Keisengan Baron Famousa memukul-mukul bilah batu menginspirasinya menciptakan ”sorawatu” atau gamelan batu. Baron ingin gamelan ini diajarkan di sekolah-sekolah di Majalengka.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·5 menit baca
Bermula dari penasaran terhadap limbah batu, Baron Famousa kemudian menciptakan gamelan batu. Gamelan yang disebut sebagai alat musik terapan oleh orang-orang kampus itu kini telah memiliki hak intelektual dan menjadi ciri khas Baron bersama komunitasnya.
Bulan terang setengah lingkaran. Angin bersiuh menabuh dedaunan di Padepokan Kirik Nguyuh di Kabupaten Majalengka. Lampu padam. Seratusan orang duduk bergeming menghadap panggung kosong. Denting gamelan menyusup mendominasi suasana. Baron Famousa dan tiga rekannya tengah memainkan komposisi dengan gamelan batu yang semula terdengar melankolis dengan tempo sedang lalu merancak seiring naiknya tempo. Suara suling berorkestrasi dengan nada gamelan. Lalu lampu menyala, tanda permainan gamelan usai. Tepuk tangan bergemuruh.
Itu salah satu gambaran ketika gamelan batu atau sorawatu dimainkan. Sora berarti suara, sementara watu berarti batu. Gamelan di sini bukan berati seperangkat alat musik lengkap yang terdiri dari saron, bonang, kenong, gong, kempul, gambang, slenthem, gender, rebab, suling, kemanak, dan gendrum sebagaimana yang sering dimainkan pengrawit di Jawa.
Yang dimaksud Baron sebagai gamelan batu hanya berupa bilah-bilah batu ditata di atas kayu berongga sebagaimana kelompok balungan dalam gamelan Jawa (saron, demung, dan slenthem). Bunyi yang dihasilkan mendenting dan selaras dengan bunyi suling yang meningkahi.
Adalah Baron Famousa, pendiri Padepokan Kirik Nguyuh yang juga hobi skuter dan musik, orang di balik sorawatu itu. Kirik Nguyuh merupakan pusat gerakan literasi di Majalengka. Aktivitas pembacaan puisi, teater, dan musik kerap digelar di sini. Baron juga mahir bermain musik. Dari ketajaman insting bermusiknya itulah gameran sorawatu lahir.
Ceritanya, pada suatu hari dia bersama rekan-rekannya keliling kampung di pinggiran Kabupaten Majalengka. Di salah satu pojok tak jauh dari penjual tanaman, Baron berhenti untuk membeli bibit tanaman. Saat itulah dia melihat selokan penuh dengan endapan bubuk halus mirip semen. Setelah dia bertanya kepada penjual tanaman, dia mendapat informasi bahwa itu limbah dari pemotongan batu. Baron kemudian mencari tahu pabrik yang dimaksud dan bukan hanya mendapati bubuk sisa penggergajian batu, melainkan juga tumpukan lempengan batu yang tak terpakai.
Baron bertanya kepada pemilik pabrik di Desa Salagedang, Kecamatan Sukahaji, itu dan mendapat penjelasan bahwa batu-batu itu tidak berguna lagi. Oleh karena itu, dia mempersilakan siapa saja untuk mengangkutnya. Itu terjadi pada tahun 2017. Lalu ketika Padepokan Kirik Nguyuh hendak menggelar Festival Kawin Batu di Gunung Tilu dua tahun kemudian, Baron datang ke pabrik yang berjarak sekitar 18 kilometer dari Padepokan Kirik Nguyuh tersebut dan izin untuk mengangkut batu.
Batu-batu itu kemudian dia grafir untuk dijadikan undangan. Ternyata melelahkan menggrafir batu-batu cadas tersebut. Di sela-sela rehat, Baron iseng menabuh-nabuh lempengan batu yang dia tata sembarangan. ”Ternyata enak bunyinya,” kata Baron mengulang keheranannya kala itu.
Seketika muncul ide untuk membuat alat musik dengan batu. Beberapa hari kemudian, dia datang lagi ke pemilik pabrik dan mengangkut lebih banyak batu. Pemilik pabrik senang saja karena merasa dibantu membuang limbah, tetapi dia penasaran dan bertanya kepada Baron hendak dia apakan batu-batu itu. Ketika Baron menjawab hendak menbuatnya menjadi alat musik, pemilik pabrik makin heran.
”Beuki gelo maneh, teh,” seloroh pemilik pabrik yang menganggap Baron makin gila setelah kemarin bikin undangan dari batu, sekarang malah membuat alat musik dari batu.
Dominasi perasaan
Proses kreatif pun berlangsung. Baron menata bilah-bilah batu itu tanpa mengubah ukurannya, hanya menyesuaikan ukuran yang ada dan ditata sedemikian rupa sehingga tampak rapi. ”Kemudian, kami pilih dari nada rendah ke tinggi,” kata Baron.
Uniknya, nada-nada itu berubah-ubah sesuai dengan suhu, kelembaban, dan akustik ruangan. Pernah ada dosen etnomusikologi mencoba menemukan cara menyeleraskan (tuning) nada pada bilah-bilah batu itu, tetapi tak berhasil. ”Tuning-nya hanya pakai perasaan, hati,” papar Baron.
Gamelan sorawatu kemudian dibawa ke ISI Yogyakarta untuk dimainkan dan dipaparkan sebagai bentuk pertanggungjawaban karya. Di sana, gamelan ciptaan Baron ini resmi disebut sebagai alat musik terapan atau transdisipliner karena dianggap berbeda dengan alat musik pada umumnya. Nadanya pun bukan diatonik ataupun pentatonik seperti gamelan pada umumnya.
”Gamelan ini paling enak dimainkan pada malam hari, habis isya atau menjelang tidur. Rasanya pas di perasaan. Cocok untuk healing he-he-he,” kata Baron memberikan kesan pribadinya.
Setelah itu, gamelan ini tampil di beberapa peristiwa seni akbar, seperti Festival Gemelan di Solo dan sebuah konferensi internasional yang digelar di sebuah universitas negeri di Jatinangor, Jawa Barat. Suara gamelan ini pernah juga sampai ke Swiss dan Polandia. Oleh karena belum memungkinkan untuk diangkut ke sana mengingat bobotnya yang sampai 60 kilogram per gamelan, Baron hanya mengirim rekaman gambar dan suaranya ke kedua negara tersebut.
Dalam proses kreatif yang dikerjakan Baron secara otodidak itu, ada orang yang bergelagat mencuri ide kreatifnya. Gamelan serupa sempat muncul di daerah lain setelah orang itu berbincang dengan Baron dan melihat cara kerja sorawatu. Dari sana, Baron kemudian dikasih tahu rekannya sesama penggerak literasi untuk membakukan temuannya lewat sertifikat hak kekayaan intelektual (HKI). Tahun 2021, sertifikat HKI itu dia kantongi. Dengan demikian, Baron mendapatkan perlindungan secara hukum atas kekayaan intelektualnya, yakni gamelan sorawatu.
Baron ingin gamelan ini diajarkan di sekolah-sekolah di Majalengka. Orang-orang juga bisa membuatnya. Sebab, bagi Baron, membuat gamelan ini tidak susah. Syaratnya hanya mau belajar dan sabar, kata dia. Dengan demikian, gamelan ini dikenal luas di Majalengka.
”Jangan sampai orang Majalengka tidak tahu lalu tiba-tiba gamelan ini ada di Eropa, misalnya,” kata Baron. Dia telah memberi ”nyawa” pada batu-batu sisa itu, tinggal menularkannya kepada lebih banyak orang.
Baron Famousa
Lahir: Jakarta, 19 Desember 1979
Karya antara lain:
Festival Kawin Batu, festival tahunan yang digelar sejak 2017
Gamelan Sorawatu
Kandang Pustaka, perpustakaan dan program literasi, kerja sama dengan Badan Basa
Paranje Farm, pertanian dengan sistem terpadu dan kerakyatan.