Mencari Solusi Perlindungan Plasma Nutfah di Kebun Raya

JAKARTA, KOMPAS — Posisi Indonesia sebagai negara di peringkat 10 besar dengan tingkat kepunahan jumlah spesies tertinggi menjadi pengingat pentingnya peran kebun raya bagi penjaga keanekaragaman hayati. Sayangnya kebun raya sendiri juga mengalami tantangan dari aktivitas manusia.

Demikian tema yang mengemuka dari diskusi bertajuk ”Pentingnya Kebun Raya dalam Perlindungan Plasma Nutfah di Indonesia” yang digelar oleh Yayasan Kebun Raya Indonesia (YKRI) bersama Harian Kompas di Jakarta, Kamis (23/2). Diskusi ini digelar dalam rangkaian peringatan 200 Tahun Kebun Raya Bogor.

Hingga berita diturunkan, tengah berlangsung pemaparan dari empat pembicara, yakni Didik Widiatmoko, Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor; Endang Sukara, Pakar Bioteknologi; Sadjuga, Direktur Pengelolaan Kekayaan Intelektual Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi; dan Harini Muntasib dari Dewan Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB). Turut hadir dalam diskusi ini perwakilan dari YKRI Alexander Sonny Keraf dan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Ninuk Mardiana Pambudy.

”Tahun ini YKRI menggelar agenda besar gerakan Jaga Bhumi untuk membangun kesadaran akan ancaman kepunahan tumbuhan Indonesia. Ini adalah aksi nyata mendukung penyelamatan spesies tumbuhan Indonesia lewat pengelolaan kebun raya,” ujar Sonny Keraf.

Didik mengungkapkan bahwa Indonesia kini memiliki 32 kebun raya yang tersebar di 20 provinsi di Indonesia sementara sebanyak 21 usulan kebun raya sudah diterima hingga akhir tahun 2016. Dia menyebut Indonesia sebaiknya memiliki setidaknya 47 kebun raya untuk mewakili 47 ekoregion yang tersebar sepanjang Tanah Air.

Menurut Endang, kebun raya seharusnya bukan sekadar koleksi tumbuhan. Dia menerangkan jenis-jenis jamur di kebun raya ternyata memiliki potensi untuk dikembangkan seperti untuk degradasi plastik, anti kolesterol, hingga anti tumor.

”Keanekaragaman hayati tidak ada harganya kecuali disentuh dengan ilmu pengetahuan,” ujar Endang. (ELD)