Siti Umi Hanik, Dakwah Sang ”Detektif” Sampah
Siti Umi Hanik alias Hanie Ismail berjuang lewat dakwah dan polah bersama komunitas Nol Sampah demi hidup nirsampah.
Bahaya sampah plastik mengusik kesadaran Siti Umi Hanik sejak 2007 saat menjadi akuntan di gerakan sosial Urban Poor Consortium dan detektif lingkungan Dewan Kota Surabaya selepas lulus dari Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur.
Pengalaman di Urban Poor Consortium pada 2007-2009 dan detektif lingkungan pada 2007-2016 menjadi fondasi yang kuat bagi Hanik alias Hanie bersama sejumlah aktivis mendirikan komunitas Nol Sampah di Surabaya pada 2009. Melalui komunitas ini, ia berjuang lewat kampanye, sosialisasi, pendampingan, dan perilaku menekan sampah, terutama plastik.
”Demi kehidupan yang baik tanpa plastik dan sampah dimulai dari diri sendiri,” kata Hanik saat berkunjung ke Redaksi Kompas Biro Jawa Timur di Surabaya, Kamis (11/1/2024), sebelum ke Jepang menjadi salah satu pembicara dalam seminar ”Living in Crisis” (The 34th Kitakyushu Conference on Asian Women). Seminar berlangsung pada Sabtu, 20 Januari 2024, secara daring dan luring.
Nol Sampah bukan sekadar nama komunitas yang didirikan Hanik bersama sejumlah aktivis lingkungan, melainkan ikhtiar dan semacam utopia. Dalam idealisme Hanik, lulusan magister teknik lingkungan Institut Teknologi Adhitama Surabaya (ITATS) 2023, manusia berpeluang kembali mewujudkan kehidupan yang selaras dengan pelestarian alam.
Sejak 2009, setiap Minggu saat hari bebas kendaraan bermotor di sudut barat daya Taman Bungkul atau persimpangan Jalan Raya Darmo dan Jalan Progo, Hanik dan Nol Sampah berkampanye dengan membagikan kantong kain pengganti tas keresek. Setiap orang yang tertarik mengganti keresek dengan kantong kain patut mendengar sosialisasi tentang plastik dan bahaya bagi kesehatan serta lingkungan.
Kampanye serupa terkadang berlangsung di Kebun Binatang Surabaya, pasar-pasar, toko atau ritel, dan ruang publik. Tujuannya, menyapa dan mengingatkan warga ibu kota Jatim agar mau mengurangi pemakaian plastik. ”Kampanye itu menjadi pintu masuk bagi kami untuk menginisiasi program pendampingan ke komunitas, kampung, sekolah, dan lembaga dalam penanganan dan pengelolaan sampah,” kata perempuan kelahiran Lamongan, 29 Juni 1979, ini.
Dari sini saya belajar bahwa untuk sekadar mengubah perilaku seseorang mau memilah sampah perlu setidaknya lima tahun dan itu pun bisa luntur.
Pada 2011, Hanik terlibat dalam studi kerja sama antardaerah dalam pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA) regional di aglomerasi Surabaya Raya (Surabaya-Sidoarjo-Gresik). Studi ini dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Lingkungan Hidup Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Hanik melanjutkan, setelah studi itu atau pada 2012-2016, ia menjadi konsultan pemberdayaan individu untuk pembangunan tempat penampungan sementara (TPS) 3R (reduce, reuse, recycle) di Lamongan dan Probolinggo. Hanik bertugas mempersiapkan program pemberdayaan masyarakat tentang pengelolaan sampah hulu ke hilir dengan memanfaatkan TPS dari Kementerian PUPR itu.
”Dari sini saya belajar bahwa untuk sekadar mengubah perilaku seseorang mau memilah sampah perlu setidaknya lima tahun dan itu pun bisa luntur,” ujar Hanik yang juga tergabung dalam Aliansi Zero Waste Indonesia.
Baca juga: Agus Nur Wahidin, Konservasi Alam lewat Festival Budaya
Dua tahun selanjutnya atau 2017-2018, Hanik dilibatkan sebagai fasilitator perencanaan, sosialisasi, pelatihan, pembinaan, dan pemberdayaan instalasi pengolahan air limbah komunal di Probolinggo dan Sidoarjo. Selain itu, mendampingi, memantau, menganalisis, dan mengevaluasi program TPS 3R Kementerian PUPR di Jatim. Artinya, konsepsi 3R atau pengurangan, guna ulang, dan daur ulang bisa berjalan dengan baik di TPS-TPS.
”Konsep 3R telah berkembang menjadi banyak R yang tujuannya ialah pelestarian demi kesinambungan kehidupan umat manusia,” kata Hanik, pegiat di Aliansi Ecobrick Indonesia. Selain 3R, lanjutnya, masih ada refill (isi ulang), replace (ganti), refuse (menolak), return (mengembalikan), regift (bingkis ulang), repair (memperbaiki), recreate (kreasi ulang), recover (memulihkan), dan rethink (pikir ulang).
Konsep 3R telah berkembang menjadi banyak R yang tujuannya ialah pelestarian demi kesinambungan kehidupan umat manusia.
Hanik meneruskan, ia juga dilibatkan sebagai fasilitator ekstrakurikuler pendidikan lingkungan, misalnya di SMP Negeri 4 Surabaya. Selain itu, bersama Pemerintah Kota Surabaya menjadi tim penilai program Surabaya Smart City untuk perkampungan setara RW (rukun warga) dalam penataan lingkungan. Di Malang Raya, Hanik juga terlibat dalam program studi sosial pengelolaan sampah serta kesiapan pasar daur ulang dan pasar kompos.
Hanik juga mendorong pengelolaan sampah pulau kecil di Gili Ketapang (Probolinggo) dan Gili Trawangan (Lombok Utara). Selain itu, Hanik dilibatkan dalam program STOP Muncar di Banyuwangi untuk melibatkan masyarakat pesisir menahan kiriman sampah daratan ke lautan. ”Bagaimana menangani sampah dengan mengelola, mengurangi, sehingga menekan buangan ke laut,” ujar satu dari tiga penulis buku Perang Melawan Sampah Plastik (2022) itu.
Perjuangan abadi
Terlibat dalam pengelolaan sampah, bagi Hanik, merupakan perjuangan abadi alias sampai mati. Itu menuntut kesetiaan dan disiplin dengan diri. Perilaku hidupnya patut menjadi contoh bahwa ia layak menyandang ”Nol Sampah”. ”Meskipun sejatinya manusia pasti menyampah, tetapi bisa diupayakan sebaik-baiknya agar menyampah sedikit,” kata Hanik.
Misalnya, Hanik selalu membawa botol minum, kotak makan atau rantang, sendok garpu atau kelengkapan makan, dan sedotan dari logam. Sebisa mungkin jika jajan, ia menikmatinya di tempat untuk menghindari penjual memberinya kemasan, terutama dari plastik. Jika memesan paket jajan atau makanan, penjual atau produsen sudah diingatkan untuk tidak mengemas dalam plastik. ”Misalnya, ada syukuran, kami pesan jajanan yang kalau harus ada bungkusnya itu dari daun atau besek,” ujarnya yang beberapa kali menulis jurnal ilmiah tentang problematika sampah plastik.
Baca juga: Gung Endah Tuti Rahayu, Perintis Ekoenzim di Kota Batu
Hanik juga mendorong lewat pemerintah untuk membuka kesempatan bagi produsen kebutuhan konsumsi menyediakan sarana isi ulang sabun, sampo, obat pel, air minum, dan makanan minuman cair sehingga mengurangi produksi kemasan plastik.
”Sejak 2009 kami menginisiasi regulasi dan akhirnya baru terwujud 2022 lalu (Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 16 Tahun 2022 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik di Kota Surabaya),” kata Hanik.
Perjuangan secara politik dengan mendorong regulasi juga baru dimulai. Komunitas menginginkan lebih banyak peraturan daerah atau setidaknya peraturan kepala daerah yang dapat mendorong aktivitas masyarakat ke arah kehidupan pengurangan sampah, terutama plastik.
Siti Umi Hanik alias Hanie Ismail
Lahir: Lamongan, 29 Juni 1979
Pendidikan:
- SD Negeri 1 Sidomulyo, Modo, Lamongan
- Madrasah Tsanawiyah Negeri Babat, Lamongan
- SMA Muhammadiyah Babat, Lamongan
- Universitas Muhammadiyah Malang
- Institut Teknologi Adhitama Surabaya
Pengalaman:
- Urban Poor Consortium
- Komunitas Nol Sampah
- Aliansi Ecobrick Indonesia
- Aliansi Zero Waste Indonesia
- Pendamping ekstrakurikuler pendidikan lingkungan di Surabaya
- Tim penilai Surabaya Smart City
- Konsultan dan fasilitator pengelolaan sampah di Jatim dan NTB