Mami Yuli, Doktor Pelawan Stigma
Kendati melewati banyak tantangan, Mami Yuli, transpuan asal Asmat, Papua, berhasil menyabet gelar doktor. Gelar doktor membuat Yuli semakin bertekad untuk terus berjuang bagi komunitas transpuan.
Menjadi transpuan, terbuang dan bertarung di jalanan puluhan tahun, hingga akhirnya menjadi Ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia atau FKWI, itulah jalan hidup yang dilakoni Mami Yuli (62). Termarjinal di tengah masyarakat dan negara, membuat pemilik nama asli Yulianus Rettoblaut itu memilih pendidikan sebagai jalan untuk mengubah stigma buruk yang melekat pada transpuan.
Di usianya yang kini memasuki lanjut, anak dari pasangan keluarga yang berasal dari Asmat, Papua, ini membuktikan bahwa transpuan pun bisa meraih pendidikan tinggi, bahkan menyandang gelar doktor. Setelah melewati perjuangan berat, pada Selasa (10/10/2023) Yuli akhirnya diwisuda sebagai doktor pada Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Jayabaya.
Bagi Yuli, diwisuda sebagai doktor bidang hukum bukan hanya memberikan arti penting dalam hidupnya, melainkan juga bagi komunitas transpuan. Bekal pendidikan semakin meneguhkan langkahnya untuk berjuang, mendobrak dan membuka mata publik dan negara, bahwa transpuan juga bagian dari warga negara yang memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya.
”Saya berjuang melanjutkan sekolah hingga S-3 karena saya sangat terbeban memikirkan nasib transgender di Indonesia. Kami selalu distigma, dilihat sebelah mata, dan hak-hak kami sebagai warga negara terampas dan tidak dipenuhi,” ujar Yuli yang hadir di wisuda di Jakarta Convention Center dengan berkebaya dan rambut bersanggul, menenteng tas perempuan.
Baca juga: Mami Yuli, Transpuan Doktor Pertama di Indonesia
Karena itulah, dia berharap gelar doktornya akan membuatnya semakin percaya diri dan berani memperjuangkan hak-hak transpuan di Indonesia, yang selama ini dikucilkan di tengah masyarakat. Selama ini, jangankan bersekolah, transpuan masih jauh dari akses jaminan perlindungan sosial, kesehatan, dan bantuan sosial.
”Kami transpuan juga manusia dan bagian dari warga negara. Negara seharusnya membuat suatu kebijakan, melahirkan undang-undang perlindungan bagi komunitas seperti kami. Jangan dilihat dari orientasi seksual kami sebagai waria, tetapi melihat kami sebagai warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban sama, terutama di mata hukum,” ujar Yuli.
Menjadi transpuan bagi Yuli sesungguhnya bukan pilihan hidupnya. ”Saya terlahir sebagai anak dari pasangan guru Katolik di pedalaman Asmat, mereka dari suku Kei, Maluku. Bapak saya kepala SD Katolik, begitu juga ibu kepala SMP Katolik. Sejak kecil saya sudah suka main boneka dan rumah-rumahan dan mulai ada perubahan,” katanya.
Kami transpuan juga manusia dan bagian dari warga negara. Negara seharusnya membuat suatu kebijakan, melahirkan undang-undang perlindungan bagi komunitas seperti kami.
Namun, Yuli tidak berani menunjukkan secara terbuka pada orangtuanya. Bahkan, anak ketujuh dari sembilan bersaudara ini mengaku berpikir ada yang salah dengan dirinya. Dia tidak tahu jika dirinya adalah waria atau transpuan. ”Pergaulan pada tahun 1970-an masih sangat minim, pengetahuan tentang waria sama sekali ndak ada. Saya merasa keadaan ini aneh. Mungkin ini suatu penyakit,” ujar Yuli dalam percakapan dengan Kompas, Jumat (3/11/2023).
Tahun 1979 dia ke Jakarta untuk kuliah di Atma Jaya. Dia kemudian berkenalan dengan beberapa transpuan di Jakarta. Di tingkat 2, ayahnya meninggal, Yuli pun berhenti kuliah dan diajak bergabung dengan transpuan yang nongkrong di kawasan Taman Lawang, Jakarta. Di sana bukannya diterima, Yuli malah dikucilkan.
”Saya dibilang banci jelek, item, keriting, dan disuruh nongkrong di samping rel kereta api. Tiga bulan enggak ada yang dekati saya,” kata Yuli yang akhirnya pindah ke kawasan Blok M, kemudian bergabung dengan transpuan di daerah Taman Brawijaya, Kebayoran Baru, dan Prapanca, Jakarta Selatan. Selama lebih dari 20 tahun hidup di jalanan dan dunia prostitusi, ia lekat dengan berbagai kekerasan.
Saya terus terang sebagai waria dan sudah bosan hidup di jalanan. Romo bilang kalau mau hidup baik, semua tergantung kamu, yang penting mau bertobat. Saya bilang mau. Kata Romo, kalau begitu, tinggalin kehidupan di jalanan.
Namun, dalam kesendirian, Yuli mengaku batinnya sering berontak. ”Karena dasarnya saya bukan transpuan yang kepingin melacurkan diri,” ujarnya.
Baca juga: Mendampingi Transpuan yang Terbuang hingga Usia Senja
Hingga suatu saat sekitar 25 tahun yang lalu, Yuli bertemu seorang transpuan lansia penarik becak yang mengajaknya ke gereja. Awalnya dia menolak dan mengaku marah kepada Tuhan karena dirinya seperti itu. Namun, akhirnya dia datang ke Gereja Katolik St Stefanus Cilandak bertemu Romo Marjito.
”Saya terus terang sebagai waria dan sudah bosan hidup di jalanan. Romo bilang kalau mau hidup baik, semua tergantung kamu, yang penting mau bertobat. Saya bilang mau. Kata Romo, kalau begitu tinggalin kehidupan di jalanan,” kenang Yuli.
Kendati berat, Yuli kemudian meninggalkan jalanan lalu berkeliling kampung menawarkan jasa potong rambut. Ia bertahan walaupun kerap diteriaki banci. Dari potong rambut itu, Yuli bisa menabung dan mengontrak sebuah tempat meski tak layak sebagai tempat tinggal. Seiring dengan itu, Yuli mulai kembali aktif ke gereja. Saat ke gereja Yuli tampil seperti laki-laki mengenakan kemeja. Rambut panjangnya diikat.
Memimpin FKWI
Seiring waktu, hidup Yuli mulai berubah, pergaulannya pun makin luas. Tahun 2005 Yuli terpilih sebagai Ketua FKWI. Ia pun gencar mengadvokasi transpuan, mendampingi transpuan yang terkena masalah, mendorong untuk mandiri secara ekonomi, dan meninggalkan dunia prostitusi.
”Saya meminta para transpuan mengubah perilaku, termasuk cara berpakaian, agar mereka tidak mengalami stigma yang semakin buruk,” kata Yuli.
Memimpin FKWI semakin mendorong Yuli untuk berbuat sesuatu yang lebih besar bagi komunitas transpuan yang terbuang dari keluarga dan tersisih di tengah masyarakat. Menurut Yuli, ada sekitar 4.000 transpuan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang bergabung dalam FKWI, termasuk transpuan lansia.
Di Jabodetabek terdapat sekitar 830 transpuan lansia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Selain tak punya pekerjaan, tidak memiliki keluarga, dan tidak punya tempat tinggal tetap, mereka sakit-sakitan. Karena pergi meninggalkan keluarga, rata-rata tranpuan lansia tidak memiliki kartu tanda penduduk.
Hati Yuli pun semakin terpanggil saat melihat sulitnya transpuan lansia juga yang muda mendapatkan pemakaman ketika meninggal. Karena tak memiliki identitas kependudukan, jenazah para transpuan diserahkan kepada polisi, kemudian polisi akan mengirim ke rumah sakit milik pemerintah lalu dicarikan pemakaman.
”Satu bulan bisa tiga sampai empat transpuan meninggal. Kebanyakan diserahkan kepada kepolisian lalu diserahkan ke RSCM dan dikubur massal. Saya benar-benar sedih, ini manusia. Orang menabrak kucing sama anjing saja mereka berhenti, menguburkan. Namun, kita mau minta tolong sama siapa?” ujar Yuli.
Dari situlah Yuli semakin bertekad untuk menolong para transpuan lansia. Sejak 2010, bersama pengurus FKWI, Yuli memutuskan untuk mendirikan Rumah Singgah Transpuan Lansia ”Anak Raja” di Depok, Jawa Barat. Rumah singgah tersebut menjadi tempat tinggal sejumlah transpuan lansia yang tidak memiliki tempat tinggal.
Selain menjadi tempat bagi para transpuan lansia, saling berbagi suka dan duka, di rumah singgah mereka juga mendapat pelatihan keterampilan jangka pendek, seperti membuat kue dan masakan. Hasilnya dijual ke warung-warung, dijual keliling, atau dijual ke gereja dan tempat lain.
Para transpuan lansia juga mendapat bimbingan rohani dan motivasi sesuai agama masing-masing. Mereka juga mendapat pendampingan kesehatan sehingga mereka bisa menjalani perawatan dan pengobatan atas penyakitnya.
Problem kependudukan pun sedikit demi sedikit teratasi. Sejumlah transpuan, termasuk lansia, bisa memiliki KTP dan kartu keluarga dan akhirnya bisa mengakses layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS ) Kesehatan serta bantuan sosial lainnya.
Yuli pun lega. Seiring berjalannya waktu, kini para transpuan yang meninggal dimakamkan oleh komunitas transpuan dengan layak sebagaimana masyarakat umumnya. ”Kami membangun komunikasi baik dengan sejumlah lembaga yang bergerak dalam isu kemanusiaan sehingga mereka bisa dimakamkan dengan layak,” kata Yuli.
Kendati transpuan, hal itu tidak menghalangi Yuli untuk berperan sebagai orangtua, merawat dan membesarkan, serta menyekolahkan anak-anak dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Saat ini, Yuli memiliki lima anak dari saudara-saudaranya yang dia rawat sejak kecil. Bahkan, ada yang dari bayi sudah dirawat Yuli.
Mendaftar Komnas HAM
Hidup dalam stigma di tengah masyarakat membuat Yuli terus berjuang untuk komunitasnya. Maka, tahun 2007 saat membaca di Kompas tentang pengumuman seleksi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Yuli pun mencoba mendaftarkan sebagai transpuan walaupun kala itu pendidikannya hanya sampai SMA. Pendaftarannya menarik perhatian media, apalagi Yuli lolos sampai tahap fit and proper test di Komisi III DPR.
Gagal terpilih, Yuli memutuskan melanjutkan kuliah. Ia pun mendaftar di Universitas Attahiriyah, Tebet, Jakarta Selatan. Tujuh kali dia mendaftar dan tidak diterima. Namun, ketika rektor melihatnya, dia dipanggil dan ditanya apakah siap kuliah di kampus tersebut dengan segala konsekuensi, Yuli menerimanya.
Awal perkuliahan dia sering dirundung dan dijauhi, bahkan mendapat panggilan sebagai ”mahasiswa bencong”. Yuli tak menyerah. Ia berhasil wisuda strata satu (S-1), bahkan saat wisuda sang rektor menyebutnya sebagai wisudawan transjender. Motivasi Romo Marjito semakin meneguhkan langkah Yuli untuk melanjutkan studi ke jenjang S-2 hingga S-3.
Tahun 2022, Yuli kembali mendaftar di Komnas HAM, tetapi kembali tidak lolos. Perjuangan Yuli mendapat perhatian publik hingga tingkat internasional. Beberapa tahun lalu, Yuli disambangi sineas Italia yang kemudian membuat film dokumenter tentang hidup Yuli. Film itu memenangi lomba sehingga Yuli diundang ke Perancis dan tampil di acara Festival Film Dokumenter.
Kini setelah meraih gelar doktor, Yuli semakin bertekad untuk terus berjuang bagi komunitas transpuan. Dia terus bermimpi negara hadir dan memenuhi hak-hak dasar transpuan, sama seperti warga negara Indonesia umumnya. Bahkan, dia berharap sepuluh tahun ke depan akan ada transpuan-transpuan yang meraih S-2 dan S-3 sehingga bisa bekerja lebih baik.
Yulianus Rettoblaut
Lahir: Asmat, Papua, 30 April 1961
Pendidikan:
SD Martinus Depores Ayam Asmat
SMP Katholik Yohanis Pemandi Agats, Asmat
SMA Katholik Jhon 23, Merauke,
S-1, Universitas Attahiriyah, Tebet, Jakarta
S-2, Universitas Tama, Jagakarsa, Jakarta
S-3, Universitas Jayabaya, Jakarta