Asmariah, Penjelajah Literasi dari Temon
Asma pernah terlibat dalam gerakan literasi penghuni lapas narkotika. Tujuannya, mengalihkan mereka menjadi sakau buku.
Kegemaran membaca membawa Asmariah (46) bertemu dengan orang-orang yang tak terduga, mulai penghuni panti asuhan, aktivis literasi, hingga napi. Dari situ, ia sadar buku bisa menjadi jembatan untuk menjalin persaudaraan dengan siapa saja.
Belasan tahun sudah Asma menjadi aktivis gerakan literasi. Dimulai dari Taman Baca Temon Pandowoharjo yang ia dirikan bersama suaminya di Sleman, DI Yogyakarta, Asma kemudian menjelajah bersama buku ke pelosok-pelosok daerah di Indonesia. Dari situ ia bersua dengan banyak orang yang tidak terpikirkan sebelumnya, termasuk para napi dan tahanan penghuni Lapas Narkotika di Jalan Kaliurang, Yogyakarta.
Kesempatan ini muncul ketika Kemenkumham menggandeng komunitas literasi di Yogyakarta untuk menjalankan gerakan literasi di kalangan napi dan penghuni Lapas Narkotika. Bersama aktivis Pustaka Bergerak Indonesia di Yogyakarta, Asma mengajarkan para penghuni lapas menulis puisi, cerpen, dan membuat poster. Ternyata yang berminat banyak, lebih dari 50 orang.
Lewat tulisan, para penghuni lapas bisa curhat tentang apa saja, termasuk rasanya hidup di dalam tembok penjara. ”Kisah mereka sangat menyentuh dan bisa jadi pelajaran bagi siapa saja,” kata Asma ketika mampir ke Bentara Budaya Jakarta, Jumat (15/12/2023) sore.
Baca juga: Ali Wong, Tawa Segar di Hollywood
Selain mengajarkan menulis sastra, Asma dan kawan-kawan mendirikan perpustakaan untuk penghuni Lapas Narkotika. Mereka isi perpustakaan itu dengan buku-buku sumbangan dari donatur. ”Prinsipnya kami ingin mengalihkan mereka dari sakau narkoba ke sakau buku,” ujar Asma.
Sambil menyantap bakmi goreng, Asma menceritakan, kehadiran perpustakaan itu disambut gembira penghuni lapas. ”Dengan membaca buku, mereka yang terkurung di penjara pun merasa merdeka dan bisa ’melihat dunia’,” kata Asma yang mesti menjalani pemeriksaan ketat ketika keluar masuk lapas itu.
Sayangnya, program yang berlangsung beberapa tahun yang lalu itu terhenti ketika pandemi Covid-19 merebak sejak 2020. ”Kami bersama Kemenkumham berencana menghidupkan lagi program itu pada 2024,” tambah Asma.
Baca juga: Amanda Nell Eu, Menyuburkan Perspektif Perempuan
Selain lapas narkotika, Asma juga ikut mendirikan atau menyokong taman baca di sejumlah panti asuhan dan kampung, termasuk di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar Indonesia (3T). Setiap bulan, ia bisa mengirimkan sekitar 50 kardus buku sumbangan donatur ke 50 lokasi yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia.
Saya percaya semesta akan bekerja setelah kita sungguh-sungguh bekerja dan memperlihatkan hasilnya.
Untuk menjalankan gerakan literasi itu, termasuk di lapas, Asma dan kawan-kawan sering kali harus merogoh isi kantong sendiri. ”Kami tidak mendapat honor atau bayaran. Makanya kami sering dianggap gila karena punya aktivitas seperti ini. Ya… jiwa relawan itu kan panggilan. Tidak semua harus diukur dengan uang,” kata Asma yang berjejaring dengan ribuan aktivis Pustaka Bergerak Indonesia dan komunitas literasi lainnya.
Meski begitu, lanjut Asma, ada saja orang-orang baik yang mendonasikan uang atau buku. ”Saya percaya semesta akan bekerja setelah kita sungguh-sungguh bekerja dan memperlihatkan hasilnya.”
Dendam lama
Asma lahir dan tumbuh di Serang, Banten. Sejak kecil ia senang membaca buku apa saja. Masalahnya, orangtuanya tidak bisa membelikannya buku. Terlebih setelah ayahnya meninggal saat Asma duduk di kelas V SD, kehidupan terasa lebih sulit. Untuk memenuhi hasrat membaca, ia hanya bisa mengandalkan kios penyewaan buku di dekat rumahnya. Buku yang ia sewa bisa ia baca berulang-ulang hingga ia lupa waktu pengembalian buku sudah lewat. Maka, ia pun sering kena denda.
Pada suatu hari ketika ia ”sakau” membaca, tidak ada sama sekali buku bacaan yang tersedia. Ia nekat mencuri buku temannya. Ia malu sekali lantaran sang teman tahu Asma mencuri bukunya. ”Kejadian itu membuat saya ‘dendam’. Suatu hari kalau saya punya banyak buku, saya akan membagikan kepada orang lain. Jangan sampai orang lain mengalami nasib seperti saya.”
“Dendam” Asma ternyata dicatat oleh semesta. Ketika dewasa ia berjodoh dengan Supriyadi, perantau asal Yogyakarta, yang juga penggemar buku. Bersama suami ia rajin membeli buku dan berkunjung ke komunitas baca di Serang, Banten.
Namun, mimpinya untuk berbagi buku baru bisa diwujudkan ketika mereka pindah ke Temon Pandowoharjo, Sleman, DI Yogyakarta. Buku koleksi mereka berdua, mereka pinjamkan kepada tetangga secara gratis. ”Awalnya kebanyakan pinjam Al Quran. Lama-kelamaan pinjam buku lain.”
Hari berganti, tetangga yang meminjam buku bertambah banyak. Asma dan Supriyadi akhirnya membuka Taman Baca Temon Pandowoharjo di rumahnya sekitar 15 tahun yang lalu. Awalnya, mereka berdua mengusahakan sendiri buku-buku koleksi taman baca itu. Belakangan, Asma mencoba mencari donasi buku ke jaringan Pustaka Bergerak Indonesia, penerbit buku, teman-teman, dan pemerintah. Usahanya berhasil. Saat ini, taman baca itu memiliki sekitar 6.000 buku, mulai buku agama sampai sastra.
Jaringan gerakan literasi itu tidak hanya memberi Asma buku, tetapi juga membuka pintu baginya untuk terlibat dalam gerakan literasi secara lebih luas. Kini, ia termasuk salah satu aktivis yang paling rajin menjelajahi berbagai daerah untuk kepentingan literasi. Sebulan terakhir ini, kata Asma, ia berkunjung ke beberapa kota di Sumatera, seperti Bintan, Jambi, Pekanbaru, dan Padang untuk bertemu dengan para pegiat literasi.
Bulan-bulan sebelumnya, ia menjelajahi kota-kota di Sulawesi selama hampir satu bulan, kemudian terbang ke Singapura untuk keperluan yang sama. Dia lupa berapa banyak kota dan desa yang ia sudah datangi dalam lima tahun terakhir ini. Sudah terlalu banyak.
”Yang paling jauh daerah di Nusa Tenggara Timur,” ujar Asma yang juga menulis puisi dan membukukannya dalam antologi puisi bersama teman-teman.
Karena sering bepergian, Asma sering pula meninggalkan keluarganya di Sleman. ”Enggak masalah. Saya sudah dapat SIM kok dari suami: surat izin menjelajah, ha-ha-ha,” katanya diiringi derai tawa.
Asma menyebut kunjungannya ke kantong-kantong literasi sebagai ”jelajah literasi”. Kunjungan seperti ini ia anggap sebagai kunjungan keluarga karena semua aktivis literasi ia anggap saudara. Bersama mereka, Asma berbagi buku, pengetahuan, dan pengalaman demi memperkuat gerakan literasi di seluruh pelosok Indonesia.
”Saya sangat beruntung terlibat dalam gerakan literasi. Saya mendapat banyak sekali pengalaman yang tidak bisa dinilai dengan uang,” tambahnya.
Asma masih akan terus melanjutkan penjelajahannya ke berbagai daerah. Ia mungkin akan bersua dengan orang-orang yang tidak ia duga sebelumnya dan menjadi saudara dalam gerakan literasi.
Asmariah Supriyadi
Lahir: Serang, Banten 21 Agustus 1977
Suami: Supriyadi
Anak: satu orang
Pendidikan: SMEA 17 Serang
Karya buku sastra antara lain:
- Berangkatlah Kata-kata (2022)
- Perempuan Penabuh Subuh (2023)
- Sejumlah antologi puisi bersama penulis lain