Upaya mengendalikan kanker payudara penting segera dilakukan mengingat ini satu jenis kanker yang paling banyak dialami orang Indonesia. Pada 2020, ada 65.858 kasus baru kanker payudara di Indonesia.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kanker payudara merupakan jenis kanker yang paling banyak dialami penduduk Indonesia. Itu sebabnya, pengendalian kanker payudara menjadi penting, baik dengan membangun sistem deteksi dini, regulasi yang berpihak pada penanganan pasien, maupun menjalin kerja sama antarnegara.
Menurut data Global Cancer Observatory (Globocan) 2020, kasus baru kanker payudara di dunia mencapai lebih dari 2,2 juta kasus dengan 684.996 kematian. Di kawasan Asia Tenggara terdapat 158.939 kasus baru kanker payudara dengan tingkat kematian mencapai 58.616 kasus.
Sementara itu, kasus baru kanker payudara di Indonesia mencapai 65.858 kasus dengan tingkat kematian sebesar 22.430 kasus. Dibandingkan dengan jenis-jenis kanker lain, kanker payudara paling banyak diderita masyarakat.
”Ini bukan jumlah yang sedikit. Ini tantangan global yang mendesak sehingga negara-negara perlu mengambil langkah terukur, bukan business as usual, untuk meningkatkan pengendalian penyakit kanker payudara,” kata Ketua Yayasan Kanker Payudara Indonesia Linda Agum Gumelar pada konferensi pers daring, Kamis (22/7/2021).
Upaya pengendalian kanker payudara akan menjadi pembahasan pada Southeast Asia Breast Cancer Symposium (SEABCS) 2021 atau Simposium Kanker Payudara Asia Tenggara. SEABCS 2021 akan berlangsung secara virtual pada 31 Juli hingga 1 Agustus 2021.
SEABCS merupakan forum global yang mengumpulkan tenaga kesehatan, komunitas penyintas kanker payudara, bidan, pemerintah, mahasiswa, hingga masyarakat umum. Peserta dapat bertukar pengalaman mengenai penanganan kanker payudara, pengobatan, hingga edukasi deteksi dini kanker. Hingga kini ada hampir 700 orang di Asia Tenggara yang telah mendaftar.
Linda mengatakan, upaya mengendalikan kanker payudara penting karena metastasis atau penyebaran sel kanker tergolong cepat. Semakin cepat kanker payudara dideteksi, semakin tinggi pula tingkat harapan hidup pasien.
Namun, sekitar 70 persen pasien kanker payudara baru memeriksakan diri ketika sudah mengalami kanker stadium lanjut. Di sisi lain, pandemi Covid-19 dikhawatirkan menghambat fokus penanganan pasien kanker.
Ini bukan jumlah yang sedikit. Ini tantangan global yang mendesak sehingga negara-negara perlu mengambil langkah terukur, bukan business as usual, untuk meningkatkan pengendalian penyakit kanker payudara.
”Penanganan kanker payudara harus tetap mendapat perhatian serius mengingat jumlah kasus baru di 2020. Hal ini akan jadi perhatian khusus kami di SEABCS. Kami bisa melahirkan rekomendasi hasil pemikiran para ahli dan peserta, kemudian diserahkan ke setiap negara,” ujar Linda.
Regulasi
Menurut Ketua Persatuan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (Peraboi) Walta Gautama, salah satu kendala pengendalian kanker payudara di Indonesia adalah regulasi. Sistem rujukan berjenjang menghambat pasien untuk langsung ditangani. Padahal, penanganan kanker mesti segera dilakukan agar kanker tidak memburuk.
”Sekitar 65-70 persen kasus kanker payudara di Indonesia didominasi stadium 3-4. Di Malaysia, persentase stadium 3-4 adalah 30 persen. Angka kanker stadium lanjut di Singapura juga rendah,” katanya.
Rantai rujukan pasien kanker payudara idealnya disederhanakan. Ahli bedah onkologi yang selama ini ditempatkan di rumah sakit tipe A dan B, menurut Walta, sebaiknya ditempatkan di fasilitas kesehatan terdekat dengan masyarakat.
Kendala lainnya adalah jumlah ahli bedah onkologi masih terbatas. Peraboi mencatat, hingga kini ada sekitar 225 ahli bedah onkologi di Indonesia. Dengan banyaknya jumlah kasus kanker payudara, ia memperkirakan butuh 500-1.000 ahli bedah onkologi.
”Kami ingin dorong agar ada regulasi di setiap provinsi atau daerah memiliki minimal satu ahli bedah onkologi untuk 500.000 (orang). Kami dari organisasi profesi tidak bisa melakukannya. Ini perlu dukungan pemerintah,” ujar Walta.
Ketua Indonesian Women Imaging Society (IWIS) Kardinah mengatakan, sistem deteksi dini kanker payudara penting untuk segera dibangun. Setelahnya, sistem kesehatan yang sinergis dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) hingga fasilitas rujukan juga diperlukan.
”Selain negara perlu menyiapkan sistem, pasien juga butuh diedukasi deteksi dini kanker. Sebab, cakupan kesadaran publik dari pemeriksaan payudara rendah, hanya 4-5 persen. (Penanganan kanker payudara) mesti terstruktur dan melibatkan semua pemangku kepentingan,” kata Kardinah.