Ketika Alam Membalas
IVAN A HADAR, Pemerhati Sosial dan Ekonomi (Opini Kompas, Rabu, 7-2-2007)
Efek rumah kaca semakin kuat akibat penggunaan gas CFC di seluruh dunia. Gas yang melubangi ozon sebagai perisai Bumi terhadap sinar ultraviolet itu mengakibatkan terjadinya perubahan zona cuaca. Ketika sebagian Afrika mengalami kekeringan, menanjaknya permukaan laut telah ”menelan” kawasan subur yang menjadi sumber kehidupan jutaan penduduk, seperti dataran rendah Po di Italia, Delta Gangga di Banglades, Mekong di Vietnam dan Kamboja, Huang He di Tiongkok. Hal sama kini mulai mengancam pantura Jawa, termasuk Jakarta.
Di Jakarta, 80 persen penduduknya memenuhi kebutuhannya dari air tanah, hidran umum, serta membeli dari pedagang air (UNDP, 2004). Tak mengherankan, permukaan air tanah di Jakarta cenderung menurun dari tahun ke tahun sehingga terjadi rembesan air laut ke beberapa wilayah Jakarta. Penyedotan air tanah di Jakarta telah mencapai 3-4 kali lipat batas toleransi (Bank Dunia, 2003).
Pada saat yang sama, gencarnya pembangunan tak jarang menggerogoti jalur hijau dan memperkecil kawasan resapan air. Proporsi luas lahan terbangun di DKI melonjak tajam sejak 20 tahun terakhir. Jakarta Selatan yang dulu merupakan daerah resapan air, misalnya, kini menjadi wilayah permukiman yang padat dengan proporsi luas lahan lebih dari 70 persen (Kompas, 3/2/2007).
Masalah berikut adalah sampah dan pencemaran udara. Sampah yang terangkut hanya sekitar 18 persen dari 7.000-an ton sampah per hari yang dihasilkan Jakarta. Sebanyak 40 persen lainnya dibuang bukan di tempat pembuangan resmi dan sisanya (30 persen) dibuang ke sungai yang ikut menjadi penyebab banjir.
Pencemaran udara dan air di Jakarta adalah akibat penanganan yang tidak tuntas, cenderung parsial, serta kurangnya kesadaran pemerintah dan masyarakat. Dalam hal peraturan, pertumbuhan ekonomi mengalahkan pertimbangan ekologis. Untuk memenangi persaingan dengan negara upah rendah seperti Vietnam dan India, selama puluhan tahun pemerintah menawarkan kemudahan produksi barang tak ramah lingkungan (sunset industries) di Jabotabek. Menjamurnya real estat dan supermal menjadikan Jakarta "hutan beton".
Tanpa terobosan radikal dan bila kita percaya pada siklus lima tahunan, banjir bandang berikutnya akan sepenuhnya menenggelamkan Jakarta. Semua warga diharapkan bangkit. Semoga banjir dan bencana lain yang akhir-akhir ini kian sering terjadi membuka mata hati kita untuk memerangi "kecenderungan ekonomi mengalahkan ekologi". Idealnya, ekonomi dan ekologi saling mendukung. Terobosan itu ada dalam akal sehat dan tak jarang terkandung dalam kearifan budaya yang lama terlupakan.
TOTO SUBANDRIYO, Alumnus IPB dan MM Unsoed, Aktivis Lembaga Nalar Terapan (Lentera) (Opini Kompas, Senin, 16-2-2009)
Bencana alam selalu datang silih berganti melanda negeri ini. Mulai dari gempa dan tsunami, tanah longsor, kekeringan, demam berdarah dengue, diare yang meluas, wabah flu burung, letusan gunung api, semburan lumpur panas dari perut bumi, kebakaran hutan, hingga banjir yang melumpuhkan jalur pantura beberapa waktu lalu.
Kita juga diingatkan oleh lembaga Geoscience Australia tentang kemungkinan terjadinya bencana dahsyat yang menimpa Indonesia. Berdasarkan kajian ilmiah lembaga itu, wilayah Asia Pasifik menghadapi sebuah era bencana alam dalam skala besar yang bisa menewaskan sampai satu juta orang pada satu waktu. Indonesia, Filipina, dan China mempunyai risiko terbesar.
Semua itu seharusnya menyadarkan bahwa bangsa ini ada di pusat ring of fire, area tempat bertemunya lempeng-lempeng tektonik yang dikelilingi gunung-gunung api paling aktif di dunia. Kita juga berada di wilayah tropis dengan pergantian dua musim ekstrem, musim hujan dan kemarau. Pada kondisi ini, bencana alam dan pandemi berbagai jenis penyakit amat mungkin terjadi.
Tim gabungan berusaha mencari korban yang tertimbun material longsor bersama kendaraannya di kawasan Koto Alam, Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, Sabtu (4/3/2017). Pada Jumat pagi sekitar pukul 09.00, sebanyak sembilan mobil terseret longsor ke dalam jurang sedalam 50 meter. Hingga saat ini, akibat kejadian itu, lima orang dinyatakan meninggal.Namun, bencana yang selalu melanda dan selalu membawa kerugian sosial, ekonomi, bahkan korban jiwa manusia yang tak sedikit itu mengindikasikan kepada kita betapa bangsa ini tak memiliki kesadaran untuk antisipasi bencana. Belum ada konsep sistemik, integratif, dan komprehensif untuk tujuan itu.
Meski Badan Nasional Penanggulangan Bencana sudah terbentuk, tetapi belum ditindaklanjuti hingga tingkat provinsi/kabupaten/kota. Lembaga bentukan masyarakat untuk penanggulangan bencana dinilai masih bersifat sporadis, terbentuk saat terjadi bencana, sedangkan kelangsungannya masih dipertanyakan. Sejumlah produk undang-undang kebencanaan juga sudah lahir, tetapi belum dijabarkan dalam bentuk peraturan yang lebih operasional. Sistem peringatan dini bencana banjir, tanah longsor, dan gunung meletus, masih buruk. Satu-satunya peringatan dini yang dinilai baik hanya pada ancaman tsunami.
TRANSTOTO HANDADHARI, Pemerhati Ekosistem Lingkungan; Pengajar Pascasarjana Ekonomi Kehutanan (Opini Kompas, Senin, 16-2-2009)
Banjir bukan hanya fenomena alam, melainkan sudah merupakan dampak ulah manusia yang meninggalkan prinsip-prinsip keseimbangan alam. Hingga skala paling kecil pun, banjir adalah produk keputusan politik. Sebuah keputusan pembangunan yang laiknya dikatakan sebagai kemajuan peradaban masyarakat telah mengubah keseimbangan alam karena tidak mendahulukan kepentingan keselamatan lingkungan itulah yang selalu berujung pada terjadinya banjir.
Data perkembangan kemajuan pengembangan permukiman dan perkotaan di daerah lain, termasuk ibu kota Jakarta sendiri, serta rusaknya DAS di mana-mana, amat korelatif dengan maraknya berita banjir setiap musim hujan. Paling tidak ada 36 DAS yang telah kritis di hampir semua sungai besar di Indonesia, di antaranya DAS Solo, DAS Brantas, dan DAS Ciliwung di Pulau Jawa. Banjir yang sebelumnya tak terlalu terdengar di luar Jawa—yang di Banjarmasin, Kalsel, hanya disebut ”air pasang”—akhir-akhir ini menjadi berita yang tidak kalah menakutkan.
Penyebab banjir adalah hilangnya kemampuan DAS menyerap air presipitasi karena berkurangnya penutupan lahan oleh pepohonan. Suka atau tidak suka, kerusakan hutan alam yang menyebabkan 59 juta hektar kawasannya perlu direhabilitasi (2000), perluasan budidaya lahan pertanian dan kebun, serta kemajuan perkotaan yang tidak dikendalikan, termasuk faktor utama penyebab banjir di luar Jawa. Curah hujan yang ekstrem menjadi faktor lain, tetapi baru terdengar menjadi alasan terjadinya banjir pada waktu sekarang.
Upaya fisik dan penanaman hulu DAS yang telah dilakukan dalam skala nasional sejak tahun 1970-an sebenarnya tidak memberi hasil nyata. Upaya itu lebih dapat disebut sebagai proyek konvensional yang bersifat tambal sulam. Umumnya dilakukan dengan membuat tanggul atau memasang pompa air, sodetan sungai, menormalkan arah aliran sungai, membuat talut, dan bronjong kawat. Penanaman pohon dianggap memerlukan waktu yang terlalu lama untuk dapat berfungsi efektif.
Kini, negara-negara maju di Eropa, Jepang, dan lainnya telah melakukan penanggulangan banjir dengan metode ekohidraulik (ecological hydraulics). Metode itu diperkenalkan tahun 1980-an dengan mengutamakan peningkatan fungsi alam secara integral dalam pencegahan banjir.
Kunci pokok penanggulangan dan pencegahan banjir metode ekohidraulik adalah DAS yang sebenarnya juga telah diperkenalkan di Indonesia sebelum tahun 1970. Renaturalisasi sungai, mengembalikan belokan-belokan sungai yang sebelumnya diluruskan, menghidupkan bekas potongan sungai lama dengan membuka tanggul pelurusan sungai, memelihara kealamiahan sungai-sungai level menengah dan parit, serta melakukan penanaman pada daerah hulu dan sepanjang aliran sungai, merupakan langkah cara ekohidraulik, menggantikan cara konvensional yang lebih mementingkan cara teknik sipil itu.
Metode ekohidraulik dalam pengembangannya harus memasukkan unsur-unsur sosial-ekonomi dan kultural, bahkan faktor perilaku penyelenggaraan negara, yang untuk negara maju bukan merupakan faktor kunci dalam masalah banjir. Jelasnya, metode ekohidraulik menawarkan penyelesaian alamiah yang komprehensif integral tanpa mengorbankan unsur ekologi lainnya.