Perbaikan kepariwisataan Indonesia harus secepatnya dilakukan dan persyaratan utama adalah mengubah cara berpikir mendasar para pembuat kebijakan. Pertama, Presiden harus mendeklarasikan bahwa turisme merupakan prioritas nasional dan aparat pusat ataupun daerah, baik pemerintah maupun swasta, wajib bekerja sama dalam usaha ini.
Oleh
·4 menit baca
ANAK AGUNG GDE AGUNG, Menteri Masalah-masalah Kemasyarakatan di Bawah Presiden Abdurrahman Wahid (Opini Kompas, 13/3/2010)
Perbaikan kepariwisataan Indonesia harus secepatnya dilakukan dan persyaratan utama adalah mengubah cara berpikir mendasar para pembuat kebijakan. Pertama, Presiden harus mendeklarasikan bahwa turisme merupakan prioritas nasional dan aparat pusat ataupun daerah, baik pemerintah maupun swasta, wajib bekerja sama dalam usaha ini.
Setelah itu perlu dilakukan beberapa tindakan ”cepat-hasil” (quick- win) untuk menghidupkan kembali tujuan-tujuan wisata yang selama ini tidak diperhatikan, tetapi hanya perlu sentuhan kecil untuk membuat mereka aktif kembali dan menjadi tujuan utama turis sembari mengurangi tekanan terhadap Bali dengan beban turis yang berlebihan dan merusak kebudayaan dan alamnya.
Fase ”cepat-hasil” ini harus diikuti dengan program jangka panjang (strategic plan) untuk membangun tujuan-tujuan wisata yang memerlukan investasi infrastruktur agar tempat-tempat yang saat ini kurang dikenal dapat menjadi pusat wisata yang potensial. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga kelanjutan jangka panjang industri turisme Indonesia.
Tempat-tempat menarik seperti ini, misalnya Trowulan dan Kota Gede untuk atraksi sejarah, Banda Naira dan Raja Ampat untuk olahraga selancar angin yang spektakuler, serta Lombok dan Waikabubak untuk pengalaman etnis yang tidak tertandingi.
Baik pada waktu fase ”cepat-hasil” ataupun pada fase jangka panjang, usaha memperbaiki kepariwisataan Indonesia harus didukung promosi yang tepat dengan melakukan branding nasional yang selaras. Branding perlu untuk memosisikan suatu tujuan wisata agar selalu dalam ingatan pertama (top of mind) calon turis, sekalian menjaring agar wisatawan yang datang adalah yang tepat yang dapat menghargai kekhasan tujuan wisata yang bersangkutan.
Paradigma dasar kepariwisataan mengatakan, lebih banyak turis yang datang menghargai kekhasan suatu tujuan wisata, lebih banyak pula masyarakat setempat yang akan merasa bangga dengan warisan budaya dan alamnya sehingga makin termotivasi untuk melestarikannya. Ini selanjutnya akan mendatangkan lebih banyak turis yang selaras. Semua ini akan menghasilkan suatu gerakan spiral ke atas yang saling mendukung antara masyarakat lokal dan turis yang datang bersama-sama memperkuat warisan tradisi setempat.
A PRASETYANTOKO, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Unika Atma Jaya Jakarta (Opini Kompas, 21/10/2011)
Perkembangan pariwisata Indonesia kurang menggembirakan. Dalam laporan berjudul Travel and Tourism Competitiveness Report 2011 yang diterbitkan Forum Ekonomi Dunia, turisme di Indonesia menduduki peringkat ke-74 dari 139 negara.
Dibandingkan negara tetangga, posisi kita jauh tertinggal. Malaysia berada di peringkat ke-35. Padahal, dilihat dari potensinya, Indonesia tentu lebih unggul. Karena tak didukung ”industri kreatif” yang memadai, potensi pariwisata kita tersimpan rapat. Menempatkan sektor pariwisata dalam mata rantai industri kreatif bisa jadi sebuah solusi. Namun, tetap saja ada persoalan-persoalan mendasar yang harus diselesaikan.
Masalah yang dihadapi sektor pariwisata dan ekonomi kreatif adalah tipikal persoalan ekonomi riil di Indonesia. Sama halnya dengan daya saing perekonomian Indonesia, yang dalam banyak hal tersandera faktor ketersediaan infrastruktur dan sistem logistik yang buruk. Belum lagi soal iklim investasi dan birokrasi yang tak kondusif. Hal-hal tersebut merupakan bagian yang menuntut kehadiran pemerintah. Pasar dan investor swasta tidak akan pernah tertarik membangun pelabuhan, jalan, bandara, transmisi listrik yang mahal dan tidak menguntungkan. Jika pemerintah ingin hadir dalam perekonomian, bagian-bagian tersebut menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dikerjakan.
MARI PANGESTU, Mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Opini Kompas, 23/3/2015)
Rendahnya kenaikan kunjungan wisatawan mancanegara di Indonesia dibandingkan dengan negara lain karena daya saing yang lebih rendah berdasarkan ukuran Forum Ekonomi Dunia (WEF), yang terutama disebabkan oleh sejumlah kendala infrastruktur.
Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk merealisasikan potensi sumbangan pariwisata. Pertama, kebijakan bebas visa dan fasilitas masuk dan keluar dari Indonesia dibuat nyaman dan aman.
Kedua, imigrasi dan bandar udara merupakan pintu masuk pertama dan kesan pertama bagi pengunjung sehingga fasilitas bebas visa juga perlu diiringi dengan pelayanan imigrasi yang efisien dan ramah. Kisi-kisi bandara yang ramah dan efisien adalah kecepatan pengambilan barang, akses dan kelancaran transportasi dari dan ke bandara, kebersihan dan kenyamanan, serta pelayanan informasi pariwisata mengenai kota/negara terkait.
Ketiga, kesiapan dari segi pelayanan dan sumber daya manusia sampai dengan infrastruktur. Misalnya jika ingin menyambut jumlah wisman dari Tiongkok dengan jumlah yang besar, kita harus siap dengan pemandu wisata dan sumber daya manusia di berbagai unsur pelayanan pariwisata yang bisa berbahasa Mandarin. Adapun infrastruktur yang memadai terkait dengan bandara atau pelabuhan, konektivitas transportasi, termasuk penerbangan langsung, prasarana, dan sarana pariwisata.
Keempat, kesiapan tempat tujuan wisata dan ragam produk pariwisata sehingga yang berkunjung akan tinggal lebih lama dan mengeluarkan lebih banyak devisa atau dalam arti lain kualitas wisatawan mancanegara yang juga meningkat.