Sutanandika, Penjaga Semangat Gerakan Cisadane Resik
Jangan jadikan sungai sebagai ”septic tank”. Indikator negara maju dan beradab salah satunya adalah sungai bersih.
Sutanandika (46) resah terhadap perilaku membuang sampah sembarangan di Sungai Cisadane dan eksploitasi alam di sekitar daerah aliran sungai itu. Keresahan itu menggerakkan dia untuk mendirikan Pakwan Institute Cisadane Resik.
Secara resmi Pakwan Institute Cisadane Resik berdiri pada 2020, tetapi kegiatannya sudah berjalan pada 2019. Gerakan ini ditujukan untuk menumbuhkan kesadaran, kepedulian, dan kecintaan pada lingkungan. Penggeraknya adalah para pelajar atau anak-anak muda.
”Lebih mudah membangun karakter dan menumbuhkan kepedulian kepada anak-anak muda. Mereka punya semangat dan keinginan besar untuk melihat lingkungan menjadi lebih bersih dan lestari,” kata pria yang akrab disapa Sutan itu, Rabu (31/1/2023).
Sejak berdiri, Cisadane Resik telah menggelar 16 volume kegiatan. Setiap volume pesertanya rata-rata 120 anak muda dari kalangan pelajar SMP, SMA, dan anggota komunitas. Mereka diajak membersihkan sampah atau menanam pohon. Sutan tidak ingat lagi berapa banyak yang sudah ditanam dan berapa ribu kilogram sampah yang diambil dari Sungai Cisadane.
Selain itu, peserta diajak belajar banyak hal tentang Sungai Cisadane yang menyimpan jejak peradaban manusia. Di aliran sungai itu telah ditemukan artefak bernilai sejarah, seperti Prasasti Batutulis, Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, dan Prasasti Muara Cianten.
Jangan jadikan sungai sebagaiseptic tank. Indikator negara maju dan beradab salah satunya adalah sungai bersih.
Mereka juga mempelajari sungai-sungai lain di Indonesia, seperti Sungai Ciliwung yang semakin ke hilir semakin tercemar, kotor, dan rusak. Dari situ mereka disadarkan untuk tidak membuang sampah sembarangan ke sungai.
”Jangan jadikan sungai sebagai septic tank. Indikator negara maju dan beradab salah satunya adalah sungai bersih,” kata Sutan.
Cisadane Resik Volume 16 digelar pada 28 Januari 2024. Kegiatannya, antara lain, menanam 1.500 pohon di Desa Tanjung Sari, Cijeruk, Kabupaten Bogor. Sutan dan kawan-kawan juga mengajari anak-anak muda tentang sungai dan hutan sebagai daerah resapan air yang berperan penting dalam kehidupan manusia.
Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane yang masuk ke wilayah Gunung Pangrango dan Gunung Halimun Salak, banyak terjadi aktivitas liar yang mencemari sungai sepanjang 126 kilometer itu dan merusak lingkungan DAS. Aktivitas liar itu, antara lain, pencemaran sungai oleh perusahaan tambang, pembalakan liar, dan alih fungsi lahan.
”Ini tinggal menunggu saja. Jika tidak ada yang peduli, Sungai Cisadane akan hancur, tercemar, dan merusak kehidupan manusia. Banyak batas wilayah gunung dilanggar sehingga berdampak pada sungai. Ini kenyataan yang sedang dihadapi di Sungai Cisadane,” ujar guru Bahasa dan Budaya Sunda di SMA 1 Cijeruk, Kabupaten Bogor, itu.
Baca juga: Dedikasi Pdt Emmy bagi Korban Perdagangan Orang
Gerakan Cisadane Resik, lanjut Sutan, secara sadar tidak bertujuan melakukan perubahan besar lingkungan Sungai Cisadane. ”Kami tidak pada posisi itu. Ini tentang semangat anak-anak yang belajar langsung dari lingkungan agar (kelak) menjadi pemimpin yang baik dan peduli, tidak menyerah, tidak membawa hati benci dan menimbulkan kebencian, tidak mewariskan nilai buruk ke generasi selanjutnya,” katanya.
Kegiatan ini, kata Sutan, adalah ruang mereka berkreasi, apresiasi, eksistensi, dan pengembangan mental. ”Tetaplah menjadi seorang pejuang meski tak lagi ikut kegiatan ini,” ujarnya.
”Pejuang Waktu”
Gerakan Cisadane Resik bisa terus berlangsung karena ada dukungan dari beberapa lembaga dan komunitas. Tak heran, dalam satu kegiatan, mereka bisa menanam sekitar 1.000 pohon. Sebagian pohon yang ditanam hasil pembibitan sendiri. Sisanya donasi dari lembaga lain, seperti Cabang Dinas Kehutanan (CDK) Wilayah 1 Jawa Barat, BPDAS Citarum-Ciliwung, dan Kebon Raya Bogor.
Salah satu kegiatan Cisadane Resik yang memberikan pengalaman luar biasa ialah pada saat Cisadane Resik Volume 8 di Cimande. Kegiatan itu diikuti sekitar 1.000 peserta yang didominasi oleh komunitas silat Cimande. Dari kegiatan itu muncul kegiatan serupa bernama Cimande Day yang sudah berlangsung sebanyak enam volume.
”Kami punya uang Rp 7,5 juta. Bingung bagaimana dan apakah cukup uangnya untuk menggelar kegiatan dengan jumlah peserta yang banyak. Untuk makan anak-anak bagaimana. Ternyata ada yang bersedia berdonasi tenda dan makanan. Banyak orangtua juga ikut terlibat karena anak-anaknya mengikuti kegiatan itu. Cukup terharu,” kata Sutan yang kerap mengeluarkan uang sendiri atau patungan bersama guru lainnya untuk membiayai kegiatan.
Meski banyak dukungan, tantangannya juga ada. ”Pejuang Waktu”, sebutan untuk penggerak Cisadane Resik, kerap mendapat pengalaman tidak menyenangkan. Beberapa kali, saat membersihkan sampah, ada orang yang seperti sengaja membuang sampah di depan mereka. Pernah juga mereka dimintai uang Rp 700.000 oleh oknum petugas sampah setiap kali kegiatan.
Baca juga: Dadi Mulyadi, Perjuangan Manis dari Ciamis
Mau tak mau sampah yang telah dikumpulkan dibakar di lokasi kegiatan. ”Benar? Itu salah. Saya bilang ke teman-teman muda, yang kita lakukan itu tidak benar. Tapi, kalau disimpan juga masalah. Mudah-mudahan dari pohon yang kita tanam menghasilkan oksigen sehingga impas dengan asap pembakaran, karbon dioksida,” lanjutnya.
Pengalaman tidak mengenakan lainnya terjadi saat beberapa anak mengirimkan informasi kegiatan Cisadane Resik ke organisasi River Cleanup. Organisasi itu terkesan dengan kegiatan itu dan mengirimkan pakaian serta sarung tangan untuk kegiatan Cisadane Resik dari luar negeri. Namun, barang itu tidak pernah sampai ke tangan mereka karena tertahan di Bea Cukai. Mereka harus merelakan pakaian dan sarung tangan dari River Cleanup itu.
Lalu, saat menanam pohon dan napak tilas untuk melihat pertumbuhan pohon, ”Pejuang Waktu” mendapati bangunan vila tumbuh di kawasan yang dulu mereka tanami pohon. Ada juga pohon yang dipangkas untuk pakan ternak.
Anak-anak muda ”Pejuang Waktu” itu tentu saja kecewa. Sutan dan beberapa sukarelawan berusaha menebalkan keyakinan bahwa gerakan itu harus jalan terus. ”Kita tetap bergerak menanam dan membersihkan sungai. Tanam saja, minimal pohon itu cepat atau lambat berkembangnya, kita telah berkontribusi untuk menambah oksigen agar udara bersih. Pengalaman-pengalaman itu menjadi pendewasaan dan mentalitas mereka,” lanjut Sutan.
Sutan menambahkan, sikap tidak mudah larut dalam kekecewaan sangat penting untuk ditekankan. Dia menceritakan, ada alumni Gerakan Resik yang terdorong mendirikan bank sampah bernama Bambu Runcing. Gerakan itu awalnya berjalan baik dan mendapat respons positif dari warga. Namun, gerakan itu mati karena sebuah kekecewaan. Pemicunya, alokasi dana desa (ADD) dari pemerintah daerah untuk pengelolaan sampah justru diberikan kepada pihak lain, bukan kepada Bambu Runcing.
”Kami tidak ingin anak-anak muda mengalami hal seperti itu. Mereka punya cita-cita besar terkait lingkungan. Apa pun yang mereka lakukan saat ini akan berdampak meski itu kecil. Kepedulian anak-anak muda ini merupakan sebuah prestasi besar,” kata Sutan.
Pakwan Institute Cisadane Resik sejauh ini telah menjadi ruang anak-anak muda untuk belajar langsung dari lingkungan. Mereka, kelak, diharapkan menjadi generasi yang mencintai alam, berperilaku baik, tidak merugikan orang lain, tidak membuang sampah sembarangan, dan merusak lingkungan.
Semangat itu selalu didengungkan dalam setiap kegiatan Cisadane Resik yang punya slogan ”Kami ada untuk berlipat ganda. Kami ada dan bersaudara”.
”Kami ada bukan hanya untuk manusia, tetapi juga untuk alam. Kita bersaudara bukan hanya kepada manusia, tetapi kepada alamnya juga,” ujar Sutan.
Sutanandika
Lahir: Bogor, 8 Desember 1978
Pendidikan: Strata dua Pendidikan Bahasa dan Budaya Sunda
Profesi: Guru di SMA 1 Cijeruk