Hariman, salah satu penggerak demonstrasi mahasiswa pada 15 Januari 1974, menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang.
Oleh
NINUK M PAMBUDY
·2 menit baca
Hampir setiap tahun, Hariman Siregar (73) sebagai pendiri Indonesia Democracy Monitor atau Indemo mengadakan kegiatan diskusi mengenai demokrasi sekaligus memperingati ulang tahun Indemo. Peringatan tahun ini berbeda. Selain memperingati 24 tahun berdirinya Indemo, acara tersebut juga memperingati 50 tahun peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari).
Hariman, salah satu penggerak demonstrasi mahasiswa pada 15 Januari 1974, menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka. Demonstrasi yang berakhir rusuh itu menolak kebijakan pemerintah mengenai investasi asing yang dianggap terlalu liberal dan merugikan Indonesia.
”Kami diskusi tentang demokrasi saat ini,” kata Hariman dalam percakapan dengan Kompas, Senin (15/1/2024), di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Diskusi yang dihadiri aktivis demokrasi, petinggi partai politik, beberapa akademisi, dan tokoh masyarakat itu didahului dengan potong tumpeng yang diadakan secara sederhana.
Mengenai relevansi peringatan 50 tahun Malari dengan situasi politik dan demokrasi saat ini, Hariman mengatakan, situasi saat ini belum banyak berubah dibandingkan dengan 50 tahun lalu. Demokrasi yang kuat tersebut memerlukan jumlah kelas menengah yang besar dan kuat sebagai kontrol. ”Di Indonesia, kelas menengah ada, tetapi jumlahnya kurang dan belum kuat,” kata Hariman.
Walakin, dia tidak kecil hati. Dia tetap setia dengan cita-citanya mengawal demokrasi. Dia juga masih menjadi sosok yang ditokohkan banyak orang. Makan siang dengan menu bakso dan nasi gudeg menemani lontaran unek-unek mengenai demokrasi yang oleh sebagian orang dirasakan stagnan bahkan mundur. Semua dipercakapkan dengan terbuka di antara para pendukung ketiga capres dan cawapres.