Perokok Membebani JKN
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah perokok dan orang yang terpapar asap rokok terus bertambah. Beban biaya kesehatan untuk mengobati penyakit dengan faktor risiko rokok pun terus membengkak setiap tahun. Namun, kebijakan pengendalian rokok dinilai masih ambigu dan setengah hati.
Serangan jantung yang dialami Mustamin (51), warga Depok, Jawa Barat, saat mengemudikan mobil di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, April tahun lalu, membekas di benaknya. Nyeri dada kiri, keringat dingin, dan sesak napas membuatnya menepikan kendaraan dan minta bantuan.
Dengan bantuan petugas keamanan sebuah kantor, ia dibawa ke klinik. Dokter yang menangani menduga Mustamin kena serangan jantung dan merujuknya ke rumah sakit swasta terdekat.
Dokter di rumah sakit menemukan penyumbatan pembuluh darah koroner Mustamin. Solusinya, ia harus menjalani pemasangan cincin demi memperlebar pembuluh darahnya. ”Saat itu, biayanya Rp 170 juta,” kata Mustamin di Depok, Minggu (5/3).
Mustamin ialah pegawai negeri sipil, terdaftar sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Karena rumah sakit itu belum bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, ia dirujuk ke RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, untuk operasi pasang cincin. ”Semua indikator kesehatan saya baik, termasuk kolesterol. Dokter menduga serangan jantung dipicu kebiasaan saya merokok,” ujarnya. Per hari, Mustamin menghabiskan rata-rata sebungkus rokok.
Mustamin hanya satu dari 70 juta perokok berusia lebih dari 15 tahun di Indonesia pada 2017. Itu dengan asumsi prevalensi
perokok pada 2017 tetap seperti tahun 2013 sebesar 36,3 persen. Padahal, sejak 1995, prevalensi perokok bertambah tiap tahun.
Usia pertama merokok pun kian muda. Itu dipicu, antara lain, larangan menjual rokok pada anak berusia kurang dari 18 tahun tak dipatuhi, tak ada larangan membeli rokok ketengan, dan kebiasaan perokok dewasa merokok di depan anak.
Riset Kesehatan Dasar 2013 menyebutkan, ada 48,4 juta perokok yang rata-rata menghabiskan 12 batang rokok tiap hari. Mereka mengeluarkan total Rp 605 miliar untuk membeli rokok tiap hari. Jadi, pada 2013, perokok Indonesia mengeluarkan Rp 221 triliun hanya untuk rokok.
Dampak kesehatan
Sekretaris Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia Agus Dwi Susanto mengatakan, asap rokok tak hanya berdampak pada saluran napas atau paru-paru. Dari paru-paru, senyawa kimia dan zat racun rokok masuk pembuluh darah, menuju jantung, dan disebar ke semua organ tubuh. ”Nikotin menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah sehingga pembuluh darah menyempit,” ucapnya.
Konsekuensinya, pembuluh darah kecil menyempit, seperti pembuluh darah di otak memicu stroke, di pembuluh koroner memicu penyakit jantung koroner, di kemaluan membuat impotensi, dan di tali pusat menyebabkan janin cacat.
Selain itu, karbon monoksida rokok juga mengikat hemoglobin darah 300 kali lebih kuat dibanding ikatan hemoglobin dengan oksigen. Itu mengakibatkan darah kekurangan oksigen dan memicu penyakit kardiovaskular. Sementara tar rokok yang mengandung lebih dari 60 zat karsinogenik memicu kanker. Kanker yang kerap muncul ialah kanker mulut, lidah, dan nasofaring (hulu kerongkongan). Radikal bebas rokok bersifat oksidatif, memicu radang kelenjar di rongga hidung dan bronkitis.
Beban biaya
Dampak rokok merata di semua organ tubuh sehingga rokok jadi faktor risiko penyakit katastropik atau penyakit berbiaya mahal dan berisiko tinggi. ”Rokok jadi faktor risiko, berkontribusi pada timbulnya penyakit katastropik,” kata Kepala Grup Manajemen Kesehatan Pelayanan Primer BPJS Kesehatan Fachrurazi.
Pada 2014-2016, sekitar 20-25 persen dari biaya total layanan JKN-KIS digunakan untuk mengobati delapan penyakit katastropik, seperti jantung, gagal ginjal, kanker, dan stroke.
Pada 2016, total biaya pengobatan delapan penyakit katastropik Rp 14,58 triliun atau 22 persen dari total biaya layanan kesehatan JKN-KIS yang sebesar Rp 67 triliun. Khusus untuk jantung dan stroke, biayanya 13 persen dari total biaya layanan.
Namun, sistem tubuh kompleks dan kondisi antarindividu unik membuat penyakit katastropik tak melulu karena rokok. Riset komunitas kesehatan global beberapa dekade menunjukkan, pengendalian rokok jadi kunci menekan kasus penyakit degeneratif dan katastropik.
Karena itu, Kepala Departemen Hubungan Eksternal dan Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi menilai perlu kebijakan menekan jumlah perokok. Kebijakan di hulu harus dilakukan jika tak ingin beban biaya penyakit terkait rokok terus naik.
RUU Pertembakauan
Di tengah besarnya beban rokok pada mutu manusia Indonesia dan beban biaya kesehatan JKN-KIS, Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan Rancangan Undang-Undang Pertembakauan. RUU itu diklaim mengakomodasi kepentingan petani tembakau, industri rokok, dan kesehatan masyarakat.
Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Prijo Sidipratomo menilai RUU Pertembakauan menjadi ancaman kesehatan masyarakat. ”Meski diklaim mengakomodasi kepentingan kesehatan masyarakat, isi RUU akan menggenjot produksi rokok,” ujarnya.
Pasal-pasal kesehatan di RUU Pertembakauan lebih lemah dibandingkan aturan yang ada. Ia mencontohkan, RUU Pertembakauan mendorong penghapusan peringatan kesehatan bergambar di bungkus rokok dan dikembalikan jadi peringatan tertulis.
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Mohamad Subuh menegaskan, sejak awal Kemenkes menolak RUU Pertembakauan. Sebab, RUU itu bertentangan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang menargetkan penurunan perokok usia di bawah 18 tahun. (ADH/MZW)