Mutholibin menularkan dinamika intelektual ke kampungnya hingga terbentuk Gerakan Tuban Menulis yang menerbitkan puluhan buku.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·5 menit baca
Mutholibin (35) ingin kotanya subur dengan tradisi intelektualitas seperti dua kota tempat dia kuliah, Yogyakarta dan Malang. Dia lalu menggandeng teman-temannya menggerakkan anak muda Tuban, Jawa Timur, menulis buku. Kini bukan hanya puluhan buku mereka tulis, belasan komunitas literasi tumbuh subur di Kabupaten Tuban.
Siang itu, Kamis (21/12/2023), seperti biasa, Kabupaten Tuban cerah dan panas. Mutholibin duduk menghadap laptop di teras rumah yang dia sulap sebagai perpustakaan di sebuah perumahan di Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban. Di sampingnya berdiri rak besar berisi ratusan buku. Dia lalu mengambil belasan buku yang dia tulis bersama teman-temannya. Ada juga buku karya temannya secara solo. Tema dan genre buku amat beragam, fiksi ataupun nonfiksi. Para penulisnya adalah anggota Gerakan Tuban Menulis.
”Buku-buku ini kami terbitkan secara indie. Keuntungannya kami gunakan untuk operasional Gerakan Tuban Menulis,” kata sang pendiri yang kini bekerja di bidang penerbitan itu.
Sebagian besar buku itu dia edarkan di kalangan teman-temannya di dalam dan di luar Tuban. Respons publik bagus, ada buku yang sampai cetak ulang beberapa kali dan tembus hingga 1.000 eksemplar. Ini merupakan salah satu keberhasilan dari Gerakan Tuban Menulis.
Ide pendirian Gerakan Tuban Menulis muncul ketika Mutholibin pulang kampung pada 2014 dan melihat kenyataan bahwa tidak banyak anak muda doyan membaca, apalagi menulis buku. Padahal, di Tuban tidak sedikit kampus ataupun sarjana. Hal itu bertolak belakang dengan suasana Yogyakarta, tempat dia kuliah Sejarah Kebudayaan Islam di UIN Sunan Kalijaga. Di kota ini dia menyaksikan anak-anak muda terbiasa berdiskusi di warung, kafe, ataupun kampus. Iklim diskusi dan dinamika intelektual amat terasa.
Tatkala pindah kuliah ke UIN Maulana Malik Ibrahim Malang untuk mengejar akta mengajar, dia melihat dinamika intelektualitas yang mirip, tetapi lebih ke seminar-seminar atau forum resmi.
Cari teman
Dia lalu mengumpulkan tak kurang dari 25 temannya yang lulus dari kampus terkenal, seperti Institut Teknologi Sepuluh Nopember dan Universitas Gadjah Mada, yang masih menganggur. Mereka dia ajak mendirikan Gerakan Tuban Menulis. Sebelum deklarasi, dia menguji ketertarikan pelajar terhadap literasi dengan mendatangi sekolah-sekolah di 20 kecamatan di Tuban untuk mengabarkan tentang kelas menulis bagi pemula.
Mutholibin presentasi di depan kelas untuk meyakinkan bahwa kelas menulis yang dia adakan akan sangat membantu pelajar. Tak lupa dia membuat proposal untuk meyakinkan pihak sekolah.
Kelas itu terselenggara pada 22 Januari 2015 yang diikuti oleh tak kurang dari 250 peserta. Jumlahnya di luar dugaan. Setelah acara selesai, dia mendeklarasikan Gerakan Tuban Menulis. Pada Hari Buku Sedunia 23 April 2015, Mutholibin mendeklarasikan ulang gerakannya itu dengan mengundang beberapa pemangku kepentingan dari Pemerintah Kabupaten Tuban serta perwakilan beberapa kampus, seperti dari Universitas Ronggolawe, Universitas Sunan Bonang, dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Makhdum Ibrahim (STITMA) Tuban, dan beberapa pegiat teater.
Mereka membuat performance art, termasuk mengajak serta barongsai dari kelenteng Kwan Sing Bio. Mereka juga membawa alat tata suara untuk menyuarakan pentingnya membaca dan menulis buku. Sebuah kampanye literasi yang atraktif.
Setelah deklarasi itu, Mutholibin berpikir tidak mungkin hanya ada pembaca buku di Tuban. Untuk itu dia menjajaki seberapa besar jumlah penulis di sana dengan menggelar lomba menulis. Hadiahnya tidak terlampau besar karena memang mereka tidak punya banyak dana. Biaya hanya hasil urunan antaranggota Gerakan Tuban Menulis.
Rupanya pengikut lomba ini lumayan banyak sehingga karya mereka bisa dicetak dalam dua buku, yakni kumpulan cerpen Cahaya di Ujung Pantura dan kumpulan esai Tubanku, Tubanmu, Tuban Kita. ”Ini menjadi karya awal dari Gerakan Tuban Menulis,” kata Mutholibin.
Selama empat tahun, komunitas ini rajin menggelar tadarus buku keliling dari rumah ke rumah anggotanya. Bukunya bebas sesuai dengan kegemaran pemilik rumah atau sang pembedah. Boleh buku kiri, sejarah, cerpen, atau buku beraliran kanan. Cara ini memperkaya wawasan anggota komunitas. Bahkan, mereka bisa lebih paham tentang hal yang awalnya tidak disukai, misalnya penyuka bacaan-bacaan kiri yang tak begitu minat dengan bacaan beraliran kanan.
”Kita pernah kedatangan teman yang suka film. Besoknya kita tawarin tentang alur pembuatan film. Muncul lah videonya di Youtube,” kata Mutholibin yang menunjukkan hasil karya itu berupa video tentang kritik sosial.
Dari tadarus itu mereka melebarkan sayap ke warung-warung kopi. Kadang-kadang mereka mendatangkan penulis atau pembicara tersohor untuk menularkan ilmunya kepada anggota Gerakan Tuban Menulis. Salah satunya adalah Soesilo Toer, adik sastrawan Pramoedya Ananta Toer.
Sering kali diskusi di warung-warung kopi ini dibarengi dengan selawatan dengan iringan rebana. Ini untuk mengalihkan pantauan petugas intelijen yang kerap ikut nimbrung untuk memata-matai.
Seiring kajian itu, Gerakan Tuban Menulis membuat situs yang berisi laporan kegiatan serta info buku baru. Domain mereka akhirnya mati karena telat bayar saat pandemi. Padahal, view-nya cukup menjanjikan, sehari bisa sampai 5.000 view. Selain itu, mereka menggencarkan penulisan buku dengan target setiap tahun harus ada buku baru. Sekarang ini sudah ada 25 judul buku yang mereka terbitkan.
Pada saat bersamaan, Mutholibin dan rekan-rekannya itu menguatkan kelompok-kelompok literasi di beberapa kecamatan di Tuban. Mereka diajak kumpul untuk berdiskusi dan didampingi mengembangkan komunitas. Karya-karya mereka ditampung untuk ikut diterbitkan. Dari sana muncul sedikitnya 30 penulis yang sudah punya karya. Ketika kelompok-kelompok itu cukup mapan, Mutholibin mengajak gelaran Tuban Darurat Membaca dengan mengadakan membaca buku selama 30 jam di GOR Rangga Jaya Anoraga, Tuban.
Kini Gerakan Tuban Menulis bergeser bukan lagi sebagai penggerak, melainkan membantu membangun jejaring komunitas-komunitas yang telah terbentuk tadi. Gerakan Tuban Menulis telah menjadi contoh bahwa gairah literasi bisa muncul di mana saja, termasuk di wilayah yang pelan-pelan menjadi kota industri seperti Tuban.