Jalan Lintas Sumatera sejak Dulu Rawan Kejahatan dan Pungli
Oleh
R. ADHI KUSUMAPUTRA
·3 menit baca
Jalan Lintas Sumatera diputuskan untuk dibangun tahun 1965 pada era pemerintahan Presiden Soekarno. Sebenarnya produsen mobil asal Amerika Serikat, Ford, pernah menawarkan Pemerintah Indonesia untuk membangun jalan raya Lintas Sumatera dengan imbalan hanya mobil merek Ford yang boleh beredar di Pulau Sumatera. Namun, tawaran itu ditolak Bung Karno dan Bung Hatta. Andaikan kedua pemimpin negara itu menerima tawaran Ford, Jalan Lintas Sumatera sudah dibangun tahun 1952.
Jalan Lintas Sumatera sepanjang 2.569 kilometer dari Banda Aceh ke Bakauheuni (Lampung) itu diresmikan Presiden Soeharto pada 31 Juli 1976 (Harian Kompas, Minggu, 15 Maret 1987).
ARSIP HARIAN KOMPAS
Berita harian Kompas, 24 Juli 1965, berjudul ”Jalan Raya Lintas Sumatera Segera Dikerjakan”.
Menteri Urusan Jalan Raya Lintas Sumatera Ir Bratanata seperti dimuat dalam berita Kompas, Sabtu, 24 Juli 1965, mengatakan, pembangunan Jalan Lintas Sumatera yang dianggap sebagai proyek nasional maharaksasa pada masa itu dilaksanakan sepanjang 2.400 kilometer dan dibagi dalam delapan proyek serta rampung dalam waktu 10 tahun.
Di Lampung, Gubernur Kusno Dhanupojo mengungkapkan, pembangunan jalan lintas Sumatera di wilayahnya sepanjang 240 kilometer. Di sebelah kiri jalan didirikan industri besar, seperti tekstil, dengan perkebunan kapas, penggergajian kayu, pabrik dan sebagainya. Adapun di sebelah kanan jalan dibangun kawasan transmigrasi modern dengan persawahan dan perkampungan modern.
Pembangunan Jalan Lintas Sumatera di Lampung yang diberi sandi ”Operasi Rajabasa” tersebut membuka jalan sepanjang 5 km di kawasan pegunungan, seperti diberitakan Kompas, Selasa, 11 Januari 1966.
Rawan kecelakaan, kejahatan, dan pungli
Bertahun-tahun setelah itu, pada 1979 Kapolri Letjen (Pol) Awaloedin Djamin menyatakan Jalan Lintas Sumatera makin rawan kecelakaan lalu lintas sehingga membutuhkan rambu rambu lalu lintas. Awaloedin, seperti dimuat dalam berita harian Kompas, Senin, 17 September 1979, mengatakan, Jalan Lintas Sumatera tidak sama dengan autobaan di Eropa yang bebas dari permukiman penduduk di kiri kanannya. Di Jalan Lintas Sumatera, setiap jarak tertentu terdapat kampung sehingga diperlukan kehati-hatian para pengemudi di jalan.
ARSIP HARIAN KOMPAS
Berita harian Kompas, 17 September 1979, berjudul "Kapolri: Perlu Ditambah, Rambu di Lintas Sumatera".
Kapolda (dulu disebut Kadapol-II) Sumatera Utara Brigjen Pol JFR Montolalu mengingatkan polisi sudah harus dipersiapkan sejak dini untuk menghadapi tuntutan masyarakat setelah Jalan Lintas Sumatera (Trans-Sumatera Highway) rampung tahun 1983. Montolalu, seperti dikutip Kompas, Sabtu, 21 Maret 1981, menilai, Lintas Sumatera yang membelah Pulau Sumatera dan menghubungkan Aceh sampai Sumatera Selatan-Lampung membuka peluang bagi penjahat “bergerak cepat”. Artinya, dari daerah operasi, mereka dengan cepat bisa melarikan diri ke daerah persembunyian.
ARSIP HARIAN KOMPAA
Berita Kompas, 21 Maret 1981, berjudul "Kejahatan akan Meningkat bila Lintas Sumatera Rampung".
Berita tentang pungutan liar di Jalan Lintas Sumatera dari Medan ke Sumatera Selatan-Lampung dimuat di Kompas, Sabtu, 11 Agustus 1984. Pungli yang dilakukan petugas terhadap sopir-sopir bus dan truk merajalela di lokasi tertentu di sepanjang jalan raya Medan-Jakarta. Pungli sering terjadi di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung.
ARSIP HARIAN KOMPAS
Berita Kompas, 11 Agustus 1984, berjudul "Pungli di Jalur Medan-Jakarta Masih Merajalela".
Pengalaman Kompas yang ikut menumpang bus Medan-Jakarta akhir Juli-awal Agustus 1984 menunjukkan, pungli terjadi di wilayah Kotabumi dan Bukit Kemuning, Lampung Utara. Para petugas terang-terangan meminta uang. Sopir juga menyiapkan uang saat bus dan truk melintas di pos Tebingtinggi-Medan.
Aksi kriminal di Jalan Lintas Sumatera terus terjadi, bahkan hingga 2017. Pungli dan kejahatan semacam ”bajing loncat” dan aksi premanisme tetap merajalela.