Sri Hartini, Pejuang Tenun Pringgasela Selatan
Sri Hartini adalah kepala sekolah tenun yang lahir sebagai upaya menjaga regenerasi penenun di Pringgasela.
Sri Hartini (45) mendedikasikan diri untuk kelestarian tenun Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Ia mencurahkan waktu, tenaga, dan pikirannya agar tenun di Pringgasela Selatan tetap hidup dan agar penenun hidup lebih sejahtera.
Kompas bertemu dengan Sri dalam persiapan rangkaian Festival Dongdala yang berlangsung di Pringgasela Selatan, 19-21 Desember 2023. Festival Dongdala adalah festival yang menampilkan kekayaan budaya dan ketahanan pangan berbasis tradisi di Pringgasela Selatan, sekitar 50 kilometer timur Mataram, ibu kota NTB.
Festival itu menjadi salah satu bagian dari Pemajuan Kebudayaan Desa, program prioritas Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Dalam dunia tenun, Sri bukan orang baru. Ia lahir dan tumbuh besar di keluarga penenun. Nenek dan ibunya adalah penenun. Bahkan, neneknya dijuluki ”pendekar tenun” atau perempuan dengan keahlian menenun tinggi.
Sri mulai menenun di usia 15 tahun atau saat duduk di bangku kelas III SMP. Saat itu, sang ibu benar-benar mendorongnya untuk bisa menenun. Bahkan, tidak segan memukul hingga mencubit tangannya jika salah. Pada masa itu, anak gadis di Pringgasela memang wajib menguasai tenun, keterampilan menenun itu dipelajari seusai sekolah.
Baca Juga: Permainan Tradisional Selodor dan Balap Terompah Meriahkan Festival Dongdala
”(Pesan ibu), ya, kamu harus bisa (menenun). Manfaatnya mungkin besar sama kamu. Ternyata betul. Luar biasa sekali manfaatnya. Pukulan dan cubitan itu banyak sekali berkahnya,” kata Sri, Minggu (17/12/2023).
Menurut Sri, sejak mulai menenun, ia bisa mandiri secara ekonomi, seperti membiayai sekolah dan kebutuhan pribadi sehingga tidak merepotkan orangtua. Dari bayaran menenun Rp 150.000 saat masih SMP, ia kini bisa mengantongi omzet hingga Rp 5 juta per bulan.
Setelah belasan tahun menenun, Sri akhirnya sampai pada titik ketika ia tidak ingin semata mengejar manfaat ekonomi dari tenun untuk diri sendiri, tetapi bagaimana orang lain juga bisa merasakan hal yang sama. Ia juga mulai menyadari menenun adalah ikhtiar untuk melestarikan budaya sehingga regenerasinya tidak boleh terputus.
Maka, pada Maret 2017, melalui pendampingan dari Gema Alam, salah satu lembaga swadaya masyarakat di Lombok Timur, Sri membentuk Kelompok Nina Penenun (Nina dalam bahasa Sasak berarti perempuan. Huruf a dibaca e seperti pada kata tenun). Di awal, kelompok ini beranggotakan 25 perempuan penenun.
”Kita buat kelompok dengan pendampingan Gema Alam karena melihat ibu-ibu penenun ini punya persoalan dari sisi pemasaran,” kata Sri yang juga Ketua Kader Pringgasela Selatan.
Menurut Sri, rata-rata perempuan penenun dalam kelompok tersebut tidak bisa mengoperasikan telepon pintar sehingga tidak tahu harus menjual ke mana. Pilihan satu-satunya adalah menjual ke pengepul yang membeli tenun mereka dengan harga murah.
”Ibu-ibu ini, kan, jadi tenunnya lalu dijual. Namun, dia tidak memperhitungkan harga bahan pokoknya. Dia jual semau-maunya. Tidak mikir untung atau rugi. Yang penting laku dan bisa makan. Kadang bisa jual Rp 300.000, tetapi kalau kepepet sampai Rp 200.000, bahkan Rp 150.000. Kadang-kadang, belum jadi, sudah dikasih uang,” papar Sri.
Menurut Sri, pola pikir itu tidak menyelesaikan masalah. Justru melahirkan masalah baru. Saat akan menenun lagi, para penenun perempuan itu tidak punya uang untuk membeli bahan. Dengan demikian, mereka terjerat rentenir. ”Akhirnya, mereka pusing memikirkan setoran. Ditambah lagi capek menenun,” kata Sri.
Sri mengatakan, awalnya tidak mudah mengajak perempuan penenun itu masuk ke dalam kelompok. Mereka menduga ajakannya itu hanya akal-akalan, misalnya membuat proposal demi keuntungan pribadi. ”Namanya orang tua, ya. Tidak bisa secepat itu juga memberikan pemahaman yang langsung diterima. Akan tetapi, kami tidak pernah putus asa,” kata Sri.
Meski sulit, Sri berhasil mengubah pola pikir para perempuan penenun agar tidak sembarang menjual tenun mereka. Para penenun akhirnya paham soal berapa harga semestinya untuk tenun mereka, yakni mulai Rp 400.000 hingga lebih dari Rp 1 juta per helai. Dengan demikian, sesuai dengan modal dan tenaga yang mereka keluarkan.
Upaya itu cukup membawa angin segar bagi para penenun yang tergabung dalam kelompok Nina Penenun. Dengan produksi sekitar 40 helai tenun setiap hari, mereka tidak hanya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga untuk kebutuhan lain, seperti menyekolahkan anak. Bahkan, ada yang sampai sarjana.
Tidak hanya penenun yang kemudian menjadi anggota kelompoknya, Sri juga merangkul para pengepul. Sebagian pengepul itu juga menjadi penenun. Mereka sama-sama tinggal di Kecamatan Pringgasela. ”Kami kumpulkan. Diberikan pemahaman bagaimana jika mereka yang berada di posisi penenun (anggota kelompoknya), lalu produknya dibeli dengan harga yang tidak sesuai. Akhirnya, lama-lama mereka juga sadar,” tutur Sri.
Sri memang tidak selalu menampung produk tenun anggotanya. Akan tetapi, ia membuka jalan untuk pemasaran, baik lewat promosi dan penjualan di media sosial maupun jaringannya.
”Pemasaran juga jadi lebih bagus karena sekarang pemerintah Lombok menginstruksikan penggunaan kain tenun. Lalu anak-anak SMA juga diharuskan oleh kepala sekolahnya setiap Jumat menggunakan kain londong (sarung tenun),” kata Sri.
Para penenun yang bergabung dalam Kelompok Nina Penenun juga mendapat berbagai dukungan dari pihak luar, seperti UNESCO selama dua tahun. Dukungan itu mewujud dalam peralatan ataupun peningkatan kapasitas anggota.
Saat ini, dari 25 orang di awal, anggota Kelompok Nina Penenun bertambah menjadi lebih dari 40 orang. Meski demikian, Sri mengaku tegas dalam merekrut anggota baru. Ada syarat yang harus dipenuhi. Misalnya, kejujuran penenun terkait pewarna dan bahan baku yang digunakan.
Pernah suatu kali, kain tenun milik kelompoknya dikembalikan karena dianggap pewarnaannya campuran atau tak sesuai dengan klaim awal, yakni alami. Dari peristiwa itu, kelompok Nina Penenun pun mengambil pelajaran berharga bahwa kejujuran itu penting untuk mendapatkan kepercayaan.
Sekolah tenun
Sejalan dengan Kelompok Nina Penenun, Sri juga menginisiasi sekolah tenun. Sekolah ini juga dimulai pada 2017 saat Kelompok Nina Penenun kedatangan tamu pelajar dari Jakarta. Pelajar itu datang untuk melihat proses pembuatan tenun.
”Setelah itu, datang juga adik-adik pelajar dari sekolah-sekolah Lombok Timur. Mereka juga ingin melihat bagaimana proses pembuatan tenun dari awal sampai menjadi sebuah kain,” kata Sri.
Sekolah tenun tersebut berada di wilayah Gubuk Lauk, tepatnya di tempat tinggal Sri. Gubuk Lauk memang menjadi sentra tenun di Pringgasela Selatan. Di sana, ada lebih dari 600 penenun.
Saat ini, sudah ada 25 anak perempuan yang belajar tenun di Sekolah Tenun Nina Penenun. Mereka berasal dari wilayah Pringgasela Selatan. Adapun pengajarnya berjumlah tujuh orang yang juga penenun dan anggota kelompok Nina Penenun.
Kegiatan sekolah tenun berlangsung setiap akhir pekan, Sabtu-Minggu mulai pukul 14.00 hingga 17.00. Akhir pekan dipilih agar tidak mengganggu waktu belajar anak-anak yang sebagian besar masih duduk di bangku SD hingga SMP. Peserta termuda bahkan berusia delapan tahun.
Selama tiga jam, para peserta sekolah tenun belajar seluruh proses menenun. Mulai dari nenasin atau membasuh benang dengan air ketan dan menjemurnya, memuyun atau menggulung dalam bentuk bola-bola kecil, hingga rane atau menyusun motif.
Setelah motif terbentuk, mereka juga belajar nyusuk suri atau memasukkan benang ke sisir dari bambu satu per satu. Baru dilanjutkan dengan menggulung benang tersebut dan dipasang di alat tenun. Terakhir mereka belajar tenun hingga selesai.
Para pelajar memang diajarkan seluruh proses menenun. Tujuannya agar peserta tidak hanya paham satu saja, tetapi seluruh proses. Dengan demikian, regenerasi tidak hanya pada nensek atau menggunakan alat tenun, tetapi juga proses lainnya.
Selain itu, mereka juga diajarkan motif dan filosofinya. ”Tetapi, di awal, mereka harus belajar dulu prosesnya. Setelah benar-benar bisa dengan praktik, baru belajar filosofi. Tujuannya, kalau ada orang berkunjung dan mereka ditanya, setidaknya bisa menjelaskan,” kata Sri.
Menurut Sri, seluruh kegiatan di sekolah tenun gratis. Bahan baku dan alat-alat yang digunakan selama kegiatan belajar mengajar disediakan oleh Kelompok Nina Penenun. Termasuk para mentornya.
Baca Juga: Tenun, Warisan Leluhur yang Menghidupi Banyak Warga NTB hingga Kini
”Bahkan, kami memberikan uang transportasi bagi para peserta. Jumlah tidak seberapa, tetapi setidaknya bisa membuat mereka lebih bersemangat. Para mentor juga dapat semacam honor narasumber,” kata Sri.
Biaya untuk kebutuhan itu, kata Sri, berasal dari anggaran yang dialokasikan melalui dana desa. ”Kami memang selalu berkoordinasi dengan pemerintah desa setiap ada kegiatan. Mereka selalu mendukung dengan memberikan bantuan anggaran, termasuk saat kami mengajukan program sekolah tenun,” kata Sri.
Anggaplah sebagai ibadah. Kita mungkin gak bisa berbuat dengan uang, tetapi bisa dengan tenaga.
Menurut Sri, memang semangat anak-anak peserta turun naik. Ada yang kadang tidak datang. Namun, Sri dan mentor lain tidak memaksa mereka. Paling hanya menginformasikan kepada orangtuanya. ”Kami juga memotivasi anak-anak yang masih tetap tinggal agar selalu konsisten. Kalau (belajar) setengah-setengah, keluar masuk, tidak ada hasilnya,” kata Sri.
Sri mengakui jika pemberdayaan masyarakat itu tidak mudah. Kadang ia merasa capek, sedih, juga tidak lepas dari cacian orang lain.
Akan tetapi, menurut Sri, ia tidak peduli apa yang orang lain katakan. Baginya, yang terpenting adalah masyarakat, terutama anggota kelompok, bisa melihat dan merasakan hasilnya. ”Anggaplah sebagai ibadah. Kita mungkin gak bisa berbuat dengan uang, tetapi bisa dengan tenaga (lewat tenun),” kata Sri.
Begitu juga dengan sekolah. Menurut Sri, yang memimpikan punya gedung sekolah yang lebih representatif, ia terus bersemangat agar budaya tenun di kampung kelahirannya lestari. Hal itu sejalan dengan moto sekolahnya ”Lamun Ndek Ta Belajar Lekan Nengka, Punah Tenun Ta” yang berarti kalau tidak belajar dari sekarang, tenun kita akan punah.
”Dampaknya, kalau dia sudah tidak ada yang meneruskan, tidak ada regenerasinya, pasti (tenun) akan punah,” kata Sri.
Sri kini memegang peran sebagai Pejuang Tenun Pringgasela Selatan. Namun, ia berharap, lewat sekolah tenun, bisa melahirkan pejuang-pejuang tenun lainnya.
Profil
Nama: Sri Hartini
Tempat dan Tanggal Lahir: Pringgasela, 1 Juli 1978
Pendidikan Terakhir: SMAN 1 Masbagik