu dominan terjadi di Malaysia, disusul Negara-negara Timur Tengah, Hongkong, Singapura dan Taiwan.
“Penyelesaian kasus TKI di luar negeri sebagai wujud nyata perbaikan pelayanan publik di luar negeri, juga bentuk kehadiran negara memberikan perlindungan dan bantuan bagi WNI yang menghadapi masalah seperti pidana, perdata, ketenagakerjaan maupun keimigrasian," kata Fahri.
Dalam penyelesaian kasus itu peran pemangku kepentingan di daerah sangat penting seperti membantu dari prapemberangkatan, kelengkapan administrasi para TKI yang nantinya menentukan kecepatan dan keberhasilan penyelesaian suatu kasus. Dalam konteks itulah NTB dipilih sebagai tuan rumah penyelenggaraan pertemuan koordinasi yang dihadiri peserta dari Bali, NTB dan NTT.
Alasannya, NTB termasuk pengirim terbanyak TKI, ada inisiatif dan inovasi dari Pemprov NTB membenahi layanan administrasi guna mencegah persoalan saat para TKI saat bekerja di luar negeri. Inisiatif itu mendapat pengakuan di tingkat nasional, menyusul NTB meraih The Hasan Wirajuda Perlindungan WNI Award (The HWPA) tahun 2016.
Kepala Dinas Tenaga Kerja NTB H Wildan mengatakan, sejak tahun 2008, Pemprov NTB menerapkan sistem Layanan Terpadu Satu Pintu (LTSP), yaitu memangkas prosedur birokrasi berbagai persyaratan administrasi yang semula ditangani sejumlah dinas/instansi, kini bisa diselesaikan di satu tempat. Dengan demikian, layanan menjadi lebih mudah, cepat dan nondiskriminatif.
Model layanan yang bertujuan untuk menekan permainan para calo ini akan diterapkan secara bertahap di kabupaten-kota di NTB. Kabupaten Lombok Timur, Lombok Tengah dan Kabupaten Sumbawa yang merupakan kantong-kantong asal TKI menyatakan siap melaksanakan sistem LTSP pada bulan Juni mendatang.