Lola Amaria Mekar di Balik Layar
Lola Amaria kini sibuk jadi produser atau sutradara. Filmnya kerap bertema serius. Namun, ia yakin film adalah media edukasi yang bisa mengubah paradigma publik.
Tahun ini menandai tahun ke-17 Lola Amaria (46) debut sebagai sutradara dan produser lewat film Betina (2006). Ia merasa lebih nyaman ada di balik layar setelah bertahun-tahun jadi sorotan kamera. Di balik layarlah, jati dirinya sebagai pembuat film kian mekar.
Pilihan Lola jatuh pada kopi panas tanpa gula dan singkong goreng sebagai teman mengobrol pada Kamis (14/12/2023) siang di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Obrolan mengalir begitu saja bahkan sebelum kopi dan singkongnya tiba. Obrolan siang itu lepas, ngalor-ngidul, lalu tiba-tiba jadi seru dan dalam.
Bermula dari chit-chat soal film Eksil (2022), Lola merasa prihatin benar dengan generasi baru yang tak tahu sejarah. Dulu, generasi X hingga milenial tahu sejarah hanya dari apa yang diajarkan di sekolah. Jika terlalu banyak bertanya, akan dimarahi atau dibilang, ”Pokoknya, ya, begitu. Harus nurut.”
Tak ada ruang untuk berpikir sedikit lebih kritis, lebih-lebih jika mau tahu soal sejarah dari perspektif lain, seperti sejarah peristiwa 1965. Lola menelan penasaran selama bertahun-tahun. Saat kuliah hubungan masyarakat di Interstudi pada tahun 1990-an, barulah pertanyaan Lola terjawab satu per satu.
Ia berterima kasih betul kepada temannya yang meminjamkan ”buku-buku langka” yang mesti dibaca dengan hati-hati. Lingkaran pertemanannya pun membawa Lola berkenalan dengan para eksil di Benua Biru. Perkenalan ini ibarat menemukan potongan puzzle sejarah yang hilang.
Para eksil ini dulu mahasiswa Indonesia yang dikirim untuk kuliah ke luar negeri di era Presiden Soekarno. Politik negeri lalu bergejolak di tahun 1965. Mereka yang hanya tahu belajar buat membangun negeri ikut terseret dan menjadi eksil, orang buangan rezim.
”Bayangin enggak, sih, perencana keuangan, ahli IT, dan ahli-ahli lain bekerjanya hanya sebagai penjaga perpustakaan atau penjaga kamar mayat? Itu berpuluh-puluh tahun. Enggak gila aja sudah bagus,” ucap model sampul majalah Femina tahun 1997 ini. ”Mereka mengalami penderitaan psikis yang beda. Di Indonesia diusir, di Eropa enggak diterima.”
Mereka mengalami penderitaan psikis yang beda. Di indonesia diusir, di Eropa enggak diterima.
Kisah 10 eksil dibungkus rapi oleh Lola lewat film Eksil yang tayang perdana di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) pada 2022. Film ini mendapat Piala Citra sebagai Film Dokumenter Panjang Terbaik, dan menang di Festival Film Dokumenter (FFD) pada Indonesia Feature-Length Competition.
Sebelumnya, Lola butuh waktu hingga setahun untuk mendekati para eksil. Mereka yang mulanya ramah berubah sengit saat tahu Lola ingin memfilmkan eksil. Lola dikira intel.
Lola tak mau mundur. Ia tahu ini puzzle yang mesti digenapi. Publik, utamanya generasi muda, harus tahu sejarah negara mereka yang sebenar-benarnya.
Kawan Lola di luar negeri lantas bersedia membantu melobi para eksil. Lola pun tak bosan mengirim berbagai karya filmnya untuk meyakinkan mereka. Satu per satu eksil akhirnya membuka diri, bahkan Asahan Aidit yang semula menolak mentah-mentah diwawancara.
Baca juga: Eksil, Mereka yang Dipaksa Terasing
Sepuluh tahun
Eksil digarap sejak 2013 dan butuh waktu hampir 10 tahun untuk selesai. Ada saja tantangan untuk menyelesaikannya. Saat dunia terhenti karena pandemi Covid-19, barulah Lola dan tim bisa menggarap Eksil hingga tuntas.
Footage 80 jam dipangkas menjadi 118 menit dengan bantuan sutradara Shalahuddin Siregar. Lola minta Shalahuddin membantunya menyunting dan merampungkan Eksil. Shalahuddin menyanggupi asal diizinkan ”bertapa” bersama footage ini sendirian. Lola setuju saja karena sadar bahwa sebagai sutradara Eksil, Lola kadang banyak maunya.
Film yang anggarannya bisa sampai miliaran rupiah ini akhirnya selesai. Film ini begitu dinantikan hingga penonton tumpah ruah saat pemutaran di FFD, Yogyakarta. Banyak penonton tak dapat tiket. Ada pula yang akhirnya diizinkan masuk dan duduk ngemper di lantai bioskop.
Walakin, film ini belum juga dapat jadwal tayang di bioskop. Lola bahkan sudah mengirim surat ketiga untuk pihak bioskop, hitung-hitung momentumnya pas setelah menang Piala Citra.
Bicara soal hitung-hitungan, Lola sadar benar film-film yang ia produksi bukan film bertema ringan. Filmnya banyak bicara tentang kemanusiaan, kesetaraan jender, isu perempuan, toleransi, hingga isu sosial, politik, dan budaya. Lola tahu film yang bagi sebagian orang tak menghibur ini tidak bisa berumur panjang di bioskop. Ia tak bergeming dan ingin terus berkarya lewat Lola Amaria Production, rumah produksinya.
”Film itu seperti artefak, arsip, atau benda berharga yang kita bisa lihat lagi, tonton lagi di 10, 20, 30 tahun lagi,” tutur perempuan yang hobi membaca ini. ”Ketika 30 tahun kemudian kita punya kasus yang sama, tapi kok 30 tahun lalu ada filmnya. Ini kasusnya jalan di tempat!”
Adapun ia pernah memproduksi antara lain film Negeri Tanpa Telinga (2014) yang bicara soal politik. Ada lagi Minggu Pagi di Victoria Park (2009) tentang pekerja migran perempuan di Hong Kong, dan Kisah Tiga Titik (2013) tentang masalah ketenagakerjaan dari kacamata buruh perempuan.
Di balik layar
Kendati sudah mapan di balik layar sebagai sutradara dan produser, bukan berarti Lola berhenti berakting. Ia hanya belum ketemu peran yang cocok untuk dimainkan.
Sambil menunggu peran—jika ada yang sesuai—Lola mengingat-ingat lagi kehidupan saat ia masih aktif jadi aktris. Perhatian publik tersorot ke seluruh tindak tanduknya. Ia pun tak nyaman karena selalu harus tampil paripurna. Pakai sandal jepit jadi tak bisa, menongkrongdi luar pun tak tenang karena ada saja yang mengenali dia.
”Teman-teman dekatku pasti tahu kalau ada yang datang dan bilang, ‘Mbak Lola, ya?’. Mereka bilang, ‘Bukan! Bukan! Ini mirip aja!’ Sering banget kayak begitu,” katanya tertawa.
Saat wawancara ini berlangsung pun, sejumlah tamu restoran mencuri pandang ke meja kami. Entah mereka tahu siapa yang ditatap atau tidak.
Walau wajahnya sudah lama tak muncul ada di layar, nama Lola kerap muncul dalam jejeran credit film. Namanya juga menjadi salah satu nominasi Sutradara Terbaik FFI 2010. Ia juga meraih penghargaan antara lain sebagai Best innovation Director di NETPAC AWARD (2006), Young Asian Director di Seoul International Film Festival (2007), dan Best Director di Bali International Film Festival (2010 dan 2014).
Banyak yang bilang penghargaan itu bonus dari kerja keras. Namun, Lola meyakini bahwa ia bisa membawa perubahan kecil lewat film. Dan dari filmlah paradigma masyarakat bisa diubah.
Film Eksil pun menyimpan mimpi serupa. Lola tak menampik dirinya dihinggapi ketakutan saat merilis Eksil. Ia sadar benar filmnya sangat mungkin ”dipantau”. Bahkan ada masa Lola membuat salinan footage dan menitipkannya di luar negeri kalau-kalau footgae-nya tak boleh masuk Tanah Air.
Lola juga membaca undang-undang untuk tahu haknya. Dari situ pula, ia tahu filmnya aman karena tidak memprovokasi masyarakat, apalagi melawan pemerintah.
Para eksil kini sudah amat tua. Mereka menitipkan kisah ini ke tangan Lola. Dengan ini pula, Lola melipat ketakutannya.
”Ketakutan itu memang kayak warisan,” ujarnya. ”Tapi, justru dari ketakutan-ketakutan itulah muncul keberanian. Mau sampai kapan takutnya?”
Lola Amaria
Kelahiran: Jakarta, Juli 1977
Pendidikan: Interstudi
Film, antara lain:
- Novel Tanpa Huruf R (2003)
- Betina (2006)
- Detours to Paradise (2009)
- Sanubari Jakarta (2012)
- Kisah 3 Titik (2013)
- Inerie (2014)
- Negeri Tanpa Telinga (2014)
- Jingga (2016)
- Labuan Hati (2017)
- 6,9 Detik (2019)
- Calon Pengantin (2020)
- Riuh (2020)
- Eksil (2022)