Laleilmanino: Populer Via Pop
Sebentar lagi, tiga serangkai Laleilmanino menjejak 10 tahun berkarya bersama. Rangkuman lagu-lagu pop ciptaannya menemani hari-hari banyak tua ataupun muda.
Kepiawaian Arya Aditya Ramadhya atau Lale (36), Ilman Ibrahim Isa atau Ilman (34), dan Anindyo Baskoro atau Nino (36) meramu nada, meracik lirik, dan hasrat belajar melalui kolaborasi pada akhirnya mengantarkan mereka pada pintu-pintu lain yang tak berbatas. Mereka mengerjakan yang disukai dan diketahui dari hati. Mereka menjadi teman melalui musik bagi yang bergembira, jatuh cinta, patah hati, sampai berani bangkit lagi.
Alih-alih bersua di Jakarta, janji jumpa dengan ketiga pria yang andal dalam mengolah lirik dan musik ini justru terlaksana di Yogyakarta. Pertemuan ini bertepatan dengan perilisan film pendek yang berasal dari lagu ciptaan mereka bertajuk ”Rapsodi” di Jogja-Netpac Asian Film Festival.
”Ini kami sudah enggak ketemu tiga minggu. Ini kami baru ketemu lagi di Yogya nih,” ujar Ilman yang baru saja tiba di Yogyakarta, Rabu (29/11/2023). Kebetulan Ilman berangkat terpisah dari Lale dan Nino. Ia memilih moda kereta api, sekaligus menjajal kereta suite class kompartemen.
”Naik pesawat, baling-baling kan ya tadi mereka. Ha-ha-ha. Gue naik kereta saja deh. Tapi ini kursinya pake kursi pijet dong. Asli enak, bisa disetel juga. Bisa tidur banget,” tutur Ilman antusias mengenai pengalaman pertamanya dengan kereta kompartemen.
Sementara itu, Lale dan Nino juga mendarat di Bandara Adisutjipto di waktu yang tak jauh berbeda sehingga mereka tetap datang berbarengan. Ketiganya pun menyempatkan memesan makan terlebih dahulu untuk makan siang. ”Makan dulu saja ya. Lapar banget,” kata Nino sembari tertawa.
Baca juga: Maliq & D’Essentials dan Pop Hari Ini
Memasuki akhir tahun, kesibukan ketiganya memang tak terbendung. Lale dan Ilman tampil bersama bandnya, Maliq & D’essentials. Nino dipenuhi jadwal naik panggung bersama RAN. Bolak-balik Jakarta dari kota lain dilakoni ketiganya. Kali ini, setelah perhelatan Anugerah Musik Indonesia (AMI) yang menasbihkan mereka meraih kategori Karya Produksi Terbaik pada awal November lalu, mereka berpadu lagi untuk proyek besar mereka.
Apabila di atas panggung AMI ketiganya menyebutkan piala yang diperolehnya sebagai kado jelang ulang tahun ke-10 Laleilmanino, maka mereka sesungguhnya telah memiliki segudang rencana sebagai penanda satu dekade kebersamaan mewarnai industri musik Indonesia. Melalui Youtube, mereka telah memberikan kisi-kisi keberadaan Linfinity: 10 Years of Laleilmanino.
Selain rencana konser perayaan pada tahun depan, salah satu perwujudannya adalah munculnya Laleilmanino Fantasy Unit (LFU) yang merupakan perusahaan alih wahana lagu yang mereka ciptakan menjadi bentuk baru. Film pendek dari lagu ”Rapsodi”, yakni Rapsodi: Fragments of Happiness yang disutradarai Aco Tenri merupakan karya perdana dari LFU.
Lagu yang dibawakan JKT48 ini rupanya mampu menghadirkan nuansa dan pemaknaan yang lebih luas ketika masuk medium film. Kisah ragam kebahagiaan dari beberapa sisi yang diwakili oleh sejumlah cerita dalam film ini seolah membangun kesadaran arti bahagia itu bergantung pada setiap individunya.
”Tujuannya memang pengin ngasih kesempatan karya-karya itu untuk bisa terus lahir menjadi bentuk baru. Biasanya kan lagu kalau sudah rilis, selesai masa promosi, terus berserah diri saja sama pendengar kapan dia mau dengerin. Yang beruntung lagunya bisa evergreen, yang enggak ya lewat gitu aja. Kami pengin lagu-lagu itu dikasih kesempatan untuk meledak lagi atau yang belum banyak didengar mungkin bisa diterima dalam bentuk lain,” tutur Nino.
Sebelum ”Rapsodi”, mereka sebenarnya sudah menyiapkan satu lagu untuk diterjemahkan menjadi film panjang. Namun, rencana ini ditunda dulu sembari mencari sumber pendanaan mengingat biaya produksi yang cukup besar. Demi film pendek ini saja, akhirnya mereka merogoh kocek sendiri karena urung mendapat investor.
Kami pengin lagu-lagu itu dikasih kesempatan untuk meledak lagi atau yang belum banyak didengar mungkin bisa diterima dalam bentuk lain.
”Enggak apa. Ini kan baru awal. Ibaratnya ini kami kan mau kulonuwun sama industri perfilman. Mau kenalan dulu dan ngasih tau ini lho lagu Laleilmanino bisa berubah jadi bentuk yang lain, misalnya film,” ujar Nino.
Kelak, lagu mereka juga bisa bersalin dalam rupa di luar film, antara lain pameran seni yang juga tengah digagas LFU dan diagendakan pada tahun depan. Dalam perjalanannya, alih wahana ini menantang ketiganya untuk mempelajari sistem dan pola kerja yang berbeda dari yang bertahun dijalani.
”Kerja samanya dengan lebih banyak orang. Kalau workshop lagu, kami di studio kecil kami bikin lagu beberapa hari jadi. Tektok-annya ya sama yang nyanyi atau sama label, kalau ini lebih masif. Prosesnya juga enggak sebentar dari sebelum sampai setelah produksi,” ungkap Lale.
Satu dekade
Sampai di usia 10 tahun dengan capaian menciptakan 156 lagu tak pernah disangka oleh ketiganya. Semua itu berawal dari keinginan membuat lagu selain dalam lingkup band yang menaungi mereka. Kehendak ini bersambut ketika menghadiri ulang tahun Yovie Widianto pada 2014 yang menggabungkan ketiganya menjadi Laleilmanino Corp.
Lagu pertama yang diciptakan kala itu berjudul ”Surat Izin Mencinta” untuk Bastian Steel. Selanjutnya, banyak karya mengalir untuk para penyanyi Tanah Air. Sebut saja, Marion Jola, Rizky Febian, Lyodra, Tiara Andini, Ziva Magnolya, Afgan, Vidi Aldiano, Hivi!, hingga musisi senior, seperti Ruth Sahanaya dan Armand Maulana.
Pengalaman sebagai penampil dirasakan sangat berguna ketika ketiganya memutuskan duduk di belakang layar sebagai produser dan mencipta lirik. Dari sini pula, mereka mampu membaca arah dari setiap penyanyi sehingga lagu yang dibuat bisa memperkokoh karakter yang mau ditonjolkan. Tak hanya lagu, mereka juga memproduseri sejumlah album.
Baca juga: Mula dan Muara Edy Khemod
Misal, semua lagu dalam album perdana Marion Jola terdengar perpaduan lincah, manis, dan centil, khas dengan personalitas yang dibangunnya. Begitu pula dengan lagu ”Pelangi” milik Hivi! yang gemas dan pas dengan suara lembut Neida Aleida.
Lagu ”Satu” untuk Ruth Sahanaya juga berhasil menampilkan karakter ceria dengan vokal kuat seperti yang pernah dihadirkan Ruth melalui lagu ”Astaga”. Mirip dengan lagu ”Masih Di Sini” untuk Judika yang suka bereksplorasi.
”Karena kami juga sebagai performer, kalau ada artis yang datang, kami bisa ngebayangin tuh nanti live-nya gimana atau enak enggak ya kalau lagunya begini. Bakal working enggak lagu model begini. Kadang ada yang terserah, ada juga yang dia sudah tahu mau kayak apa. Tinggal diskusi saat workshop sebelum rekaman,” tutur Ilman.
Dalam proses penggarapan, Lale dan Ilman lebih kerap terlibat dalam progresi akor, vokal, dan dasar dari lagu. Sementara Nino yang wara-wiri sebagai penyiar radio lebih artikulatif sehingga dipercaya menulis lirik. Walakin, pembahasan awal dan sentuhan akhir tetap hasil kesepakatan ketiganya.
Saking dikenal sudah terbiasa mengerjakan banyak karya, permintaan lagu pun kerap muncul dengan tenggat yang mepet. Ada yang hanya seminggu atau bahkan hitungan hari. Koordinasi secara daring kadang tak terelakkan untuk meretas jarak di tengah tingginya kesibukan. Ritme kerja disadari mirip dengan agensi. Pengetahuan Lale dan Ilman yang sebelumnya juga menerima rikues pembuatan jingle cukup membantu memahami alur semacam ini.
Meski tak menampik, stres juga mampir menghampiri mereka yang harus bersiasat mengatur jadwal. ”Untungnya kami bertiga. Satu burnout, masih ada dua kepala. Dua burnout, masih ada nih. Kalau tiga-tiganya, ya, artinya harus istirahat,” ujar Lale sambil tertawa.
Terkadang konsep istirahat ini diartikan juga keluar sejenak dari rutinitas Ibu Kota untuk menggali inspirasi. Hal ini dijalankan mereka pada 2021 saat ikut dalam sebuah proyek dokumenter, yaitu Svara: Perjalanan Bermakna di Balik Nada. Berkolaborasi dengan Joox dan Visinema, mereka bersama musisi lain dan komunitas kesenian menyambangi Bali, Yogyakarta, Cirebon, dan pulang ke Jakarta.
Dari sini, terbit perubahan perspektif tentang fusi unsur budaya dengan musik populer. ”Kami makin sadar unsur budaya bisa masuk ke ranah musik populer dan sudah semestinya bisa seperti itu,” ujar Nino.
Lahir juga empat karya lewat proyek ini, yakni ”Kita Bukan Mereka” bersama Baila Fauri, ”100” (Satu Kosong Kosong) dengan Hivi!, ”Lukisan Kaca” bersama Rizky Febian, dan ”Jakarta” dengan Diskoria. Cerita di balik empat lagu ini kemudian dituangkan dalam empat episode dokumenter.
Kolaborasi tiada henti
Aneka kolaborasi ini bagi ketiganya menjadi pembelajaran tersendiri untuk makin melebarkan sayap. Dari sisi musik, banyak kerja sama yang sudah dijalankan ketiganya bersama musisi lain. Belakangan tak hanya di dunia musik yang sejak SMA digeluti ketiganya, tapi mereka juga bersemangat menjajaki dunia seni yang beragam.
”Seni kan enggak cuma musik. Ada banyak hal. Tiap-tiap ranah ini sebenarnya saling menginspirasi. Penting banget kolaborasi,” ujar Nino.
Terbukti sejauh ini kerja sama yang dilakukan berbuah manis. Kemenangan di AMI Awards 2023 dengan raihan piala terbanyak lewat lagu ”Badai Telah Berlalu” yang dibesut bersama Diskoria dan dinyanyikan Bunga Citra Lestari ada karena novel Badai Pasti Berlalu milik Marga T yang selanjutnya dibuat film dan lagu oleh Eross Djarot. Dalam waktu dekat, kolaborasi dengan Diskoria akan ada lagi.
Kehadiran LFU juga diharapkan nanti mampu menjembatani hal semacam ini. Terlebih di tengah perputaran industri musik yang kian dinamis karena perkembangan teknologi dan berakhirnya era monopoli, inovasi perlu terus diupayakan. ”Sekarang orang bebas mau pilih. Jadi, lu harus pintar-pintar ngajak orang buat dengerin karya lu gitu,” kata Nino.
Ilman menambahkan semua itu mau tidak mau harus dilakukan karena pola orang menikmati musik sudah bergeser. Keberadaan pelantar digital, seperti Joox, Spotify, sampai Apple Music, memang memudahkan pendengar. Akan tetapi, bukan berarti jadi lebih gampang untuk menjangkau dan merawat penggemar karena persaingannya ketat meski kian variatif.
Sekarang orang bebas mau mrmilih. Jadi, lu harus pintar-pintar ngajak orang buat dengerin karya lu gitu.
”Makin bagus sebenarnya karena makin beragam. Kayak di AMI kemarin, mungkin banyak nama yang selama ini enggak muncul ke permukaan, sekarang jadi oh mereka masuk nominasi. Jadi, artinya orang mau dengerin. Itu bagus menurut gue,” ucap Ilman.
Lale menimpali kondisi industri musik diakuinya tengah menuju ke arah yang lebih baik walau adaptasi dengan teknologi tak bisa dimungkiri. Ia menjelaskan pula mengenai media sosial yang dapat mendongkrak jumlah streaming.
Setelah ia mempelajari dan mengamati, lagu-lagu yang dimasukkan ke media sosial seperti Tiktok atau Instagram dan bisa disematkan sebagai musik latar konten ternyata berpengaruh pada angka streaming di pelantar digital. Sebab, orang ternyata menjadi tertarik mendengarkan versi utuhnya. Di Spotify, streaming Laleilmanino mencapai 69,1 juta dengan jumlah pendengar 10,1 juta.
Capaian demi capaian via musik pop ini juga diperuntukkan bagi mereka yang senantiasa mendengarkan dan tanpa sadar memaknai hidup dari karya mereka. Mengutip spirit ketiganya, ”Semua akan indah pada lagunya.”
Nino (Anindyo Baskoro)
Lahir : Jakarta, 21 November 1987
Universitas Pelita Harapan
Lale (Arya Aditya Ramadhya)
Lahir : Jakarta, 29 April 1987
SMA Bakti Mulya 400
Ilman (Ilman Ibrahim Isa)
Lahir : Ujung Pandang, 9 Oktober 1989
Institut Musik Daya Indonesia
Penghargaan:
- Produser Rekaman Terbaik AMI Awards 2018
- Produser Rekaman Terbaik AMI Awards 2020
- Produser Rekaman Terbaik AMI Awards 2021
- Produser Rekaman Terbaik AMI Awards 2023
- Karya Produksi Kolaborasi Terbaik AMI Awards 2020
- Karya Produksi Kolaborasi Terbaik AMI Awards 2021
- Penata Musik Pop Terbaik AMI Awards 2023
- Karya Produksi Terbaik Terbaik AMI Awards 2023