Dedikasi Pdt Emmy bagi Korban Perdagangan Orang
Di sini saya membantu teman-teman ”penyintas” pekerja migran ilegal yang terkena kasus di luar negeri.
Nama Pdt Emmy Sahertian tidak asing lagi di kalangan masyarakat Nusa Tenggara Timur, khususnya perempuan mantan pekerja migran ilegal. Betapa tidak, sepuluh tahun terakhir ia aktif mengadvokasi perempuan pekerja migran ilegal yang tersandung masalah dan memulangkan jenazah mereka yang meninggal di perantauan. Belakangan, ia memberdayakan perempuan mantan pekerja migran ilegal.
Cukup sulit menemukan kediaman Pdt (emeritus) Emmy Sahertian (67) di Kelurahan Bakunase, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, meski menggunakan Google Map. Rumah itu terpisah dari permukiman penduduk. Ia sengaja memilih lokasi seperti itu karena ingin memiliki lahan pertanian percontohan dan galeri tenun ikat.
”Di sini saya membantu teman-teman ’penyintas’ pekerja migran ilegal yang terkena kasus di luar negeri dan dikirim pulang oleh majikan tanpa membawa uang sepeser pun,” cerita Emmy di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Senin (5/2/2024).
Untuk memberdayakan perempuan mantan pekerja migran ilegal itu, Emmy mendirikan Komunitas Hanaf. Ada 57 perempuan tergabung di dalamnya. Mereka berasal dari daratan Timor, termasuk Kota Kupang. Emmy melatih mereka bertani secara organik, budidaya ikan air tawar, menenun, dan beternak ayam. Hasil produksi dijual di pasar tradisional atau secara daring. Sebagian dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pertanian organik difokuskan pada tanaman hortikultura dan dikembangkan selama musim kemarau. Saat musim hujan tiba, para perempuan itu kembali ke rumah masing-masing untuk mengolah lahan bersama keluarga mereka. Namun, ada juga yang tetap memilih bertahan di kediaman Emmy.
Emmy memberdayakan para perempuan itu agar mereka tidak lagi pergi ke luar negeri menjadi pekerja migran ilegal. Lebih baik mereka tinggal di kampung mengelola sumber daya alam yang ada untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Advokasi
Emmy terlibat dalam advokasi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sejak menjabat sebagai Koordinator Bidang Advokasi Hukum dan Perdamaian Gereja Kristen Masehi Injili di Timor (GMIT), 2013-2019. Setelah emeritus, ia meneruskan kegiatannya mengadvokasi dan menanggulangi TPPO yang masif di NTT.
Emmy yang pernah menangani masalah HIV di sejumlah wilayah pedalaman Papua pada 1995-2012 menceritakan, gadis-gadis NTT ada yang diperdagangkan sebagai pekerja seks komersial di luar negeri atau di sejumlah perkebunan sawit di Kalimantan. Tidak heran, jika kasus HIV di NTT pada 1997 ditemukan dari kalangan perempuan yang dilacurkan itu.
Perempuan NTT lainnya dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga di luar negeri secara ilegal. Sebagian besar dari mereka mengalami masalah. Salah satunya Marince Kabu yang pernah dianiaya majikannya di Malaysia sampai sebagian tubuhnya cacat. Kabu bisa kembali ke NTT dan bergabung di Komunitas Hanaf. Ia memilih menenun. Hasilnya dijual secara daring. Selama musim hujan, ia memilih membantu suami bekerja di ladang jagung.
Setiap ada pekerja migran ilegal yang pulang, Emmy menemui mereka, mendata, dan mengajak bicara. Sebagian dari mereka berniat kembali ke luar negeri meski sudah mengalami hal yang pahit. Emmy berusaha meyakinkan mereka agar mencari nafkah di daerah asalnya saja.
”Kalau pulang kampung, mereka beralasan sulit mencari uang untuk membiayai hidup. Karena itu, saya ajak bergabung di Komunitas Hanaf. Kami tidak hanya bekerja bersama, tetapi juga membangun persaudaraan dan kebersamaan serta perasaan senasib dan sependeritaan selama menjadi pekerja imigran ilegal di luar negeri,” kata Emmy.
Emmy juga terlibat bersama tim ”kargo” Bandara El Tari Kupang menjemput setiap jenazah pekerja migran ilegal yang datang dari luar negeri. Ia selalu hadir di sana, bersama Sr Laurentia PI, petugas BP3MI NTT, dan anggota keluarga korban.
Pada setiap kapal Pelni rute NTT-Batam atau NTT-Nunukan, di situ ratusan calon pekerja migran ilegal diangkut. Tidak ada Satgas TPPO yang mengawasi.
Emmy menghayati di relung hati paling dalam ratap tangis dan kesedihan anggota keluarga yang datang menjemput setiap jenazah. Ia memberi penguatan kepada keluarga korban dan mendoakan mereka. Mereka yang tertidur di dalam peti itu adalah korban sia-sia ketika mencari rezeki demi sesuap nasi. Mereka terbuai janji manis para calo dan mafia TPPO yang gencar datang ke desa-desa.
Anggota Tim Lobi dan Advokasi Zero Human Trafficking Network Indonesia NTT itu menambahkan, kawanan mafia TPPO di NTT berwajah teman, mantan pekerja migran ilegal, anggota keluarga, paman, pacar, tante, bahkan suami atau istri. Hampir semua korban TPPO di NTT ternyata pertama kali direkrut oleh orang-orang dekat. Kini, kawanan mafia TPPO merekrut pekerja migran ilegal melalui media sosial. Mereka memiliki akun tersendiri sehingga sulit dilacak.
Baca juga: Elegi Akhir Tahun, Kematian PMI Ilegal NTT Tak Terbendung
”Pada setiap kapal Pelni rute NTT-Batam atau NTT-Nunukan, di situ ratusan calon pekerja migran ilegal diangkut. Tidak ada Satgas TPPO yang mengawasi. Padahal, ada satgas yang dibentuk pemprov, Satgas Nakertrans, Satgas Polda, dan Satgas BP3MI NTT. Semua satgas itu tidak saling koordinasi. Mereka kerja sendiri-sendiri,” ujarnya.
Beberapa kali, Emmy menyusup sebagai calon penumpang kapal. Ia mendapatkan puluhan gadis dan ibu muda dari desa di daratan Timor yang diangkut ke kapal Pelni, diawasi satu atau dua pria berbadan kekar dengan wajah sangar. Para perempuan itu mengaku akan bekerja di Jakarta, Surabaya, Medan, dan kota lain. Ternyata, sudah diajari oleh pria atau calo itu untuk berbohong agar dengan leluasa bisa sampai ke luar negeri, atau provinsi tujuan.
Satgas TPPO Polda sudah bekerja keras dan cukup banyak menangkap pelaku TPPO, termasuk di pelabuhan Tenau, Kupang. Namun, sampai di pengadilan, para pelaku dibebaskan atau dihukum ringan karena kasusnya dianggap penyelundupan manusia bukan perdagangan manusia. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO selama ini tidak berhasil menyeret para calo atau anggota mafia TPPO itu ke penjara. Emmy ingin UU TPPO direvisi sehingga penyelundupan manusia (people smuggling) masuk dalam kategori perdagangan manusia (human trafficking).
Menurut Emmy, Satgas TPPO seharusnya juga dibentuk di desa-desa. Selama ini, perekrutan pekerja migran ilegal melibatkan aparatur desa, antara lain dengan menerbitkan surat keterangan pemberangkatan.
”Kita mencegahnya di desa, dengan memberdayakan warga miskin di sana. Salah satu alternatifnya dengan menggunakan dana desa untuk berbagai kegiatan melalui proyek padat karya, UMKM, dan Bumdes. Tenaga pendamping dana desa punya peranan itu,” kata Emmy.
Menurut Emmy, sejak 2015 pemerintah mengalokasikan dana desa ke semua desa di NTT. Jumlah dana desa itu lebih dari Rp 1 miliar per desa, bahkan ada desa yang mendapat hampir Rp 2 miliar per tahun. Namun, sampai hari ini dana desa belum mampu membendung arus keberangkatan pekerja migran ilegal ke luar negeri. Ia curiga ada yang tidak beres dalam pengelolaan dana tersebut di NTT.
Baca juga: 11 Jenazah PMI Ilegal NTT Tiba di Kupang Selama Januari 2024
Pdt Emeritus Emmy Sahertian
Lahir: Kupang, 27 Desember 1957
Suami: Yapi Manafe
Anak: Eben Andres (31)
Pendidikan Terakhir: Magister Sekolah Tinggi Theologia Jakarta
Jabatan: Pembina Yayasan Keadilan dan Perdamaian GMIT