Wariyono Melawan Narkoba dengan Buku
Wariyono ingin menjadikan buku sebagai penopang peradaban nelayan pantura Lamongan.
Dia melihat daerah pantai utara kaya sumber daya alam, tetapi miris karena banyak anak-anak usia sekolah yang tak melanjutkan belajar. Tak sedikit pula yang terjerat alkohol dan narkoba. Lewat buku, Wariyono ingin mempercantik peradaban pantura Lamongan.
Pagi itu Wariyono (49) menikmati kopi bersama dua rekannya sesama pegiat Rumah Baca Cahaya, gerakan literasi yang menyasar warga pantura. Wariyono sedang mengatur strategi ke depan untuk lebih menggairahkan gerakannya. Sebab, baru-baru saja mereka kekurangan mobilitas lantaran mobil yang biasa mereka gunakan sebagai pengangkut buku, tak leluasa lagi.
”Pemiliknya sibuk kuliah, jadi belum tentu bisa seminggu sekali,” kata Wariyono, Selasa (26/12/2023).
Wariyono yang lahir dan tumbuh di daerah pantura, terutama di dekat Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong ini, melihat bahwa perputaran uang di lokasi ini mencapai triliunan rupiah tiap tahun. Ironisnya, amat sulit menemukan buku berkualitas di daerah ini. Dengan kata lain, kesadaran membaca masih amat rendah.
”Kok ga ono juragan iwak seng sodok gendheng saitik, gelem bondo gawe buku,” kritiknya tentang ketiadaan juragan ikan yang bersedia mengeluarkan sedikit uang untuk keperluan literasi.
Wariyono ingin daerah pantura disokong oleh buku dan ikan. Dia miris dengan banyaknya remaja dan pemuda yang terjebak narkoba jenis karnopen (carnophen). Mereka yang sebagian besar pelaut itu mulanya mendapat karnopen gratis dari bandar. Setelah mengalami ketergantungan, mereka harus beli dengan uang hasil melaut yang tak seberapa itu. Ini salah satu rantai penyebab kemiskinan.
Baca Juga: Darmawan Sunarja Mendidik dengan Hati
Wariyono ingin setidaknya mereka mempunyai bacaan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa banyak kegiatan lain yang berharga daripada mabuk karnopen. Hal itu menggerakkan dia merintis perpustakaan.
Baginya, membaca bisa menyelamatkan anak muda dari narkoba. Setidaknya jika berkaca pada dirinya yang sejak belia kerap baca koran di pasar atau di kios tepi jalan. Saat kuliah ia juga rajin mengkliping artikel-artikel menarik, termasuk tulisan panjang di rubrik Bentara Harian Kompas.
Demi menjadikan buku sebagai penopang peradaban itu, sedini tahun 2007, Wariyono mendirikan Sanggar Buku Madani di sebuah kantor milik sebuah organisasi keagamaan. Dia mengumpulkan buku-buku dari beberapa kampus, seperti Universitas Muhammadiyah Gresik, Universitas Muhammadiyah Malang, dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Terkumpul tak kurang dari 200 eksemplar.
Bukunya beragam, termasuk bacaan-bacaan kiri dan Islam progresif. Perpustakaan ini hanya bertahan sekitar satu setengah tahun karena perbedaan pandangan antara Wariyono dan pimpinan organisasi keagamaan tersebut.
Wariyono, pendiri Rumah Baca Cahaya
Wariyono terus menjalankan misi penyadaran literasinya dengan cara gerilya. Gerakannya antara hidup dan mati karena kekurangan sumber daya. Hingga tahun 2017, dia bertemu David Efendi, pendiri Rumah Baca Komunitas yang berjejaring dengan Serikat Taman Pustaka. Mereka mengobrol yang salah satu hasilnya menyulut Wariyono membuat gerakan Rumah Baca Cahaya, berjejaring dengan Serikat Taman Pustaka untuk mendapat pasokan buku. Tak lama setelah itu juga berjejaring dengan Pustaka Bergerak Indonesia yang dimotori mendiang Nirwan Ahmad Arsuka.
Strategi
Wariyono yang juga pengajar ini sadar tak bisa menggerakkan Rumah Baca Cahaya seorang diri. Untuk itu dia merangkul aktivis Ikatan Pelajar Muhammadiyah di Desa Blimbing dan Brondong untuk jadi sukarelawan. Upaya ini sekaligus sebagai strategi menjauhkan mereka dari godaan narkoba.
Mereka memulai dengan menggelar terpal dan menata ratusan buku untuk dipinjamkan secara gratis kepada pengunjung Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong. Kegiatan ini mereka laksanakan dua pekan sekali di sore hari, puncak warga berkumpul setelah melaut.
Rupanya pihak pelabuhan tidak suka karena menduga Wariyono berjualan buku. Dia diminta membuat surat izin ke pelabuhan. Surat akhirnya dia kirim, tetapi tak kunjung ada balasan selama dua pekan. Wariyono terpaksa menghadap salah satu pengelola dan mengkritik, mengapa para pemasok karnopen bebas masuk sementara dia yang menyediakan bacaan gratis malah dilarang.
Akhirnya dia mendapat izin menggelar perpustakaan itu. Dalam sehari, puluhan hingga ratusan warga datang untuk sekadar memegang, membaca, atau meminjam buku.
”Buku bebas dipinjam tanpa syarat. Kalau diberi syarat macam-macam, khawatir gak ada yang baca,” kata Wariyono yang dalam sebulan bisa kehilangan hingga 100 buku karena peminjam malas mengembalikannya.
Baca Juga: Mutholibin di Balik Gerakan Literasi Tuban
Bagi dia, itu tidak masalah karena pasti ada buku yang dibaca. Lagi pula, dia selalu mendapat pasokan buku dari jaringan Serikat Taman Pustaka dan Pustaka Bergerak Indonesia. Dalam sebulan minimal 25 buku dia terima, antara lain, dari Bandung, Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Ini pula yang membuatnya berani mendekati Rukun Nelayan Brondong untuk membangun perpustakaan di markas mereka. Harapannya, setiap musim barat ketika nelayan tidak melaut, mereka bisa membaca buku, tidak hanya duduk dan merokok.
Wariyono juga membantu remaja dan pemuda yang bersedia membangun perpustakaan di daerahnya. Dia tak segan mengantar sendiri berkardus-kardus buku ke beberapa desa di sekitar Brondong seperti Desa Weru, Solokuro, dan Sumberagung. Cara ini lumayan ampuh meskipun hanya bertahan beberapa bulan dan akhirnya padam ketika pandemi Covid-19 datang. Bisa dibilang tinggal Rumah Baca Api Literasi di Solokuro yang masih bertahan.
Pandemi memang memukul mundur gerakan Wariyono, tetapi dia pantang menyerah. Selepas pandemi, dia bergerak lagi terutama karena adanya bantuan dari rekan sesama guru yang merelakan mobilnya dijadikan alat angkut buku. Akan tetapi, sejak pemiliknya kuliah S-2 secara daring, mobil ini jarang bisa dipinjam lagi.
Selain mobil, Rumah Baca Cahaya kekurangan sukarelawan. Mereka yang dulu jadi sukarelawan kini kuliah keluar daerah atau menikah sehingga sulit diganggu lagi. Regenerasi sukarelawan terhambat karena pandemi juga. Meski demikian Wariyono terus berusaha untuk menjaga nyala Rumah Baca Cahaya meskipun tidak seterang dulu.
Sebulan lalu, dia dan beberapa sukarelawan membuka perpustakaan gratis tak jauh dari muara sodetan Bengawan Solo di Desa Sedayu Lawas, Brondong. ”Lumayan ramai meskipun tidak seramai sebelum pandemi,” kata Wariyono optimistis gerakannya tak akan mati.
Wariyono
Tempat, tanggal lahir: Lamongan, 25 September 1975
Istri: Eni Muha
Anak: tiga orang
Pendidikan:
- Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah 4 Blimbing, Paciran, Lamongan
- Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah Yayasan Taman Pengetahuan (YTP) Ar-Raudlatul Ilmiyah Kertosono, Nganjuk
- S-1 Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- S-2 Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya