Hampir dua bulan terakhir NS (6) berhenti merokok, kebiasaan yang telah dilakukannya sejak usia 3 tahun. Ini bermula ketika NS sakit, dan hasil pemeriksaan dokter menyatakan, ada masalah pada paru-parunya yang mengharuskannya kontrol kesehatan sebulan sekali.
Dahulu, setiap menemukan batang rokok, NS segera menyulut dan mengisapnya dengan mulut kecilnya. ”Dia menangis kalau dilarang, seperti orang yang sudah kecanduan. Sampai bapak dan kakung (kakek)-nya sembunyi kalau merokok supaya dia tidak kepengen,” ujar Mi (31), ibu NS, di rumahnya yang sederhana di Wonogiri, Jawa Tengah, Sabtu (4/3).
Ibu tiga anak itu mengaku tidak tahu persis awal mula kenapa anak keduanya itu merokok. Namun, suaminya, dan kakek NS yang tinggal bersebelahan rumah, biasa merokok di rumah. ”Mungkin pengen meniru,” katanya.
Mi mengaku tak pernah memberikan atau membelikan rokok kepada anaknya itu. Ia juga mewanti-wanti warung-warung kelontong di dekat rumahnya agar tidak melayani apabila anaknya membeli rokok. Namun, selalu saja NS menemukan batang-batang rokok yang lantas diisapnya tanpa sepengetahuan orangtuanya. ”Kalau ada bapaknya, dia enggak berani,” katanya.
NS juga tidak berani mengambil rokok bapak atau kakeknya yang biasanya tergeletak di meja. Namun, NS selalu memungut puntung rokok yang tertinggal di asbak ataupun yang terbuang di halaman rumah. Keinginan merokok semakin menggebu apabila melihat orang-orang di sekelilingnya merokok. Bahkan, jika ada orang bertamu ke rumahnya, NS selalu minta rokok.
Januari lalu NS sakit. Beberapa kali badannya panas tinggi. NS dibawa ke dokter anak di Wonogiri. Hasilnya, ada masalah pada paru-paru NS. Ia kemudian disarankan berobat ke puskesmas. Puskemas lalu menghubungi RSUD Wonogiri. Bocah yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak itu akhirnya dirujuk ke Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Solo.
Untuk memastikan penyakitnya, NS diperiksa darahnya. ”Kena infeksi paru-paru, alergi debu, atau apa gitu,” ujar Mi. Hingga kini NS diharuskan kontrol sebulan sekali di BBKPM Solo untuk mengetahui perkembangan penyakitnya.
Perokok semakin muda
NS menjadi bukti kian mudanya perokok pemula. Riset Kesehatan Dasar menunjukkan, prevalensi anak usia 5-9 tahun yang mulai merokok naik dari 0,1 persen tahun 2007 menjadi 1,7 persen tahun 2010, dan 1,6 persen tahun 2013. Prevalensi remaja usia 10-14 tahun yang merokok juga naik dari 9,6 persen menjadi 17,5 persen, dan 18 persen pada periode yang sama.
Rizky (15), siswa SMP negeri di Surabaya, misalnya, mulai merokok sejak 2015 karena dorongan teman-temannya. ”Pertama merokok rasanya enggak enak. Tapi saya paksakan merokok ketika berkumpul sama teman-teman agar diakui sebagai bagian dari kelompok mereka,” ujarnya.
Lama-lama, Rizky terbiasa merokok dan mulai membeli rokok dengan uang sakunya. Orangtuanya yang membuka warung membekalinya Rp 10.000 sehari. Dari uang itu, Rp 4.000 untuk membeli nasi bungkus di sekolah dan Rp 5.000 untuk membeli rokok ketengan di warung. Sisanya dia tabung dengan harapan bisa membeli sepeda motor. ”Kayaknya enggak akan kesampaian. Tabungan selalu saya pakai untuk beli rokok juga,” katanya.
Dia mengatakan bisa dengan mudah membeli rokok yang harganya Rp 1.000-Rp 1.500 per batang di warung meski mengenakan seragam sekolah.
Sepulang sekolah, Rizky berkumpul dengan belasan temannya di tempat persembunyian mereka di sebuah gelanggang olahraga di Kelurahan Semampir, Sukolilo, untuk merokok dan menghabiskan waktu hingga matahari tenggelam.
Hario Megatsari, anggota Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Jatim, mengatakan, remaja cenderung mulai merokok karena dorongan dari teman sebaya. Mereka juga terpapar iklan rokok yang begitu masif di televisi, internet, bahkan berbagai spanduk dan baliho di warung sekitar sekolah. Ini akibat dari lemahnya pengaturan iklan rokok di Tanah Air. ”Iklan rokok dikemas dengan mempromosikan kejantanan, petualangan, atau pertemanan. Akibatnya, banyak remaja yang tertarik mencoba agar terlihat keren,” kata Hario.
NS dan Rizky adalah contoh dari sekian banyak anak-anak dan remaja yang jadi perokok pengganti di negeri ini. Mereka menggantikan perokok dewasa yang sudah berhenti merokok karena sakit atau meninggal.
Salah satu contohnya adalah Mustamin (51) yang terkena serangan jantung tahun lalu. Nyawa warga Kota Depok, Jawa Barat, itu nyaris melayang. Hasil pemeriksaan di rumah sakit menunjukkan, penyakit jantung yang dialaminya lebih disebabkan oleh kebiasaannya merokok dibandingkan faktor lain. Dia pun diultimatum dokter untuk berhenti merokok. ”Berhenti merokok memang susah. Awalnya terasa seperti ada yang hilang, tapi sekarang sudah biasa saja,” katanya.
Sandi Adi Susanto (12), warga Kota Malang, Jatim, juga sudah berhenti merokok. ”Tidak (lagi), merokok menyebabkan batuk,” kata Sandi yang pernah menghebohkan masyarakat karena video yang memperlihatkan dirinya tengah merokok saat usia 4 tahun.
Video tersebut menggerakkan sejumlah elemen masyarakat untuk membantu Sandi keluar dari ketergantungan rokok. Hasilnya tak hanya berhenti merokok, Sandi juga tidak mau terpapar asap rokok. Dia selalu meminta ayahnya menjauh jika merokok. (RWN/ADY/SYA/DIA/EGI/ADH)