Luviana Ariyanti, Pergulatan Pejuang Kesetaraan
Makian kasar sampai isi kebun binatang merundungi Luviana Ariyanti diselingi rentetan serangan yang menghantam medianya.
Berkali-kali menerima cercaan karena perjuangannya, Luviana Ariyanti tak lantas jera. Ia membela kaum marginal, perempuan, dan masyarakat miskin untuk menggapai hak-haknya. Deretan penghargaan diraih Luvi, demikian sapaannya, tetapi itu bukanlah tujuan.
Luvi menuntaskan rapat soal evaluasi pelatihan pemilu di kantornya, Kebayoran Lama, Jakarta. Jam menunjukkan pukul 11.15. Sedikit bergeser dari jadwal, pemimpin redaksi Konde.co itu rada pontang-panting lantaran mepet dengan agenda selanjutnya.
Kantor dengan luas hanya sekitar 80 meter persegi tersebut sederhana. Kantor situs yang dia pimpin itu menempati lantai empat di gedung yang digunakan beberapa media alternatif. Pemilik bangunan itu bermurah hati menyediakan propertinya untuk diisi Luvi dan praktisi-praktisi pers lain.
”Aku juga mau merilis buku panduan peliputan pemilu perspektif jender dan inklusi buat jurnalis. Masih menunggu persetujuan,” tuturnya. Sekitar satu jam kemudian, Luvi sudah ditunggu rekan-rekan sekantornya untuk rapat mingguan di kedai yang tak jauh dari kantornya.
Kemacetan Jakarta begitu kejam hingga kerap mengusik kesehatan mental. Luvi membebaskan kawan-kawannya untuk bekerja di mana pun, tetapi tatap muka tetap penting agar keakraban lebih terjalin sehingga direalisasikan seminggu sekali.
Sedianya, ia hendak menghadiri rapat persiapan Hari Perempuan Internasional dengan 25 organisasi di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta. Itu pun Luvi akhirnya mengirimkan dua rekannya lantaran masih harus mendiskusikan rencana redaksi.
Ia terlihat sibuk bergiliran mendatangi kolega-koleganya seraya menikmati makan siang. Sesekali, senda gurau menyelingi mereka yang bertukar pendapat. Konde.co dengan 14 pegawainya adalah gerakan jurnalisme berperspektif perempuan yang menyuarakan suara publik untuk mengubah kebijakan.
Baca juga: Regina Handoko, Cinta Mati pada Seriosa
Luvi juga memperjuangkan kelompok marginal, stereotipe, dan intersection atau membangun kesadaran lintas generasi. Konde.co berkiprah sejak tahun 2016 yang tersulut dengan seringnya Luvi mendapati kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan, tetapi jeritan mereka belum tertampung.
”Harus ada media yang memperjuangkannya. Berbekal semangat bahwa pemikiran alternatif bisa muncul, aku dan beberapa teman mendirikan Konde.co,” katanya. Tak sekadar lantang menggaungkan keresahan para korban, perhatian Luvi sudah ditunjukkan dalam iklim kerjanya dulu.
Ia, umpamanya mengakomodasi usulan soal klausul kesehatan mental jika membutuhkan psikolog. Prosedur standar operasi diterapkan untuk menyetop pelecehan dan kekerasan seksual. Rak di kantor redaksi Luvi juga tampak dipadati buku dan film yang dia produksi bersama sahabat-sahabatnya.
Ia, contohnya, menyutradarai More Than Work. Film itu memaparkan kekerasan seksual, sensasionalisme tubuh, dan kebijakan yang menjerat perempuan pekerja media. Luvi juga mengarahkan Mengejar Mbak Puan yang menuturkan perjuangan perempuan-perempuan demi kesetaraan hak.
Mereka mendesak agar Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga disahkan. Namun, sudah hampir 20 tahun aspirasi itu belum juga diwujudkan. Luvi pun menggarap karya-karya bergenre serupa, seperti Silenced Workers, Miskonsepsi dan Fakta tentang Feminisme, serta Sampai Ujung Laut.
Atas kegigihannya menggemakan mereka yang masih terabaikan, Luvi diganjar berbagai penghargaan. Anggota Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) itu, misalnya, menyabet Anugerah Dewan Pers (ADP) 2023 kategori wartawan terbaik.
Aku kena PHK dan dituntut pencemaran nama baik. Prosesnya selama dua tahun lewat PHI sampai aku dinyatakan tidak bersalah.
Luvi juga menggondol penghargaan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, tahun 2015. Tasrif Award dari AJI ia genggam pada 2013. Penulis dan editor delapan buku itu juga beberapa kali menjadi pembicara dalam forum-forum internasional.
Anak buruh
Kegelisahan Luvi tak ujug-ujug tumbuh. Anak buruh pabrik gula di Klaten, Jawa Tengah, itu akrab dengan para pekerja proletar. ”Mandi di kali. Makan cuma nasi pakai garam. Masa yang selalu kuingat bahwa kemiskinan ada di mana-mana,” tuturnya.
Semasa SMP, ia memimpin majalah dinding dan menjadi kontributor majalah Kaca. Bibit-bibit mimpi menjadi wartawan mulai bersemi. Saat duduk di bangku SMA, Luvi berkecimpung dalam kelompok studi jender karena merasakan keresahan remaja kebanyakan.
”Murid enggak pernah diterangkan kenapa perempuan haid dan sakit, tersisih kalau belum punya pacar, atau suatu hari harus menikah,” katanya. Kesadaran Luvi tumbuh subur ketika membaca buku tentang kekerasan, Perempuan di Titik Nol, karya Nawal El Saadawi.
”Enggak banyak kelompok diskusi waktu aku sekolah di Yogyakarta. Kalaupun ketemu, kecil-kecil. Kebingungan muncul bahwa jadi perempuan ternyata tak mudah,” tuturnya. Kekritisan berlanjut saat ia magang sebagai reporter koran dan penyiar radio. Luvi mewujudkan minat menjadi jurnalis pada 2002.
Pengalaman yang termasuk paling tak mengenakkan justru dialami sewaktu media tempat ia bekerja berseteru karena menilainya terlalu kritis. ”Aku kena PHK dan dituntut pencemaran nama baik. Prosesnya selama dua tahun lewat PHI sampai aku dinyatakan tidak bersalah,” ujarnya.
Pergumulan Luvi yang sarat dengan aral melintang belum berhenti. Seusai menulis kekerasan seksual di salah satu kementerian, akun Twitter Konde.co lenyap karena dihantam distributed denial-of-service (DDoS) atau semacam serangan siber.
Ia juga diterpa doxing atau penyebaran informasi yang termasuk privasi. Belum lagi, cacian begitu kasar sampai isi kebun binatang yang membombardir media sosial Luvi. ”Makian kayak, ‘Mati Kau’, sudah kuterima berkali-kali. Konde.co sering dituduh media abal-abal atau enggak jelas,” ujarnya.
Selepas memublikasikan infografik kekerasan seksual di pesantren dan menyelenggarakan diskusi, tahun 2016, Luvi digeruduk kelompok yang menganggapnya menjelek-jelekkan agama. Ia disomasi dan disuruh meminta maaf lewat semua media di Indonesia.
Bunga humanisme
Luvi memandang penghargaan-penghargaan yang diraih bukanlah target, melainkan efek dari perjalanannya. Ia malah tak pernah membayangkan bisa menerima kehormatan-kehormatan tersebut. Kebahagiaan sesekali merebak ketika jerih payah membuahkan hasil.
Baca juga: Demokratisasi Alas Kaki Ala Andrey dan Aditya
Di tengah pergulatannya, bunga-bunga humanisme ada kalanya menyelingi langkah Luvi. Beberapa anak muda menyapa saat ia menumpang transportasi umum. ”Mau rapat naik kereta, mereka memanggil-manggil. Menyenangkan,” ujarnya dengan wajah semringah.
Luvi juga mengajari pekerja rumah tangga untuk mencurahkan gagasan dengan menulis dan mengunggahnya di media sosial. ”Kalau ketemu, aku dipanggil ’Bu Guru, Bu Guru’. Latihan kampanye juga. Aku terharu, mereka berunjuk rasa sembunyi-sembunyi di sela bekerja,” tuturnya.
Luviana Ariyanti
Lahir: Klaten, Jawa Tengah, 28 Oktober 1972
Pendidikan:
SD Negeri 1 Plawikan, Klaten
SMP Negeri 2 Yogyakarta
SMA BOPKRI 1 Yogyakarta
S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Suami: Hendra Hasanuddin
Anak: 1