Ainun Murwani, Angkat Perkampungan Bantaran Sungai Yogyakarta
Berbagai upaya yang dilakukan Ainun bersama Paguyuban Kalijawi mengubah wajah permukiman bantaran sungai di Yogyakarta.
Kumuh, padat, kotor, dan rawan bencana dan penyakit adalah bayangan yang kerap melekat pada permukiman bantaran sungai di kota besar. Ainun Murwani (47) bergerak untuk mengubah kondisi tersebut.
Melalui Paguyuban Kalijawi yang didirikan 12 tahun lalu, Ainun dan para anggota, yang sebagian besar perempuan, membangun mimpi bersama untuk menciptakan keamanan bermukim. Komunitas itu menyatukan tekad dan upaya warga bantaran Sungai Winongo dan Gajahwong di Yogyakarta agar tempat tinggal mereka bisa menjadi layak huni.
Gerakan ini bermula dari aktivitas Arkom Indonesia, lembaga swadaya masyarakat, yang melakukan pemetaan kampung-kampung urban di bantaran dua sungai besar yang melintasi Yogyakarta itu pada 2011. Dari situ, diperoleh daftar permasalahan dari 14 kampung.
”Hasil pemetaan itu permasalahannya kok sama, yakni status lahan, rumah tak layak huni, sanitasi, sampah, dan air bersih,” ujar Ainun.
Namun, kala itu, kampung-kampung tersebut tidak dapat mengakses bantuan pemerintah karena status lahannya yang tak memenuhi syarat legalitas. Dari kondisi itulah warga menyadari persoalan ini tak bisa diselesaikan sendiri-sendiri, tetapi harus secara kolektif.
”Akhirnya pada Juli 2012 dibentuklah Paguyuban Kalijawi ini,” ujar Ainun, yang merupakan salah satu warga Kampung Notoyudan, Kota Yogyakarta, kampung di bantaran Sungai Winongo.
Ainun yang sejak masa sekolah telah tertarik berorganisasi pun ikut bergabung dalam paguyuban itu dari awal pendiriannya. Bahkan, dia menjadi motor penggerak dengan bergerilya menggencarakan sosialisasi dan konsolidasi ke kampung-kampung.
Renovasi rumah
Langkah awal paguyuban adalah menjawab permasalahan paling mendesak, yakni perbaikan rumah tak layak huni. Mereka percaya bahwa segala permasalahan lingkungan yang dihadapi perkampungan bantaran sungai awalnya berasal dari rumah sehingga penyelesaiannya juga harus bermula dari rumah.
Arkom Indonesia turut pula menyalurkan dana hibah untuk membantu program renovasi rumah tersebut. Namun, dana hibah itu tak cukup untuk menyelesaikan persoalan besar tersebut. Setelah berembuk dengan semua anggota di 14 kampung, disepakati setiap anggota menabung Rp 2.000 per hari.
Para anggota yang mayoritas perempuan itu dibagi dalam kelompok-kelompok kecil beranggotakan 10-15 orang untuk mengelola tabungan tersebut. Setiap anggota pun dibekali kapasitas untuk menghitung sendiri kebutuhan material renovasi, desain, hingga rancangan biayanya.
Awalnya, banyak anggota yang merasa tak bisa melakukan itu. Namun, berkat pendekatan personal yang dilakukan Ainun, hambatan itu perlahan bisa dikikis. Dia menyebut, kendala terbesar bukanlah pada kemampuan diri, tapi pada pola pikir yang masih terkungkung dengan batasan-batasan sosio-kultural sebagai perempuan Jawa.
Dari situ kita tahu, ketika permasalahan dijadikan urusan bersama, didiskusikan, ternyata ada solusinya.
”Ini membuat kepercayaan diri mereka rendah. Padahal, setelah dicoba, terbukti mereka semua bisa melakukannya,” kata Ainun yang lulusan sekolah menengah ekonomi atas (SMEA) ini.
Dari tabungan itu, dalam dua bulan, setiap kelompok terkumpul dana Rp 1,2 juta. Dengan tambahan hibah dari Arkom sebesar Rp 1,8 juta, maka setiap rumah mendapat dana renovasi Rp 3 juta.
Untuk anggota yang kebutuhan renovasinya melebihi Rp 3 juta, kelompok saling mendiskusikan solusinya hingga bisa terpenuhi. ”Dari situ kita tahu, ketika permasalahan dijadikan urusan bersama, didiskusikan, ternyata ada solusinya,” ujar Ainun.
Dalam waktu dua tahun, Paguyuban Kalijawi pun berhasil merenovasi 165 rumah. Ketika program itu selesai pada 2014, paguyuban memiliki sisa dana tabungan sebesar Rp 126 juta.
Ainun mengatakan, dana itu kemudian digulirkan kembali dalam mekanisme simpan pinjam untuk para anggota. Dana yang bisa diakses anggota pun bukan hanya untuk kebutuhan permukiman, tapi juga untuk modal usaha, ekonomi, kesehatan, hingga pendidikan.
Baca juga: Bantaran Sungai-sungai Kecil di Yogyakarta Paling Rentan Banjir
Paguyuban membentuk koperasi simpan-pinjam bernama Sesarengan Mangayu Bagya, atau yang berarti bersama-sama meraih kebahagiaan, untuk keperluan itu. Seiring waktu, dana yang bergulir kian besar hingga akhirnya kini total aset koperasi mencapai Rp 1 miliar.
Penataan kawasan
Setelah program renovasi rumah selesai, paguyuban tak berhenti bergerak. Mereka pun mulai memikirkan penataan kawasan secara luas. Sebab, banyak warga di bantaran Winongo dan Gajahwong yang belum memiliki hunian sendiri. Ada pula yang masih menumpang di tanah orang, kontrak, bahkan ada yang tinggal di tanah berstatus sengketa.
Paguyuban beranggotakan 300 keluarga itu pun menyadari masalah besar tersebut tak bisa diselesaikan dengan tabungan Rp 2.000 per hari. Dari situ, mereka memperluas jaringan dan advokasi, termasuk dengan kalangan akademisi dan pemerintahan untuk melakukan penataan kawasan bantaran sungai.
”Jadi, kami menyebutnya perumahan gotong royong. Artinya, bukan angkat bata bareng-bareng, tetapi mulai dari perencanaan hingga implementasi dilakukan bersama-sama oleh warga, komunitas, pemerintah, lembaga swasta, akademisi,” tutur Ainun.
Langkah awalnya yakni membuat perencanaan penataan permukiman di enam kampung bantaran sungai. Usulan itu diajukan ke Pemerintah Kota Yogyakarta, yang kemudian diadopsi menjadi program Kotaku atau akronim dari Kota Tanpa Kumuh.
Ini berbeda dengan rumah susun yang hanya memindah orang ke kotak-kotak bangunan.
Prinsip yang dipakai bukanlah memindah orang, melainkan melakukan penataan di lokasi. Ini, misalnya, untuk rumah yang terlalu mepet sungai, pemilik sepakat bangunannya dikepras selebar 3 meter untuk memberi akses jalan inspeksi. Rumah yang terpangkas tersebut kemudian dapat dibangun secara vertikal untuk mengompensasi ruang yang berkurang.
Untuk masalah pengelolaan limbah rumah tangga di permukiman padat, solusinya dibangun bioseptic tank komunal. Ruang terbuka juga diupayakan ada di setiap rumah.
Di kawasan bantaran sungai yang masuk wilayah Kabupaten Sleman, Ainun menjelaskan, paguyuban mengusulkan untuk memasukkan 76 rukun tetangga dalam Surat Keputusan Kawasan Kumuh. Hal ini agar pemerintah dapat mengalokasikan pembiayaan dari APBN atau APBD untuk penataan kampung-kampung tersebut. ”Hal itu pun disetujui,” ujarnya.
Sejak 2020, Paguyuban Kalijawi juga bergabung dengan koalisi nasional perumahan gotong royong bersama komunitas di tujuh kota lain di Tanah Air. Saat ini, koalisi tersebut tengah menyiapkan 14 program penataan di lima provinsi kepada Direktorat Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Salah satu model yang akan diterapkan di DIY, ujar Ainun, adalah membuat kampung susun. Kampung susun memindah orang dengan semua aspek ekonomi, sosial, dan budaya yang ada di dalamnya tapi masih di lokasi yang sama. ”Ini berbeda dengan rumah susun yang hanya memindah orang ke kotak-kotak bangunan,” katanya.
Berbagai upaya Ainun bersama semua anggota paguyuban terbukti mampu bertahap mengubah wajah permukiman bantaran sungai di Yogyakarta menjadi lebih baik. Namun, buah yang tak kalah penting juga adalah pemberdayaan warga, terutama perempuan sebagai motor gerakan ini.
Baca juga: Mencari Solusi Penataan Bantaran Sungai di Ibu Kota
Ainun Murwani
- Tempat/tanggal lahir: Yogyakarta, 2 Februari 1977
- Pendidikan: SMEA Negeri 3 Yogyakarta (lulus 1995)
- Keluarga:
- Suami: Budi Sunarto (50)
- Anak: Hafidh Wicaksono (16), Rayhan Surya (14)
Pengalaman organisasi:
- Bendahara Paguyuban Kalijawi periode 2012-2014
- Ketua Paguyuban Kalijawi (2014-2017)
- Koordinator Divisi Advokasi dan Jaringan Paguyuban Kalijawi (2017-2023)
- Ketua Paguyuban Kalijawi (2023-2026)