Ratih Kumala, Penulis yang ”Ngidak Bumi”
Menulis sastra haruslah sederhana dan memijak bumi menurut novelis Ratih Kumala yang tenar lewat novel ”Gadis Kretek”.
Novelis Ratih Kumala terlahir dari keturunan produsen rokok kretek yang cukup terkenal di Muntilan, Jawa Tengah, puluhan tahun silam. Jati diri itu menjadi titik berangkat Ratih meniti jalan kepenulisan.
Sejak kecil Ratih dan saudara-saudaranya banyak mendengar cerita seputar eyang kakung (kakek) dan bisnis rokok kreteknya itu. Walau terbilang sukses, usaha itu belum sampai menjadikan sang kakek ”tajir melintir” alias kaya raya, begitu istilah Ratih.
Namun, dari banyak cerita itu, novel Gadis Kretek (2012) kemudian lahir. Novel itu bahkan menjadi best seller, dicetak ulang belasan kali, dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, seperti Inggris, Melayu, dan Tagalog.
Awal pekan lalu, Rabu (24/1/2024), Ratih yang juga alumnus Sastra Inggris Universitas Sebelas Maret, Surakarta, menyediakan waktu untuk berbincang-bincang dengan Kompas. Perjumpaan berlangsung di kantor penerbit novel-novelnya, Gramedia Pustaka Utama (GPU), di kawasan Palmerah Barat, Jakarta.
Dalam perbincangan santai dan riang itu, Ratih mengisahkan kembali pengalaman masa kecilnya dan perjalanan karier menulisnya. ”Semua cucu eyang tahu pasti semua cerita itu. Setiap pulang kampung, para pakde dan bude selalu menceritakannya. Semisal, soal sudut-sudut rumah eyang yang luas dan menjadi tempat para perempuan buruh linting bekerja. Atau area para-para tempat menyimpan bahan tembakau dan rokok kretek yang sudah dilinting,” kisah Ratih.
Salah satu cerita yang melekat, yang ia paparkan kembali dalam novel Gadis Kretek, adalah kebiasaan sang eyang seusai meracik saus kretek dan irisan daun tembakau. Telapak tangannya selalu menghitam lantaran tertutup sisa residu cairan saus dan getah daun tembakau yang mengering.
”Biasanya kotoran itu dibersihkan pakai sendok. Sisa-sisa keraknya dikumpulkan, dimasukkan dalam lap kain, lalu ditindih cerek panas. Kerak kemudian memipih, lalu dikumpulkan untuk dilinting kembali jadi rokok dan dinikmati sendiri,” ujar Ratih.
Semua rincian itu juga dipaparkan di dalam novel, yang lantas digambarkan dalam salah satu adegan di film serial lima episode berjudul sama. Akhir tahun 2023, novel itu diterjemahkan ke dalam film serial, yang tayang di sebuah aplikasi layanan pemutar film daring.
Baca juga: Seni Tak Boleh Berhenti
Bukan perkara gampang mengubah dan menceritakan kembali ingatan masa kecilnya ke dalam sebuah karya sastra, apalagi novel. Saat awal memulai karier kepenulisannya di bidang sastra, Ratih juga pernah mencoba membuat versi cerita pendeknya, tetapi gagal.
Belakangan dia baru tahu, ternyata butuh pengalaman bertahun-tahun untuk bisa menuangkan kisah-kisah yang didengar di masa kecilnya itu ke dalam sebuah novel. Novel Gadis Kretek adalah novel keempat Ratih setelah bertahun-tahun berkarya dan meraih prestasi.
Seperti kebanyakan anak sebayanya pada era tahun 1990-an, Ratih punya hobi membaca sejumlah majalah remaja, terutama rubrik cerpen. Ia kerap meminjam koleksi buku cerita remaja, seperti Lupus dan Olga: Sepatu Roda, milik kakak sepupunya. Kedua karya populer itu ditulis novelis remaja terkenal era 1980-an dan 1990-an, mendiang Hilman Hariwijaya.
Saat kuliah, Ratih juga rajin berdiskusi dengan sesama pembaca karya-karya sastra. Salah seorang teman kebetulan memiliki toko buku kecil tempat mereka berkumpul dan berdiskusi membaca sejumlah buku sastra, terutama karya Pramoedya Ananta Toer.
Satu waktu setelah ide-ide di kepala semakin menumpuk, Ratih memberanikan diri menulis dalam format cerita pendek. Sebagian karyanya dikirim ke surat kabar nasional, tetapi sayangnya cerpennya kerap gagal diterbitkan.
Ratih lantas mengubah strategi dengan mengirimkan cerpen-cerpen karyanya itu ke koran-koran lokal. Beberapa berhasil dimuat dan Ratih menerima honor. Dari situ dia menetapkan ”jalan pedangnya” untuk menjadi seorang penulis profesional.
Baca juga: Buntu tetapi Jitu
Selang beberapa lama, salah satu karya cerpennya dinyatakan lolos seleksi dan dimasukkan dalam buku kumpulan cerpen majalah sastra bergengsi, Horison. Hal itu semakin meningkatkan rasa percaya dirinya untuk terus menaikkan tantangan dan kemampuannya.
Ratih menjajal menulis novel, yang salah satunya dia ikut sertakan dalam kompetisi yang digelar Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2003. Novel berjudul Tabula Rasa itu dinyatakan meraih peringkat ketiga.
”Baru kali itu karyaku menang peringkat berangka kecil. Juara tiga. Biasanya cuma masuk nominasi atau masuk posisi sekian besar. Ha-ha-ha,” ujarnya riang mengenang.
Dari situ Ratih banyak bertemu dan mengenal sejumlah penulis dan sastrawan senior, seperti Sapardi Djoko Damono, Budi Darma, dan Maman S Mahayana. Saat masih di Solo dia sulit mendapat teman diskusi dari kalangan penulis senior.
”Sejak itu semangatku semakin terpacu untuk lebih serius menjadi penulis profesional. Kepuasan sebagai penulis memang terasa ketika melihat karya kita dimuat di koran atau sudah jadi dalam bentuk buku. Atau juga ketika kita tahu, oh ternyata ada duitnya ya, ha-ha-ha,” ujar Ratih.
Menulis naskah film
Seiring waktu, kemampuan menulis Ratih semakin bertambah. Dia kemudian terlibat dalam sebuah produksi acara edukasi televisi untuk anak-anak Jalan Sesama. Program acara Sesame Street versi Indonesia, itu merupakan kerja sama dengan Sesame Workshop di New York, Amerika Serikat.
Ratih mempelajari keterampilan menulis baru, menulis naskah (script writing), yang dirasakannya sangat berbeda dengan menulis karya sastra. Perbedaan mendasar terutama dari mulai proses kreatif hingga eksekusi akhir penulisan dan pengeditan.
Kalaupun setelah membaca novelku orang kemudian menangkap satu pesan moral tertentu, hal itu biarlah menjadi semacam bonus. Selama ini aku selalu berupaya memulai dan mengembangkan ide tulisanku dari hal-hal seperti kalimat, plot, ataupun karakter yang sederhana.
Menulis cerpen dan novel, menurut Ratih, lebih mengacu pada kepuasan pribadi. Dia bebas menuangkan ide-idenya, membangun karakter, plot, dan alur cerita. Keistimewaan macam itu tak bisa diterapkan saat menulis naskah, terutama film. Sebab, ada banyak pihak yang terlibat dan mesti ikut dipertimbangkan saat menulis cerita, mulai dari produser, sutradara, pemain, hingga petugas wardrobe, setting tempat, alokasi biaya, dan respons penonton berupa rating.
”Sementara saat membuat novel aku paling-paling hanya berhadapan dengan editorku. Ibaratnya kita mau ngebacot sampai puas bercerita atau menciptakan karakter senyeleneh apa pun, semua bisa saja (dilakukan) sendiri,” ujar Ratih.
Realistis
Pengetahuan dan pengalaman menulis naskah film atau acara televisi juga memperkaya kemampuan profesional Ratih. Saat menulis karya sastranya, dia jadi lebih realistis dan bersikap ngidak bumi (memijak bumi).
Ia selalu menahan diri dari keinginan menulis dengan menggunakan kata dan kalimat yang ndakik-ndakik, apalagi menggurui. Bahasa yang digunakan dalam cerpen dan novelnya harus sederhana agar mudah dipahami para pembaca.
”Kalaupun setelah membaca novelku orang kemudian menangkap satu pesan moral tertentu, hal itu biarlah menjadi semacam bonus. Selama ini aku selalu berupaya memulai dan mengembangkan ide tulisanku dari hal-hal seperti kalimat, plot, ataupun karakter yang sederhana,” ujar Ratih.
Ratih punya dua teman kepercayaan yang kerap dia minta untuk membaca dan memberikan pendapat atas karya barunya sebelum diserahkan kepada editor.
”Biasanya aku cuma akan tanya, gimana menurut kamu? Buatku sebuah karya sastra harus ditulis dengan cara yang mudah dipahami orang lain,” ujar penggemar sejumlah novelis dunia macam Hikaru Okuizumi dari Jepang, Ben Okri asal Afrika Selatan, dan Etgar Keret dari Israel ini.
Sebagai penulis yang juga istri sastrawan terkemuka, Eka Kurniawan, Ratih bercerita, antarmereka tak pernah ada kebiasaan saling mengkritik atau bahkan memberikan masukan atas karya masing-masing tanpa diminta. Kalaupun ada naskah karya tergeletak di atas meja, hal itu berarti hanya sebatas pihak lain dipersilakan ikut membaca.
Baca juga: Lola Amaria Mekar di Balik Layar
Walau sesama penulis, ujar Ratih, keduanya lebih sering berbincang dan membahas soal anak jika sedang berada di dalam rumah. ”Kami sadar kalau masing-masing punya gaya berbeda. Toh naskah yang misalnya akan dikritik juga belum tentu sudah bersifat draf final. Tapi kalau sudah ada yang tanya, gimana? Nah baru deh berarti sudah boleh kasih masukan,” ujar Ratih terkekeh.
Ratih aktif mencari dan menabung ide-ide penulisan sambil menulis puisi yang biasanya diunggah dalam akun media sosial. Sebagai seorang penulis utama (head writer) di Base Entertainment, ia mengaku harus bisa tetap konsisten dan disiplin dalam berkarya.
”Buat aku yang namanya ide itu enggak akan pernah habis. Yang terbatas itu cuma waktu dan tenaga kita. Jadi untuk itu kita harus bisa konsisten dan disiplin, termasuk dalam mencari dan mengembangkan suatu ide. Dua hal itulah yang selalu menjadi PR besar seorang penulis,” pungkasnya.
Ratih Kumala
Pendidikan: S-1 Sastra Inggris
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Novel (antara lain):
Tabula Rasa (2004)
Kronik Betawi (2008)
Gadis Kretek (2012)
Saga dari Samudra (2023)