Biaya Ekonomi Tinggi di Lintas Sumatera
MEDAN, KOMPAS — Jalur logistik lintas Sumatera sepanjang lebih dari 2.450 kilometer, dari Aceh hingga Lampung, semakin semrawut. Selain jalan sempit, rusak, dan rawan kecelakaan, urat nadi perekonomian Sumatera itu juga rawan premanisme.
Kondisi jalan menimbulkan ekonomi biaya tinggi, bahkan membahayakan nyawa penggunanya. Gambaran itu terlihat jelas saat Kompas selama empat hari sejak Kamis tengah malam hingga Senin (16-20/2) turut serta dalam truk yang membawa 700.000 butir telur dari Medan menuju Jakarta. Jalur lintas timur sepanjang 1.800 kilometer dari Medan hingga Bakauheni, yang idealnya ditempuh 60 jam atau 2,5 hari, ditempuh selama 83 jam atau molor 23 jam.
Kendaraan tak bisa melaju cepat karena jalan sempit, rusak, serta melewati kawasan niaga dan permukiman warga. Banyak sopir memilih menghindari perjalanan pada malam hari di jalur-jalur tertentu agar tidak menjadi korban perampokan.
Jalur Medan hingga Bagan Batu, Kabupaten Rokan Hilir, Riau, sepanjang 394 kilometer, misalnya, hanya memiliki lebar rata- rata 6 meter. Truk Fuso 6 x 2 hanya mampu melaju dengan kecepatan 20-40 kilometer per jam. Jalan juga melewati belasan kawasan niaga seperti di Pasar Bengkel di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara, atau Rantau Prapat di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara.
Jalan rusak
Jalanan jadi ajang warga meminta sumbangan. Warga bahkan bisa menutup separuh badan jalan untuk pesta pernikahan.
Sementara itu, di Provinsi Riau hingga Provinsi Jambi, tikungan dan jalan terjal mendominasi. Jalanan memiliki kemiringan 30-40 derajat. Truk dan bus tertatih-tatih ketika menaiki jalanan itu. Saat turun, sopir mobil berbobot besar rajin menekan rem dan kopling. Jika lepas kendali, jurang sedalam 20-50 meter menganga di kanan-kiri jalan. Di kawasan ini bau sangit kampas rem dan kopling menyeruak di sepanjang jalan. "Di sini perhitungan harus pas. Pelit nginjak rem, truk bisa bablas ke jurang. Terlalu obral, rem bisa jebol, mati kita," ucap John, nama samaran sopir ekspedisi.
Kondisi itu diperparah oleh ribuan truk pengangkut tandan buah segar kelapa sawit, minyak sawit, dan truk pengangkut kayu bahan baku kertas yang tidak dapat berjalan kencang sehingga acap kali membuat kendaraan beriringan panjang. Kecelakaan kerap terjadi karena pengemudi kurang hati-hati.
Kecelakaan terbaru terjadi pada 8 Desember 2016, yang melibatkan truk tronton, minibus penumpang umum, dan sebuah mobil kabin ganda di Kilometer 62, Kandis, Kabupaten Siak. Empat orang tewas dan tiga orang luka berat dalam kejadian itu.
Melewati kota minyak Duri, jalanan macet. Truk telur merayap dengan kecepatan 20-30 kilometer per jam. Riau-Jambi butuh waktu 29 jam 30 menit. Padahal, jika kecepatan stabil di 50 kilometer per jam, perjalanan Riau-Jambi bisa ditempuh sekitar 16 jam.
Puncak kesengsaraan terjadi ketika memasuki kawasan Sumatera Selatan dan Lampung. Jalan rusak dan premanisme tersebar di sepanjang kurang lebih 708 kilometer jalur lintas Sumatera dari Sumsel hingga Pelabuhan Bakauheni, Lampung.
Kondisi jalan yang rusak parah ini memberikan peluang kepada preman menarik keuntungan. Dengan dalih mengatur lalu lintas, mereka memintai uang kepada sopir truk ekspedisi Rp 5.000-Rp 50.000 per kendaraan.
Direktur CV Bintang Asia Express Jafaruddin mengatakan, teror bajing loncat atau perampokan juga membayangi, terutama di kawasan perbatasan Sumatera Utara dengan Aceh. "Kami dirampok. Perabotan yang kami bawa diambil. Ruginya Rp 20 juta," kata Jafaruddin.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumsel Sumarjono Saragih mengatakan, pengusaha menanggung biaya tambahan 20 persen dari total biaya akibat kerusakan jalan. Lamanya waktu tempuh juga berisiko terutama untuk komoditas yang mudah busuk.
Untuk mengurangi kerugian, ujar Sumarjono, pengusaha membebankan biaya tambahan kepada konsumen pada tiap produk yang dijualnya.
Hal serupa dikatakan Sekretaris Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia Wilayah Lampung Senoharto di Bandar Lampung. Buruknya kondisi jalan menyebabkan biaya pengiriman barang naik 25-30 persen. Ini juga yang menyebabkan biaya ekonomi tinggi di lintas Sumatera.
Beban tinggi
Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) V Palembang Zamharir Basuni menerangkan, kerusakan di jalan lintas Sumatera disebabkan beban kendaraan yang tinggi dan sistem drainase yang kurang baik. Khusus untuk Sumatera Selatan, ada pengurangan anggaran dari Rp 1,5 triliun (2016) menjadi Rp 1,17 triliun (2017).
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya Bernadette Robiani mempertanyakan masalah jalan nasional yang kerap rusak dan seakan berulang. Rencana pemerintah membangun Tol Trans-Sumatera, Aceh hingga Bakauheni, diyakini memperlancar laju perekonomian di daerah dan menarik investor.
Padahal, dalam catatan Kompas, rencana pembangunan jalan Trans-Sumatera dicanangkan sejak 16 tahun lalu oleh gubernur se-Sumatera, yang tergabung dalam Forum Rapat Koordinasi Gubernur Sumatera, 12 Oktober 2001, di Medan.
Sejak 2011, pembebasan lahan untuk Jalan Tol Sumatera sudah dimulai pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat pemerintahan beralih ke Presiden Joko Widodo diterbitkan Peraturan Presiden No 3/2016 tentang Percepatan Pembangunan Proyek Strategis Nasional, pembangunan terus berjalan.
Kepala Badan Pengatur Jalan Tol Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Herry Trisaputra Zuna mengatakan, pola pikir pembangunan Tol Trans-Sumatera berbeda dibandingkan dengan pembangunan tol selama ini. "Selama ini tol dibangun di tempat yang sudah layak secara finansial, tetapi di Tol Trans-Sumatera justru tol dibangun untuk menciptakan permintaan yang masih rendah," kata Herry.
Tol di Sumatera diharapkan dapat membuka peluang untuk pembangunan kawasan di sekitarnya, sekaligus mengantisipasi penambahan kendaraan. Hal itu, lanjut Herry, berakibat terhadap skema pembiayaannya.
Jika skema pembiayaan ruas tol terdiri dari 30 persen ekuitas dan 70 persen pinjaman, pada ruas Trans-Sumatera dibalik menjadi ekuitas 70 persen dan pinjaman 30 persen. Selain itu, PT Hutama Karya (Persero) ditugaskan membangun delapan ruas tol Trans-Sumatera karena swasta lain tidak tertarik.
Masih rendahnya lalu lintas harian kendaraan yang lewat menjadi alasan. Tol direncanakan dibangun sepanjang 2.840 kilometer pada 2015 hingga 2025 dalam 12 ruas.
Saat ini pembangunan tengah dilakukan di enam ruas, yakni ruas Medan-Binjai, Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi, Kayu Agung-Palembang-Betung, Palembang-Indralaya, dan Pekanbaru-Kandis-Dumai.
(DRI/VIO/RAM/AIN/SAH)