Pendeta Yesaya Kacili resah melihat kerusakan lingkungan. Ia gencar mewartakan firman Tuhan agar manusia pelihara alam.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Lebih dari 30 tahun menjadi pendeta, Yesaya Kacili (53) tak hanya melayani di gereja. Sebagai putra asli suku Matbat, ia juga ikut merawat tradisi dan alam Raja Ampat. Kakek satu cucu itu membawa misi pelestarian ekologi dalam jalan teologi yang ia lalui.
Yesaya hanya berdiri di depan pintu saat tiga tetua adat menjalankan ritual menyiapkan pon fapo (persembahan bagi leluhur). Sesaji yang terdiri dari pinang, daun sirih, dan kapur itu akan dilarung ke laut saat membuka sasi di Kampung Kapatcol, Misool Barat, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, Senin (25/3/2024) pagi.
Sambil mengunyah sirih pinang, seorang tetua adat berbicara dalam bahasa Matbat, penduduk asli Pulau Misool. Ia meminta izin kepada leluhur agar hasil buka sasi melimpah. Sasi merupakan tradisi yang melarang penangkapan biota laut dan penggunaan alat tangkap tertentu dalam kawasan dan jangka waktu yang telah disepakati.
Setelah ritual selesai, Yesaya mengajak tetua adat dan masyarakat mengikuti liturgi pembukaan sasi di gereja. Selesai ibadah, mereka berjalan kaki sekitar 250 meter menuju dermaga. Belasan perahu motor mengantarkan mereka ke lokasi sasi yang dikelola oleh Kelompok Perempuan Waifuna.
”Untuk buka sasi, selain ibadah di gereja, juga ada ritual adatnya. Keduanya bisa berjalan beriringan. Selain sebagai jemaat gereja, masyarakat itu juga warga adat,” ujarnya.
Sebelum warga terjun ke laut memanen hasil buka sasi, perwakilan gereja, tetua adat, dan pemerintah desa mencabut dua papan sasi yang berjarak sekitar 2 kilometer. Sudah hampir satu tahun perairan di sisi barat Kampung Kapatcol itu disasi.
Dalam kurun waktu tersebut, warga dilarang mengambil teripang, lola, dan lobster. Larangan ini merupakan salah satu upaya konservasi melindungi ekosistem laut.
Warga kembali ke perahu untuk menuju ke tengah laut. Tanpa aba-aba, mereka langsung meloncat ke laut dan menyelam. Penggunaan kompresor tidak diperbolehkan. Mereka hanya memakai kacamata renang. Beberapa orang menggunakan snorkel dan fins.
Menjelang siang, warga kembali ke pantai. Mereka membawa teripang, lola, dan lobster di dalam perahu. Anak-anak ikut membantu menurunkan hasil tangkapan itu.
Yesaya memperhatikan setiap hasil tangkapan yang diturunkan. Matanya berfokus pada teripang dengan ukuran relatif kecil. Sebab, tidak semua hasil tangkapan boleh dibawa pulang.
Untuk buka sasi, selain ibadah di gereja, juga ada ritual adatnya. Keduanya bisa berjalan beriringan. Selain sebagai jemaat gereja, masyarakat itu juga warga adat (Yesaya Kacili).
Lewat pendampingan dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), warga Kapatcol mulai memahami konsep pemanfaatan laut berkelanjutan. Hasil laut tidak dikuras habis saat buka sasi. Sebab, meski memberikan manfaat ekonomi, tujuan utama sasi tetap untuk konservasi.
Demi menjaga kelestarian ekosistem laut, penangkapan biota laut dibatasi berdasarkan ukurannya. Pengambilan teripang, misalnya, hanya diperbolehkan dengan panjang 15 sentimeter (cm) atau lebih. Sementara untuk lola berukuran 7 cm ke atas dan lobster dengan berat lebih dari 5 ons.
Para mama menggunakan papan ukur untuk mengetahui ukuran setiap hasil tangkapan. Mata Yesaya dengan jeli mengamati pengukuran teripang.
”Itu tidak masuk (memenuhi ketentuan). Yang ini juga. Harus dikembalikan ke laut. Kalau sudah besar, bisa diambil saat buka sasi tahun depan,” ujarnya saat menunjuk beberapa teripang dada merah dengan ukuran kurang dari 15 cm.
Buka sasi oleh mama-mama di Kapatcol berlangsung tiga hari pada 25-27 Maret. Mereka mendapatkan 1.400 teripang, 600-an lola, dan 20 lobster. Hasil penjualannya akan digunakan untuk membantu biaya pengobatan dua anak yang sedang sakit. Setelah itu, warga dapat mengambil hasil laut untuk keperluan lainnya sebelum sasi kembali ditutup sekitar dua pekan kemudian.
Pemberdayaan perempuan
Sasi umumnya dikelola oleh kelompok laki-laki. Namun, sejak 2011, mama-mama di Kapatcol diberi kepercayaan untuk mengelola sasi di perairan seluas 23 hektar. Bahkan, pada 2019, kawasannya diperluas menjadi 213 hektar.
Sasi oleh kelompok perempuan itu dipelopori oleh Mama Betsina Hay yang telah meninggal pada 2015. Saat ini, Kelompok Perempuan Waifuna diketuai oleh Mama Almina Kacili.
Budaya sasi melibatkan unsur adat, agama, dan pemerintah. Saat ibadah di gereja, warga bersyukur atas berkat yang diberikan Tuhan. Ritual yang dilakukan tetua adat mengingatkan untuk tidak melupakan para leluhur.
Sejak ditugaskan menjadi pendeta di Gereja Kristen Injili (GKI) Elim Kapatcol pada 2.000, Yesaya sudah punya mimpi memberdayakan mama-mama lewat sasi. Sebab, selain melestarikan ekologi, sasi juga memberikan manfaat ekonomi untuk mendukung kehidupan warga.
”Mama-mama punya pemikiran jangka panjang. Mereka menganggap sasi ini seperti tabungan. Pemahaman ini sangat cocok agar hasil laut tidak diambil terus-menerus agar tetap bisa dinikmati oleh anak cucu,” katanya.
Perairan Misool pernah hancur pada 1980-an hingga 1990-an. Nelayan dari luar Pulau Misool menggunakan bom untuk menguras hasil laut. Karang dan lamun pun rusak.
Ada juga nelayan setempat yang menebar potasium. Linggis dipakai untuk membongkar karang. Lemahnya penegakan hukum membuat penangkapan tidak ramah lingkungan itu semakin merajalela. Imbasnya, ekosistem rusak dan kehidupan biota laut pun terganggu.
”Kalau pakai bom dan potasium, ikan-ikan dan biota laut yang berukuran kecil ikut mati. Ketika itu, sangat sulit untuk mendapatkan teripang. Ikan-ikan pun menjauh,” jelasnya.
Yesaya tak berdiam diri melihat kerusakan lingkungan di sekitarnya. Selain mewartakan firman Tuhan tentang pesan-pesan menjaga alam di gereja, ia juga mendatangi rumah warga untuk berdiskusi.
Menurut dia, pendekatan gereja dan adat sangat ampuh membangkitkan kepedulian warga. Kini, warga telah meninggalkan peralatan tidak ramah lingkungan untuk menangkap ikan dan biota laut lainnya.
”Saat ibadah mingguan di gereja, saya menyampaikan tentang alam ciptaan Tuhan yang harus dijaga dan dipelihara oleh manusia. Sementara ketika berkumpul di tengah masyarakat, saya selalu bilang tradisi sasi adalah warisan nenek moyang sehingga harus dilestarikan agar manfaatnya bisa dinikmati generasi selanjutnya,” ucapnya.
Yesaya Kacili
Lahir: Raja Ampat, 1 Agustus 1970
Pekerjaan: Pendeta Gereja Kristen Injili (GKI) Elim Kapatcol
Pendidikan: Sekolah Tinggi Teologi Izaak Samuel Kijne Jayapura (lulus 1991)