Fathan Faris Saputro Menjaga Nyala Tradisi Membaca
Membaca itu menjadikan seseorang tampil beda, berwawasan luas, dan bicaranya asyik.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·5 menit baca
Fathan Faris Saputro (23) menginginkan muncul sekelompok anak muda yang mencintai buku di tengah lingkungan yang malas membaca. Untuk itu, dia membuka rumahnya sebagai markas Rumah Baca Api Literasi, sumber literasi yang bebas didatangi kapan saja dan oleh siapa saja.
Rumah Fathan ”mewah” alias mepet sawah. Di depan rumahnya terbentang hamparan sawah menghijau oleh tanaman padi yang sore itu kemilau diterpa cahaya matahari. Suara azan Ashar dari kejauhan terdengar lebih merdu karena ditingkahi kicau burung yang hinggap di pohon-pohon di tepian sawah. Pada Senin (25/12/2023), Fathan mengajak ngobrol di sebuah gubuk, sekitar 100 meter dari rumahnya, persis di tengah persawahan di Desa Solokuro, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
Tempat tinggal Fathan hanya berjarak sekitar 4,5 kilometer dari rumah kediaman mendiang Amrozi, salah satu teroris pengeboman Bali 2002. Kemunculan radikalisme agama tersebut, antara lain, dipicu oleh minimnya tradisi membaca. Ini yang diperangi Fathan.
Di Tengah sawah itu, Fathan kemudian menceritakan keluh kesahnya berjuang menularkan kecintaan membaca dan menulis buku. ”Orang-orang itu, baca tulisan sendiri saja malas, apalagi membaca tulisan orang lain,” kata Fathan mengomentari kebiasaan sebagian orang di lingkungannya, baik masyarakat umum maupun organisasi tempat dia berhikmat.
Dia mencontohkan, suatu kali ada pemimpin organisasi untuk kalangan perempuan muda yang meminta dibuatkan berita tentang kegiatan sosial. Fathan menolak lantaran sebelum-sebelumnya, dia pernah membuatkan berita serupa dan diunggah di situs organisasi, tetapi yang membaca hanya dua sampai lima orang. Minimnya pembaca itu, menurut hasil analisis Fathan, karena orang-orang tadi malas membaca dan malas membagi link-nya.
Dia juga resah dengan perilaku orang-orang yang lebih banyak membahas kegiatan sosial, tetapi meninggalkan basis pengetahuan atau literasi. Bagi Fathan, aktivitas sosial tanpa dasar pengetahuan yang memadai bisa menautkan sebuah kelompok kepada kegiatan yang hampa atau malah salah sasaran. Untuk itu, dia tak pernah lelah menularkan kecintaan membaca dan menulis buku.
Fathan sudah menulis tiga buku, buku ketiganya dia terbitkan tahun lalu secera independen dan terjual hingga seratusan eksemplar. Salah satu buku sebelumnya, dia ikutkan lomba dan menang tingkat nasional. Dia mulai gencar mengampanyekan pentingnya literasi sejak usia 18 tahun. Kala itu banyak juga orang-orang yang lebih tua mencibirnya, ”Ngapain sibuk kampanye literasi, mending kerja,” kata Fathan menirukan cibiran tersebut.
Fathan merintis gerakan literasi sejak kuliah Pendidikan Agama Islam di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Muhammadiyah Pondok Pesantren Karangasem Paciran. Namanya Rumah Baca Api Literasi. Dia mengajak beberapa temannya menggelar perpustakaan terbuka di Terminal Paciran dengan harapan anak-anak muda yang kerap nongkrong di sana pada sore hari bersedia membaca buku. Sebab, selama ini mereka hanya nongkrong sambil minum kopi atau geber-geber sepeda motor.
Perpustakaan terbuka yang dirintis Fathan terinspirasi oleh gerakan serupa yang dilakukan Wariyono lewat Rumah Baca Cahaya di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan. Rumah Baca Cahaya berjejaring dengan Rumah Baca Komunitas dan Pustaka Bergerak Indonesia.
”
Sayangnya, gerakan tersebut hanya berjalan sekitar satu tahun karena sebagian temannya yang biasa menemaninya makin sibuk dengan kuliah. Selain itu, tak lama kemudian pandemi Covid-19 datang dan mengharuskan semua orang lebih banyak berada di rumah. Meski demikian, Fathan tetap berupaya mengampanyekan gerakan literasinya dengan menjadikan rumahnya sebagai perpustakaan. Selain itu, dia merintis perpustakaan di Masjid Ki Bagus Hadikusumo Universitas Muhammadiyah Lamongan.
”Di sana saya juga mengajak mahasiswa untuk menerbitkan buletin,” kata Fathan tentang strateginya menularkan tradisi menulis.
Meskipun berada di tengah-tengah mahasiswa, Fathan tetap kesulitan menemukan anak muda yang gemar membaca. Mereka lebih senang main bareng (mabar). Namun, paling tidak lewat perpustakaan yang dia rintis itu, dia telah menularkan kebiasaan membaca.
Pada level lain, Fathan menebar virus di kalangan pelajar lewat organisasi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Dia membebaskan para pelajar untuk meminjam buku-buku Fathan, baik untuk dibaca sendiri oleh mereka maupun dipinjamkan kepada pelajar lain. Tidak jarang, mereka meminjam buku Fathan hingga berdus-dus ketika menggelar kegiatan massal, seperti pelatihan organsasi atau bazar. Fathan ingin lingkungannya makin subur tradisi membaca kalau pun belum bisa segebyar Yogyakarta atau Malang, dua kota yang selalu menjadi tolok ukur Fathan dalam hal literasi dan tradisi akademik.
”Kalau ada pelajar yang mau menulis, selalu saya narasikan sebagai figur yang gemar membaca,” kata Fathan yang tak segan juga mempromosikan tulisan mereka kepada orang-orang yang dia kenal. Bagi dia, cara itu akan memberikan rasa percaya diri kepada seorang pembelajar atau yang sedang merintis keterampilan menulis.
Kalau ada pelajar yang mau menulis, selalu saya narasikan sebagai figur yang gemar membaca.
Inspirasi tetangga
Fathan lahir dari orangtua petani yang tidak tertarik dengan membaca, apalagi menulis buku. Dia mulai tertarik membaca buku ketika aktif di IPM dan melihat tetangganya, seorang aktivis yang jago ngomong. Belakangan dia tahu aktivis tersebut doyan baca dan koleksi bukunya sangat banyak di rumahnya. Sang aktivis yang kini menjadi anggota partai politik itu juga mendorong anak-anak remaja, seperti Fathan, untuk tidak bosan membaca dan menulis.
”Yang membuat saya jatuh cinta dengan membaca adalah ternyata sering membaca itu menjadi tampil beda, wawasannya luas, bicaranya asyik,” kata Fathan.
Dari sana, Fathan mulai membaca dan pelan-pelan menulis. Pada usia terbilang belia, Fathan sudah menghasilkan tiga buku. Berkat ketekunannya membaca, kini dia dipercaya sebagai Koordinator Divisi Pustaka dan Informasi Majelis Pustaka Informasi dan Digitalisasi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan sejak tahun 2022.
Dia berharap bisa terus menularkan tradisi membaca dan menulis agar anak-anak muda berwawasan luas dan tidak mudah terpancing oleh pandangan-pandangan yang merusak. Lewat Rumah Baca Api Literasi, Fathan berupaya agar gairah membaca terus menyala.