Berkat ”Folker” Lukas, Tembok Bicara di Kampung Bulak Miring
Di Kampung Bulak Miring yang padat, Folker Lukas Adi Wijoyo menyulap tembok kumuh jadi berwarna dan hidup.
Oleh
BUDI SUWARNA
·5 menit baca
Di Kampung Bulak Miring yang padat, Lukas Adi Wijoyo alias Folker memercikkan seni di hati penghuninya. Tembok kumuh ia sulap jadi kanvas mural atau grafiti. Ia tularkan keterampilan itu pada semua orang yang mau menerimanya. Kini, beberapa sudut Bulak Miring jadi hidup. Tak lagi tampak nelangsa.
Salah satunya tembok samping Basic Studio milik Folker. Tembok sepanjang sekitar 6 meter yang mepet dengan jalan kampung itu penuh coretan grafiti dengan warna mencolok khas seni modern: merah, oranye, biru, hijau, coklat, dan ungu. Di seberangnya, karya-karya grafiti dan mural menghiasi tembok lapangan parkir mobil, juga dengan warna-warna yang membetot mata. Dinding-dinding itu seolah berbicara soal kreativitas kampung tersebut.
”Jalan aspal ini juga pernah digambarin bocil-bocil (bocah kecil) kampung sini pakai kapur warna-warni. Panjangnya sampai puluhan meter,” ujar Folker saat nongkrong di warung kecil depan rumahnya, Rabu (1/11/2023) siang.
Sisa-sisa gambar di aspal itu dipudarkan langkah pejalan kaki, ban kendaraan, dan akhirnya dihapus oleh hujan. Tak ada lagi sisa. Tetapi, dari foto yang diperlihatkan Folker, aneka gambar yang dibuat para bocil itu memberi warna pada sebuah perkampungan Betawi yang padat dan agak dekil.
”Besok ada teman dari Jerman dan Rusia mau datang ke sini. Melanjutkan grafiti yang belum selesai di tembok ini,” kata Folker menunjuk tembok rumah orangtuanya yang salah satu kamarnya ia jadikan studio.
Folker mulai memberi ”kehidupan” pada dinding-dinding mati di Bulak Miring, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, sejak tahun 2020 saat pandemi Covid-19 melanda. Awalnya ia membuka Basic Studio di rumah orangtuanya karena ia perlu ruang untuk melukis dan menggelar kanvas. Ia sediakan tempat duduk ala kadarnya tepat di depan studio yang mepet tikungan jalan itu. Di sana, ia biasa bercengkrama dengan teman-teman sesama penghuni kampung Bulak Miring. Sebagian besar adalah pengangguran yang kerjanya luntang-lantung saja.
”Ada stereotipe bahwa anak muda Betawi di kampung ini malas. Padahal, mereka begitu karena belum menemukan arah dalam hidup dan passion untuk menekuni bidang tertentu,” tutur Folker.
Maka, ketika sedang nongkrong bersama, ia membagi pengetahuan tentang passion, motivasi, disiplin, dan nilai-nilai kehidupan. Pikiran mereka dibuka. Dari yang tadinya luntang-lantung, ada yang akhirnya bekerja di bidang jasa penyelenggara kegiatan dan menemukan passion-nya di sana.
Waktu berlalu, teman-teman nongkrong Folker menjadi teman dalam beradu gagasan. Suatu ketika jelang perayaan tujuh belasan, mereka berpikir apa yang bisa mereka sumbangkan pada lingkungan. Akhirnya mereka memutuskan menggambari tembok-tembok rumah dengan mural dan grafiti.
Banyak warga yang suka. Mereka minta tembok ruang tamu dan kamarnya digambari sekalian. Tetapi, ada juga yang marah-marah. ”Ya, saya minta maaf saja karena minta maaf lebih mudah daripada minta izin, ha-ha-ha,” kata Folker diikuti tawa.
Belakangan, di depan studio milik Folker jadi tempat bocil nongkrong. Mereka sering mengumpat dengan kata-kata kasar ketika ngobrol. Folker jelas tidak suka. Bocil, kok, ngomongnya kasar. Agar mereka tenang, ia berikan mereka akses Wi-Fi. Dia memperbolehkan anak-anak berselancar asalkan tidak main gim. Ternyata cara itu tidak mempan. Mereka tetap saja berisik.
Ya, saya minta maaf saja karena minta maaf lebih mudah daripada minta izin.
Suatu hari ketika dikejar deadline pekerjaan, Folker tidak tahan lagi. Ia keluar dari studionya dan berteriak, ”Ini gua kasih kapur. Lu gambarin itu aspal jalan.”
Ternyata mereka benar-benar menggambari aspal sampai 75 meter. Hasilnya sungguh indah. Folker tidak menduga sama sekali. ”Aku baru sadar ternyata itu kegiatan yang asyik. Sejak saat itu, anak-anak tiap minggu nagih minta diajak ngegambar. Orangtua mereka juga senang karena anak-anak mereka jadi lebih tenang,” cerita Folker.
Folker pun secara rutin memberi kapur atau cat. Modalnya ia sisihkan dari keuntungan proyek pribadinya. Dengan cat dan kapur itu, anak-anak kampung menggambari apa saja, mulai dari kertas, aspal, layangan, sampai celengan.
Hasil karya para bocil itu sebagian Folker unggah di Instagram. Ternyata responsnya banyak. Teman-temannya sesama seniman visual minta diajak kolaborasi. Belakangan, ada pula perusahaan yang mau menyalurkan dana CSR untuk kegiatan itu. Akhirnya, kegiatan yang awalnya mengalir saja, jadi kegiatan kolektif banyak orang.
Arah hidup
Folker sudah lama bersentuhan dengan seni. Yang pertama memperkenalkan adalah Dik Doank, penyanyi dan desainer, yang membuat sekolah alam untuk anak-anak tidak mampu bernama Kandank Jurang Doank di Jurangmangu, Ciputat. Folker belajar menggambar dan nilai-nilai kehidupan di sana. ”Apa yang saya dapat dari Dik Doank tertanam sebagai memori sampai sekarang,” aku Folker.
Pelajaran seni selanjutnya ia peroleh saat ia melanjutkan SMA di Yogyakarta. Dia berkenalan dengan sejumlah mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang mengajarkan seni murni dan material seni. Dari situ, ia memutuskan terjun ke dunia seni. Ia melanjutkan pendidikan di Modern School of Design di Yogyakarta.
Ternyata kuliah buat dia membosankan. Materi perkuliahan dia anggap ketinggalan dibandingkan dengan keterampilan dan pengetahuan yang ia sudah kuasai ketika itu. Ia pun memilih berhenti kuliah dan mulai tenggelam mengerjakan grafiti, mural, dan desain clothing. Kalau tidak punya duit, ia ngamen di jalanan sekadar bisa makan.
Saat aku kelaparan, ada yang kasih makan dan membantu segala macam. Dari situ, aku berpikir, hidup itu harus memberi, jangan menerima saja.
Belakangan, hidupnya dilalui dengan banyak peristiwa setelah pulang ke Jakarta. Kebengalannya sebagai anak muda yang ingin bebas membuat dia terseret ke titik nadir. Tetapi, pengalaman buruk ini justru memberi dia pencerahan.
”Di saat-saat paling sulit, ternyata ada segelintir teman yang tetap menolong. Saat aku kelaparan ada yang kasih makan dan membantu segala macam. Dari situ, aku berpikir, hidup itu harus memberi, jangan menerima saja,” katanya.
Sedikit demi sedikit ia bangkit. Ia mendapat pekerjaan atau proyek yang lumayan. Beberapa perusahaan besar, mulai dari perusahaan makanan, skateboard, hingga mobil, menggunakan jasanya di bidang visual.
Ia tidak lupa pada janjinya untuk berbagi. Di sela-sela kesibukannya, ia mengajari anak-anak jalanan menggambar hingga mendesain. Beberapa di antara mereka akhirnya ia rekrut sebagai karyawannya. Ada juga yang berhasil menembus ISI Yogyakarta, kampus impian yang tidak bisa ia masuki.
Ia bagikan pengetahuan pada anak-anak muda dan bocah-bocah di kampungnya. Ternyata berbagi itu mengasyikan. ”Aku jadi punya arah yang jelas dalam hidupku,” tutup Folker yang sedang membangun mimpi menggelar sunatan massal untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu di Bulak Miring.